Dalam rentetan  kejadian yang mengguncang kemanusiaan, banyak pihak yang terpanggil menjadi pembenar ataupun pembantah dan melakukan pengalihan isu. Semata-mata mereka melakukan itu karena adanya 'sentimen' kesamaan identitas dengan pelaku tindakan keji tersebut. Di Kompasiana yang merupakan media jurnalis warga, selalu saja ditemukan opini yang membenarkan tindakan barbar asalkan itu dilakukan terhadap mereka yang berbeda identitasnya. Misalkan, saat Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang diserbu oleh FPI dengan korban jiwa berjatuhan, maka banyak sekali yang membenarkan tindakan penyerbuan itu, dengan alasan karena aqidah Ahmadiyah menyimpang sehingga pantas menerima 'hukuman' itu.
Lain halnya lagi, saat Gaza Palestina diserang oleh Israel dengan korban jiwa lebih dari 2000 jiwa, maka lebih banyak lagi yang mengutuk Israel tanpa melihat apa kejadian pencetus pertempuran itu. Penculikan 3 remaja Israel di Hebron tepi barat oleh Brigade Al Qassam, sayap milter Hamas yang membuat Israel murka, tidak dipandang sebagai tindakan keliru oleh kelompok ini. Sebab, sudah 'selayaknya' penjajah Israel dibantai walau itu hanya rakyat sipil. Akan tetapi bila Israel membalas membabi buta mengenai rakyat sipil Gaza, itu baru kejahatan sesungguhnya.
Jadi, bukan perbuatan dinilai berdasarkan standar kebenaran ; benar atau salah, melainkan tergantung pada siapa pelakunya. Bila pelakunya pihak yang berbeda identitas maka itu baru merupakan tindakan keliru yang pantas dikutuk.
Dalam kasus kekejian ISIS yang menggegerkan akhir-akhir ini, kembali dijumpai manusia-manusia yang membela dan berusaha membantah ataupun mencari isu pengalihan. Standar benar salah memang ditundukkan oleh faktor identitas pelaku.
Bila menyimak ilustrasi di bawah ini :
[caption id="attachment_354838" align="alignnone" width="480" caption="sumber gambar: facebook.com/dialog ateis indonesia"][/caption]
maka akan ditemukan bahwa kesaksian itu digunakan untuk membantah kebenaran, perempuan yang diperkosa tapi tak mampu menghadirkan 4 saksi maka lebih baik bungkam. Ini merupakan jawaban kenapa angka pemerkosaan (yang dilaporkan tentunya) nihil di negara-negara yang mengadopsi hukum serupa. Bagaimana mungkin pihak perempuan korban pemerkosaan mampu memiliki saksi yang menyaksikan adegan perkosaan yang menimpanya?. Juga janggal apabila ada 4 orang yang melihat kejahatan pemerkosaan tetapi tidak berupaya mencegah atau mengagalkan kejahatan itu.
Bila melihat ilustrasi lain :
[caption id="attachment_354839" align="alignnone" width="403" caption="sumber gambar: facebook.com/dialog pluralis"]
perbuatan jamak di negara-negara timur bukan hanya monopoli timur tengah, mencium tangan, yang merupakan perbuatan menghormati pihak lain karena faktor senioritas dan posisi yang ditinggikan, ternyata juga dinilai berdasarkan dari identitasnya. Bila yang dicium tangannya orang dengan identitas lain maka itu tidak boleh. Tidak bolehnya bukan karena tangan orang itu panuan melainkan karena kepercayaan yang berbeda. Bila yang dicium tangannya itu sama kepercayaannya, walaupun tangan itu kudisan tetaplah boleh bahkan diharuskan. Sekali lagi, bukan perbuatan baik benar yang dinilai akan tetapi siapa pelaku dan siapa obyek tindakan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H