Mohon tunggu...
Immanuel Lubis
Immanuel Lubis Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang penulis buku, seorang pengusaha

| Author of "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" | Writer |

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Air & Api" yang Mengajarkan Soal Profesionalitas

15 April 2015   10:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:05 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oke, siapa pun pasti sudah pernah menonton "Titanic". Film yang dibintangi si Cantik Kate Winslet itu kan film masa lampau sekali. Belum lagi sudah beberapa kali diputar di beberapa stasiun televisi. Pun pernah diputar ulang di bioskop dalam bentuk tiga dimensi.

Bicara soal "Titanic", dan mungkin film-film sejenis itu (yang soal bencana begitu), aku selalu terkesan dengan cara pembuatannya. Film-film seperti "Titanic", "Krakatoa", dan yang sejenisnya itu memang daya tariknya itu sebetulnya bukan di story line, melainkan di permainan efek, sehingga membuat kita jadi merasakan atmosfer bencana yang tersurat dalam filmnya. Pasti tak gampang membuatnya. Pasti butuh perjuangan lebih daripada yang dibutuhkan untuk membuat film-film yang tak butuh permainan efek. Seperti film-film bergenre drama atau komedi.

Ternyata juga film-film semodel "Titanic" begitu, tak mutlak milik Hollywood. Asia juga bisa. Ada beberapa film Asia yang sekiranya bisa menandingi Hollywood. Seperti film Thailand yang keluar pada tahun 2012, "Love at  the First Flood". Film yang scene-scene banjirnya itu sungguh bikin aku terpukau. Alhasil jadi lupa dengan story line-nya yang rada klise.

Tak hanya Thailand, Indonesia pun bisa membuat film yang sama. Masih ingat dengan "Si Jago Merah"? Itu, lho, film yang bercerita soal dunia pemadam kebakaran yang diceritakan secara jenaka. Memang sih, "Si Jago Merah" itu masih kurang mengena permainan efeknya (tapi tidak dengan ceritanya yang masih terngiang di kepala). Tapi untuk film sekuelnya, wow, jangan ditanya deh, luar biasa. Ada peningkatan dari "Si Jago Merah" soal penggunaan segala efeknya. Habis menontonnya itu jadi naik beberapa bar tingkat nasionalisme. Serasa bangga begitu, jadi warga negara Indonesia.

source: www.kostip.com

Omong-omong, film yang dimaksud itu ialah "Air & Api" yang rilis di bioskop untuk kali pertama pada 26 Maret 2015. Sebetulnya dibilang sekuel sih, kurang tepat. Sebab Raymond Handaya, sang sutradara, kurang menjelaskan beberapa kejanggalan yang ada di awal cerita. Dalam film yang ini, hanya ada dua tokoh dari film peninggalan mendiang Iqbal Rais. Hanya ada Gito Prawoto dan Rojak Panggabean. Para penonton dibuat bingung dengan ketiadaan Dede Rifai dan Kuncoro Prasetyo. Tiba-tiba juga ada tokoh-tokoh baru lainnya macam Abdur dan seorang tokoh perempuan yang diperankan oleh Girindra Kara. Agak-agak membingungkan di timeline-nya. Ini sebetulnya filmnya terjadi di tahun berapa. Seharusnya diceritakan jika film ini terjadi beberapa tahun setelah Gito,cs akhirnya mantap jadi seorang petugas pemadam kebakaran (damkar).

Plus, agak susah juga untuk sedikit menceritakan kembali "Air & Api" ini. Konfliknya cukup lumayan banyak. Ada persoalan asmara antara Dipo, Radit, dan Sisi. Ada juga persoalan Dipo dengan ayahnya yang terus memaksa Dipo untuk melanjutkan kelangsungan bisnis yang sudah lama dirintis. Ada pula konflik Radit yang mencampuradukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Nah, mungkin yang terakhir itulah pesan film ini. Yaitu, supaya kita dapat memisahkan mana urusan pekerjaan, mana urusan non-pekerjaan. Memang penting sekali untuk tetap profesional. Apalagi untuk beberapa pekerjaan yang berhubungan langsung dengan masyarakat.

Seperti yang dipertontonkan pada kita dalam film ini. Itu saat Radit yang cemburu membabi buta dengan Dipo gara-gara Sisi yang kesengsem berat. Padahal Dipo hanya menganggap Sisi itu rekan kerja. Karena kecemburuan itulah, Radit sempat beberapa kali memberikan masalah serius ke dinas damkar. Salah satunya saat insiden kebakaran di sebuah gedung. Namun ada kalanya, kecemburuan Radit malah membuat para penonton terpingkal. Dengan kekanak-kanakannya, Radit menolak untuk menyetir. Padahal situasi begitu genting. Yah begitulah jika kita mencampuradukkan urusan pribadi dan pekerjaan. Jadi semrawut. Tapi juga jadi lucu.

Persoalan profesionalitas juga menerpa tokoh bernama Dipo yang datang dari kalangan atas. Mungkin tokoh Dipo ini sengaja diadakan sebagai bahan sindiran untuk orang-orang kaya yang selama ini kurang peka terhadap isu-isu sosial. Bayangkan, Dipo ini datang dari golongan yang cukup berada, seorang mahasiswa Ekonomi yang sebentar lagi lulus, penerus perusahaan ayahnya, namun dia malah menceburkan diri dalam sebuah aktivitas sosial yang nyaris kurang dianggap di masyarakat kita (baca: damkar). Tanpa ba-bi-bu lagi, Dipo mendatangi kantor damkar dan mendaftarkan diri. Itu juga dilakukannya tanpa minta restu dari orangtua. Alhasil, beberapa bulan (Anggap saja seperti itu, apalagi timeline-nya agak membingungkan) bekerja jadi damkar, ayahnya datang ke kantor damkar, selanjutnya Dipo pun mengundurkan diri.

Kasus Dipo mengundurkan diri ini kemudian diekori juga dengan pengunduran diri Radit yang masih mempermasalahkan soal asmara. Dan di sinilah yang agak membingungkan. Sebegitu pentingkah peran Dipo dan Radit sehingga beberapa petugas damkar ngotot untuk membawa keduanya masuk damkar lagi? Karena memang agak sedikit berlebihan saja. Dipo dan Radit kan bisa dibilang newbie. Tapi beberapa petugas damkar senior bersikukuh untuk menarik keduanya kembali masuk damkar. Keduanya memang masuk damkar lagi. Dan itu terjadi saat terjadi bencana banjir.

Nah di sinilah bagian mengesankannya. Raymond Handaya sungguh brilian, sehingga bisa membuat scene banjir yang membuat para penonton merasa tengah berada dalam kejadiannya. Walaupun masih tampak beberapa kelemahan, permainan efeknya cukup lumayan. Kesan sedang berada di situasi banjir tetap ada.

Mungkin scene banjir dan kebakaran inilah yang bisa menjadi daya tarik paling menarik dari "Air & Api". Dan tambahan lagi, kalau kalian bosan dengan film-film Indonesia yang kebanyakan mengusung tema hampir mirip, "Air & Api" ini bisa jadi semacam oase tersendiri. Sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Kapan lagi coba Indonesia bisa memproduksi film dengan permainan efek yang setidaknya nyaris menyamai "Love at the First Flood" tersebut?

RATE: 85 / 100

Genre: Komedi-Romantis Sutradara: Raymond Handaya Pemain: Desta, Judika Sihotang, Abdurrahim Arsyad, Tarra Budiman, Dion Wiyoko, Enzy Storia, Marissa Nasution, Joe P-Project, Bucek, DJ Una,... Durasi: 99 menit Tanggal tayang: 26 Maret 2015 (Amerika Serikat)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun