Mohon tunggu...
Mega Widyastuti
Mega Widyastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Mahasiswi jurusan Psikologi dan Sastra Hobi membaca dan menulis Genre favorit self improvement dan psikologi Penikmat kata Instagram @immegaw

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrasi Anti Kritik

13 November 2022   06:58 Diperbarui: 16 November 2022   20:30 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Atau lebih tepatnya negara kita tercinta ini sudah merdeka selama 77 tahun. Negara Indonesia terkenal dengan kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan keberagaman suku, ras, etnis, bahasa, budaya, dan sebagainya. Jika kita hayati, dengan sumber daya alam dan keberagaman tersebut, serta durasi kemerdekaan Negara Indonesia yang sudah mencapai 77 tahun, sepatutnya negara kita tercinta ini sudah menjadi negara maju.

Namun, kenapa negara kita cenderung hanya jalan ditempat?

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki sistem negara demokrasi, yang mana demokrasi adalah suatu sistem dalam suatu negara dimana setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan yang sama atau setara dalam berkontribusi terhadap negara termasuk kebebasan untuk berpendapat dan menyampaikan kritik terhadap pemerintah yang menjabat. Dalam makna yang lain, demokrasi adalah suatu sistem dalam suatu negara yang mana kedaulatan berada ditangan rakyat. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Dasar Pasal 1 Ayat 2 "Kedaulatan berada ditangan rakyat..."

Pada tahun 1980-an dengan meletakkan basis Filsafat Sosial bagi pandangannya tentang demokrasi, Mouffe bersama Ernesto Laclau berpendapat bahwa menurutnya demokrasi tidak terbentang secara positif di hadapan kita, melainkan senantiasa mengaktualisasikan dirinya sebagai sebuah bentuk diskursivitas yang kompleks, bukan referensi pada dunia empiris yang menciptakan makna, melainkan makna hanya terkonstruksi di tengah-tengah diskursus sosial dan politik.

Diera saat ini, dengan kemudahan teknologi dan akses internet yang memadai serta keaktifan bermedia sosial  warga negaranya. Seharusnya hal tersebut bisa menjadi sarana untuk memudahkan penyampaian pendapat, kritik dan saran bagi warga negara kepada pemerintah, dan disisi lain juga memudahkan pemerintah untuk menampung, memfilter, dan mengimplementasikan setiap suara yang masuk demi kesejahteraan negara. Tapi, kenapa justru kemudahan itu disia-siakan? Kenapa justru warga negara yang menyuarakan pendapat dan kritik malah dibungkam dan dituduh sebagai warga negara yang anti pemerintah? Kenapa justru Pemerintah malah menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menghakimi warga negara yang menyampaikan kritik terhadap pemerintah?

Dilansir dari Youtube Ombudsman pada hari Senin 8 Februari 2021, Presiden Indonesia ke-7 Bapak Ir. Joko Widodo menyampaikan "Masyarakat harus aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan,.." Kemudian pada hari Selasa, 9 Februari 2021 pada perayaan Hari Pers Nasional, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sekaligus Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga meminta agar media terus menyampaikan kritik pedas kepada istana. Menurutnya, kritik terhadap pemerintah itu ibarat jamu untuk demokrasi yang lebih baik."Kita memerlukan kritik yang terbuka, pedas, dan kritik yang keras. Karena dengan kritik itulah pemerintah akan membangun dengan lebih terarah dan benar,"

Nyatanya, kalimat-kalimat tersebut hanya sebatas kata-kata indah yang keluar sebagai cover negara demokratis tanpa adanya realisasi.

Pada tahun 2019, seorang vokalis Banda Neira sekaligus eks wartawan bernama Ananda Badudu ditangkap pada hari Jumat, 27 September 2019 dikediamannya di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan karena melakukan penggalangan dana untuk aksi demonstrasi Mahasiswa terkait protes revisi UU KPK, RKUHP, dan revisi UU Ketenagakerjaan melalui situs Kitabisa.com sejak hari Minggu 22 September 2019.

Ditahun yang sama, seorang aktivis sekaligus penulis bernama Dandhy Laksono ditangkap karena melakukan kritik di Twitter terkait kerusuhan yang terjadi di Papua karena disebabkan oleh tindakan rasisme. Penangkapan tersebut dilakukan karena Dandhy dianggap telah melakukan provokasi, padahal cuitan tersebut diposting 5 jam setelah kejadian kerusuhan terjadi.

Selain itu, pada tahun 2021 Pemerintah menghapus setidaknya 3 mural yang sempat viral, yaitu Mural mirip Bapak Presiden Jokowi di Kota Tanggerang yang mana pada bagian mata terdapat tulisan '404 not found'. Jika memang gambar seseorang yang mirip dengan Pak Presiden tersebut dijadikan alasan penangkapan karena telah mencoreng lambang negara, lantas bagaimana dengan Mural bertuliskan 'Dipaksa sehat dinegara yang sakit' bergambar Kucing dan Tikus di daerah Pasuruan dan Mural bertuliskan 'Tuhan aku lapar' didaerah Banten? Yang mana Mural tersebut juga dihapus, dan pembuatnya ditangkap oleh Polisi.

Pada hari Rabu, 18 Agustus 2021, seorang pengusaha, politikus, sekaligus purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang saat ini menjabat sebagai Kepala Staff Kepresidenan, Moeldoko berkata "Jadi kalau mengkritik sesuatu, ya beradab, tata krama, ukuran-ukuran culture kita itu supaya dikedepankan. Bukan hanya selalu berbicara anti kritik, anti kritik. Cobalah lihat cara-cara mengkritiknya itu,"  "Ini sering terjadi dan banyak tokoh-tokoh kita yang tidak memberi pendidikan kepada mereka-mereka itu. Justru terlibat di dalamnya untuk memperburuk situasi. Janganlah seperti itu," 

Jika memang penyampaian kritik tidak diperbolehkan secara terbuka dimanapun dan kapanpun oleh warga negara yang hendak menyampaian aspirasinya dan hanya diperbolehkan dengan cara cara tertentu. Lantas bagaimana dengan keadilan untuk beberapa aktivis yang telah memperjuangkan haknya sebagai warga negara seperti Munir, Marsinah, Thesy Eluay, Salim Kancil dan yang lainnya yang justru kasusnya malah ditutup-tutupi oleh Pemerintah, padahal mereka pro terhadap demokratis?

Bukankah kita harus belajar dari sejarah?

Belajar dari pengalaman para aktivis dimasa lalu dan masa sekarang, rasa-rasanya tidak ada lagi ruang untuk berdaulat bagi warga negara. Para pemimpin diacara konferensi pers terus mendorong masyarakat untuk melakukan kritik dan menyampaikan aspirasi demi kemajuan negri, namun saat masyarakat meyampaikan kritiknya justru mereka malah ditangkap dan dituduh tidak pro dengan pemerintah. Kasus terbaru tentang pembungkaman terhadap kritik pemerintah saat ini sedang terjadi di Mata Najwa, beberapa akun kru Narasi besutan Najwa Shihab tersebut diretas oleh oknum yang tidak pro dengan kritik yang disampaikan kepada pemerintah, bahkan dalam peretasan tersebut mereka mendapatkan pesan 'diam atau mati'. Dan juga seorang Polisi di Luwu yang dimasukan ke rumah sakit jiwa (RSJ) karena mencoret dinding Mapolres Luwu dengan tulisan 'sarang pungli'

Dengan tulisan ini, saya sebagai warga negara sekaligus mahasiswa yang mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia berharap kepada pemerintah agar tidak menutup mata dengan kenyataan yang ada dilapangan. Boleh jadi sebenarnya pemerintah mengatakan yang sebenarnya terkait permintaan untuk dikritik, namun dalam prosesnya terdapat beberapa oknum yang memanfaatkan kesempatan tersebut demi panjat sosial, mendapatkan uang dari perizinan, atau alasan lain, agar pemerintah bisa lebih tegas dan mengusut oknum-oknum tersebut bukannya malah membiarkan warga negara yang hendak menyampaikan aspirasinya ditangkap dengan tuduhan tak mendasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun