Judul artikel di atas mungkin terlihat sangat sombong. Namun, dengan tegas saya katakan, sumpah, gue masih muda. Then, so what? Bagi semua orang, usia muda atau menjadi seorang pemuda, adalah fase kehidupan yang sangat menyenangkan. Lihat saja bagaimana orang tua kita dengan asiknya bercerita tentang masa mudanya. Atau lihat saja bagaimana para pemuda kita memberikan banyak karya kreativitas mereka. Lalu, bagaimana dengan kita para mahasiswa kedokteran? Apa yang dapat kita lakukan?
Beberapa saat yang lalu, saya berkesempatan membagikan pengalaman saya pada sekelompok mahasiswa kedokteran dalam sebuah training kepemimpinan. Pada saat itu saya membawakan tentang motivasi diri untuk melakukan perubahan. Tidak perlu saya jelaskan bagaimana acaranya berjalan, namun yang pasti mereka memberikan komentar positif akan materi saya. Lalu apa hubungannya antara peringatan sumpah pemuda dengan pengalaman saya tersebut?
Pada saat sesi simulasi, saya meminta para peserta untuk membuat rancangan perjalanan hidup mereka dari mulai umurnya yang sekarng hingga umur di mana mereka memperkirakan diri mereka tidak lagi sanggup berkarya (mati). Selain itu, saya juga meminta mereka membuat rancangan kehidupan mereka selama di kampus. Sangat seru melihat dan membaca rancangan hidup mereka. Ada yang menuliskan ingin menjadi dokter A, ingin lulus dari universitas A, ingin menikah, ingin punya anak, dan ingin punya klinik atau rumah sakit. Namun, ditengah-tengah keseruan tersebut, sedikit saya terusik bertanya dalam hati. "Apa yang ada di dalam pikiran dr. Soetomo, dr. Cipto dan dokter-dokter pejuang lainnya membaca rancangan hidup kami ini?"
Kehidupan mahasisa kedokteran masa kini dengan masa lalu
Tidak adil memang membandingkan kehidupan mahasiswa kedokteran masa kini dengan mahasiswa kedokteran di masa lalu. Ketidakadilan tersebut lebih memberatkan kehidupan mahasiswa kedokteran di masa lalu. Mari sedikit kita rekonstruksi kehidupan calom dokter masa lalu. Pada saat sekolah kedokteran masih hanya satu, para mahasiswa tersebut harus berjuang di tengah kondisi kehidupan yang tidak kondusif karena penjajahan. Kedudukan mereka sebagai satu dari sangat sedikit bangsa Indonesia yang terpelajar, memberikan banyak tekanan di bahunya. Sebagai calon penduduk yang mungkin akan berkehidupan jauh lebih layak dibanding masyarkat kebanyakan tidak membuat mereka terbuai akan bayang kenikmatan yang menunggu. Sebaliknya mereka menjadi penggerak-penggerak dari bangsa Indonesia.
Dibandingkan dengan kehidupan kita sekarang yang jauh lebih baik, kehidupan mereka jauh tidak ada apa-apanya. Kita, mahasiswa kedokteran sekarang yang kebanyakan adalah keturuan dokter, berbeda dengan mereka yang kebanyakan adalah keturunan petani. Ketika sekarang kita dengan mudah berbagi informasi dengan teknologi komunikasi yang ada, mereka harus dengan bersusah payah mengumpulkan orang untuk duduk berbicara dan berbagi pendapat. Di saat kita hanya dihadapkan dengan ujian, SOCA, OSCE dan kegiatan akademis lainnya, mereka dihadang dengan kenyataan masa depan bangsa Indonesia.
Mungkin inilah yang sering dinyatakan tentang bangsa Jepang. Mereka adalah negara yang miskin, dengan empat musim namun sangat kaya dan maju. Keterbatasan dan halangan yang ada membuat mereka harus memutar otak jauh lebih sering untuk memperbaiki kehidupan mereka. Mahasiswa kedokteran pada jaman itu dengan segala rintangan yang ada harus sering memutar otak dan untuk membuat hidup bangsa Indonesia yang mereka representasikan jauh lebih baik. Kita yang kehidupannya jauh lebih baik sehingga tidak perlu memutar otak untuk membuat kehidupan yang baik.
Dalam setiap kesempatan yang ada, saya selalu bertanya pada mahasiswa kedokteran ketika saya memberikan presentasi apakah mereka yakin dan bangga masuk kedokteran. Tidak perlu diragukan lagi, pasti jawabannya adalah YA. Saya tuliskan dengan huruf kapital menggambarkan betapa tegasnya jawab mereka acapkali saya tanya. Namun, tidakkah kita sadari bahwa menjadi mahasiswa adalah tanggung jawab yang besar. Lebih lagi, menjadi mahasiswa kedokteran adalah tanggung jawab yang lebih besar. Sejarah telah membuktikan bahwa perubahan besar sebuah negara banyak didalangi oleh mahasiswa kedokteran.
Kembali pada cerita saya mengenai kegiatan simulasi yang saya lakukan di atas. Kebanyakan mereka berbangga, namun saya sangat miris. Dari 80 mahasiswa yang seluruhnya adalah aktivis organisasi kemahasiswaan di kampus sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari tangan kanan saya, yang menaruh perhatian terhadap bangsa ini. Menaruh perhatian saya sebutkan berarti bercita-cita atau merancangkan perjalanan kehidupan yang menyangkut orang banyak misalnya menjadi dewan perwakilan rakyat, menteri kesehatan, aktivis kesehatan, tenaga pengajar atau hal yang sejenis. Beberapa menuliskan ingin memiliki rumah sakit untu orang yang tidak mampu namun terlebih dahulu bekerja 30-40 tahun di rumah sakit internasional. Kebanyakan menuliskan ingin menjadi dokter spesialis apa, kerja di rumah sakit mana, ingin punya bisnis apa, dan hal-hal lain yang mementingkan diri sendiri.
Dengan begini, bagaimana dengan nasib bangsa kita? Layakkah nasib mereka dibebankan pada pundak-pundak kita yang lemah ini? Layakkah harapan mereka digantungkan pada leher-leher yang masih memikirkan jengkal perut sendiri? Sanggupkah kaki kita menjejak di tanah dengan halangan sepatu berduri memanggul beban itu semua? Kita masih muda. Sumpah kita masih muda. Halangan dan rintangan yang ada masih sanggup buat kita lawan. Tenaga kita masih sanggup memutar kenyataan. Kaki kita masih sanggup menjejak dengan pasti. Pundak kita masih kuat memanggul beban tersebut. Pertanyaan sebenarnya apakah kita mau?
Selamat hari sumpah pemuda saudaraku, selamat memaknai hari pemuda dengan kemaknaaanmu sendiri. Sumpah gue masih muda!!!
Salam,
Penulis adalah mahasiswa kedokteran tahun keempat FK UI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H