Mohon tunggu...
Immanuel Lubis
Immanuel Lubis Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang penulis buku, seorang pengusaha

| Author of "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" | Writer |

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tanpa Sengaja di tengah Cinta Segitiga

30 Juni 2014   00:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:15 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kedua alis mataku bertemu. "Serius? Demi apa lu, si Culun itu juara Olimpiade Sains tingkat nasional?"

Ia langsung merogoh ponsel layar sentuh yang ada di saku kemejaku. Disodorkannya padaku. "Nih, coba cari di Google 'Immanuel Kencana Bramanto'."

Mungkin karena masih terkejut, aku mau saja disuruh olehnya. Padahal seharusnya tak perlu. Ia sudah bikin aku senewen.

Mataku melotot. Bibirku menganga cukup lebar. Di sampingku, Rianty terkikik. Yah, matanya itu mengintip isi ponselku.

"Gimana, Teph?" Ia mulai menggodaku dengan mimik menyebalkan itu lagi. "Apa si Iman masih culun juga?"

"Yah... eh... yah... eh..." Aku mulai gelagapan. "Yah, dia -- bagi gue -- masih tetap culun. Penampilannya nggak menarik. Mau orang itu jenius, kalau penampilannya tetap kayak gitu, menurut gue nih yah, orang itu tetap culun. Apalagi kenyataannya juga, di masyarakat, orang lebih memerhatikan penampilan luar ketimbang penampilan dalam."

Ia terkekeh. Cengiran lebarnya itu semakin menyebalkan, menurutku. Kalau saja, ia  tak kuanggap sebagai sahabat, sudah kudamprat habis-habisan.

"...dan si Culun itulah yang sebetulnya mengerjakan semua tugas lu, Teph. Ia juga yang pas mabis, pas lu nyaris aja dihukum karena datang telat, yang ngeboncengin lu ke sekolah..."

Kata-kata Rianty mengingatkanku akan kejadian saat masa bimbingan siswa dulu. Saat itu, aku diantar Papa. Di tengah jalan, mobil sedan hijau tuanya mogok. Dan jam sudah menunjukan pukul 06:31. Nyaris tiga puluh menit lagi, aku akan telat. Papa jadi menyarankanku untuk naik ojeg saja. Walaupun aku malas sekali menggunakan moda transportasi yang satu itu. Namun pilihan itu harus kulakoni. Ogah aku -- harus membuat diri berkeringat sampai bau, gara-gara harus lari keliling lapangan.

Lima menit, mungkin juga sepuluh menit, tak kunjung mendapatkan ojeg. Padahal masih ada Papa. Hingga akhirnya, ada sebuah motor sport keren yang menghampiriku dan Papa. Si pengendaranya, tanpa membuka helm, menawariku tumpangan. Dari pakaiannya, aku tahu dirinya juga seorang pelajar juga. Mungkin karena SMA Pelangi merupakan satu-satunya sekolah di kawasan tersebut, ia tahu aku murid baru juga yang hendak ke SMA-ku itu. Awalnya kukira cowok itu -- dari suaranya yang cukup berat terdengar -- merupakan kakak kelasku. Tapi ternyata...

...butuh waktu kurang lebih setahun untuk menyadarinya, aku tahu ternyata cowok itu...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun