Dipinggir danau yang beriak. Dibawah langit biru tanpa awan. Cerah dan menyejukkan. Seorang gadis kecil terduduk merenungi tentang masa depannya yang begitu bebas. Dia membayangkan tentang betapa membahagiakannya hidup tanpa aturan. Boleh melakukan ini dan itu tanpa takut.
Dirumahnya, ia tinggal bersama kedua orang tua dan lima saudara yang terdiri dari 3 perempuan dan 2 laki-laki. Ayahnya selalu pulang larut malam, tapi ia ayah yang sangat baik karena diwaktu luangnya ia selalu menyempatkan diri untuk membawa gadis kecil dan kedua adiknya pergi mengunjungi taman atau danau dengan bersepeda.Â
Ibu gadis itu merupakan salah satu perempuan paling tangguh yang pernah diciptakan Tuhan. Aku pikir, saat itu Tuhan sedang melakukan eksperimen tentang apakah baja bisa menjadi tulang yang cocok untuk perempuan? Sebab ibu gadis itu ditakdirkan hidup dalam kemiskinan dan rundungan tetangga. Aku saja heran, mengapa ia bisa tahan dengan cobaan itu dengan sejumlah 6 perut yang harus diisi setiap harinya.
Namun, sejatinya tak ada emosi yang bisa disimpan. Emosi sang ibu tersalurkan dengan didikan keras pada anak-anaknya. Ibu itu berambisi untuk membawa seluruh keluarganya keluar dari lingkaran kemiskinan. Hingga akhirnya ia membentuk paksa anak-anaknya menjadi sempurna.
Manusia tetaplah manusia, pasti ada celahnya.
Gadis itu merupakan anak yang dibuli. Ia terlalu patuh dan selalu mengutamakan keinginan orang lain. Gadis itu tumbuh sebagaimana keinginan ibunya. Ia cantik, pemberani, cerdas, berprestasi, dan bisa dibanggakan. Bukannya baik, justru itulah penyebab ia dibuli.
Namun, sejatinya tak ada emosi yang bisa disimpan. Seluruh perasaan yang ditekan sang gadis justru menghancurkan tempat penampungannya sendiri. Setelah dewasa ia tersadar bahwa hidupnya seperti Marionette. Dan kesadarannya itu mengantarkannya menjadi perempuan yang penuh ambisi untuk bebas. Ambisi untuk memutus semua tali yang mengekang gerak tubuh dan opininya.Â
Bertahun-tahun menjadi gadis sempurna nyatanya tak membuat gadis itu bahagia, justru sebaliknya... ia terkekang
Kini ia sudah bahagia, sebab ia telah miliki kehidupannya sendiri.
Berkat kesadaran dan tekat yang kuat, ia berani mengambil alih kehidupannya dan menjadi dirinya sendiri tanpa tuntutan untuk menjadi sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H