Menurut teori Perkembangan Psikososial yang dikembangkan oleh Erik Erikson mengenai Pendekatan Sepanjang Hayat, anak remaja sedang berada difase Ikatan Identitas vs Kebimbangan Peran : Krisis Identitas (12-18 tahun)
Pada fase ini, individu akan mengalami fase transisi dari masa anak-anak menuju dewasa, terjadi perubahan fisik dan psikologis yang sangat cepat dan anak harus mampu menghadapi dan menyelesaikan krisis identitas egonya. Selain itu, pada fase ini juga anak akan membentuk citra diri.
Efek Jangka Panjang dari fase Krisis Identitas
Jika anak berhasil melewati fase ini dengan baik, maka akan terbentuk gambaran diri yang sesuai dan konsisten. Mereka memiliki sikap dan perspektif tentang masa depan, berani mencoba, mau belajar, mampu berperan sesuai dengan identitas seksualnya sehingga mampu membina hubungan dengan lawan jenis.
Namun, apabila fase ini tidak terlewati dengan baik, maka anak tersebut akan mengalami krisis identitas, kebimbangan peran dalam dirinya dan masyarakat, merasa inferior, bimbang dengan peran yang sesuai dengan identitas seksualnya sehingga sulit menjalin hubungan dengan lawan jenis.
Saat anak mengatakan 'Ma, aku sudah punya pacar' itu merupakan indikasi kalau anak memerlukan peran bantuan dari orang tua. Lalu apa saja yang harus dilakukan orang tua untuk membantu anak melewati fase krisis identitas dengan baik agar anak tidak terjerumus pada pergaulan bebas dan tidak mengalami krisis identitas dimasa dewasa?
1. Terapkan pola asuh Otoritatif
Anak merupakan subjek, bukan objek. Oleh karena itu, orang tua harus bisa memahami bahwa anaknya merupakan individu yang suatu saat akan menjadi dewasa dan berhak menentukan hidupnya sendiri. Dengan memahami konsep bahwa anak adalah individu yang seutuhnya, maka orang tua akan lebih terbuka dengan pikiran anak, sehingga anak merasa diterima dan bisa terbuka pada orang tua juga. Bila pola asuh otoritatif telah diterapkan, maka anak akan menganggap orang tua sebagai teman (bukan teman sebaya). Anak akan menceritakan keluh kesah dan kesenangan yang dialaminya, anak juga akan menanyakan pendapat kepada orang tua. Sehingga dengan adanya keterbukaan dari kedua belah pihak, maka akan lebih mudah memantau dan menjaga pergaulan anak.
2. Sisipkan nilai-nilai agama dan budaya
Jangan lantas berkata 'Kalo pacaran nanti kamu hamil!' 'Kalo pacaran nanti kamu masuk neraka!'.Â
Dahulu, sebelum masuk era digital mungkin pola menakut-nakuti anak efektif untuk dilakukan. Namun nyatanya, diera saat ini semakin anak merasa terancam oleh orang tua/keluarganya maka anak akan semakin tertutup dan melakukan upaya pembangkangan kepada orang tua.