Saat aku kecil, Papa sering mengajakku atau masku ke kantornya yang bertepatan di Jakarta Pusat. Papa mengajak kami ke kantornya dengan alasan agar didalam hati kami tertanam keinginan kuat untuk menjadi orang sukses yang dahulu standar sukses adalah menjadi pegawai kantor, menggunakan jas dan dasi, memakai blazer dan sepatu hak, begaji diatas 5 juta rupiah.Â
Saat itu, setiap hari Minggu pagi aku sudah bersiap untuk berangkat bekerja bersama Papa. Aku mengenakan pakaian terbaik yang kumiliki, terkadang aku membawa beberapa PR untuk dikerjakan dikantor. Aku selalu bersemangat.
Kami berangkat tepat pukul 05 pagi, kemudian berjalan kaki dari rumah sampai kejalan raya untuk menunggu angkutan kota (angkot) menuju stasiun Bekasi Kota. Tidak butuh waktu lama untuk menunggu angkot, karena saat itu angkot masih menjadi primadona, tidak seperti sekarang yang eksistensinya sudah tergantikan oleh motor.Â
Setelah sampai distasiun, Papa selalu memintaku untuk menunggu disalah satu pojokan stasiun sementara dirinya membeli tiket kereta. Aku ingat betul, meskipun tubuhku sudah cukup besar, dahulu Papa selalu menggendongku untuk menyebrang rel dan seingatku, dulu stasiun selalu dipadati pengunjung, ditambah belum ada aturan yang tegas tentang pengguna jalan. Jadi orang-orang masih bebas mondar-mandir lewat manapun dan sangat berpotensi bahaya.
Pernah suatu ketika, saat sedang berdesak-desakan pindah jalur kereta, ada suara sirine kereta berbunyi. Gaduh dan riuh para pengunjungpun tak terelakkan. Petugas keamanan terus meniupkan pluitnya sebagai tanda supaya pengunjung segera menepi dari rel. Panik sekali. Semua orang saling mendorong supaya bisa sampai ketepian, dan tak jarang ada beberapa gerombolan orang yang tidak sampai menepi ke jalur aman dan menetap dipertengahan jalur yang tidak dilewati kereta.
Kenangan lainnya adalah saat ada ibu-ibu yang terlanjur menyebrang lewat jalur rel, dan terjebak karena tidak bisa naik peron. Orang-orang panik karena kereta akan segera datang, dan akhirnya ada yang turun ke rel dan membantu ibu-ibu itu untuk naik. Atau saat beberapa tahun kemudian saat sudah ada aturan tegas tidak boleh turun peron, saat itu ada seorang anak yang meraung-raung meminta mainannya diambilkan karena terjatuh diperon, kemudian ada petugas yang membantu mengambilkan mainan tersebut dengan alat bantu. Atau saat naik digerbong belakang kereta yang tidak dapat peron, kami penumpang kereta harus meloncat turun. Kemudian, waktu terus berjalan, karena ada banyak keluhan barang yang tertinggal, dibuatlah sistem supaya orang yang barangnya tertinggal bisa mengambilnya kembali (namun ini tidak terjadi disemua stasiun).
Saat itu, kereta kelas ekonomi adalah primadona. Kondisi kereta ada pintu, tapi jarang ditutup karena gerah. Papa tidak pernah masuk sampai kedalam gerbong karena terlalu engap dan tak kondusif karena masih banyak pengamen, pengemis, dan bau pesing. Biasanya Papa berdiri didekat pintu sambil merokok dan menyuruhku untuk duduk beralaskan koran disamping kakinya.Â
Kenangan yang paling akward dan tak terlupakan adalah saat Papa salah naik kereta. Kami biasa memesan tiket ekonomi dan saat itu masih ada petugas yang membolongi tiket penumpang, yang tidak punya tiket harus turun dari kereta atau nekat naik diatap kereta. Saat itu, antara kereta jarak jauh dan antar kota belum ada perbedaan yang signifikan. Papa sembarang naik kereta yang penting jalan duluan. Dan ternyata kami menaiki gerbong VIP kereta jarak jauh. Saat ada petugas yang meminta tiket, Papa segara menjelaskan bahwa dirinya salah naik kereta dan meminta maaf. Petugas itu tadinya ingin marah dan meminta kami untuk pindah gerbong, namun karena melihat ada diriku, petugas itu langsung teringat dengan anaknya dan memaafkan keteledoran kami. Yang kemudian, kami diizinkan tetap berada digerbong VIP dan diminta untuk turun dari kereta setelah sampai distasiun Gambir.
Waktu terus berlalu, sampailah ditahun terakhir sebelum ada peraturan tidak boleh membawa anak ke kantor. Saat itu, KRL kelas ekonomi sudah dihapus dan menggunakan sistem THB yang menurutku sangat nyaman dan kondusif.Â
Waktu ibarat busur panah,
Sekali dilepas, ia taakan pernah kembali,
Meskipun saat itu aku tidak menikmati perjalanannya,
Nyatanya kenangan itu mampu membuatku merasa rindu,
Terima kasih KRL, karena kenanganku yang paling berharga bersama Papa paling banyak terjadi dikereta <3
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H