Mohon tunggu...
Immanuel Sembiring
Immanuel Sembiring Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Immanuel Sembiring adalah seorang mahasiswa Hubungan Internasional yang tertarik dan menekuni bidang politik domestik maupun internasional

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Eksploitasi Sumber Daya Alam dalam Pertambangan Kobalt di Kongo Berdasarkan Teori Marxisme

13 Maret 2024   09:14 Diperbarui: 13 Maret 2024   14:14 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

          Kongo merupakan negara pemilik pasokan kobalt utama dunia. Ketersediaan pasokan kobalt mineral sangat menentukan keberlanjutan industri teknologi global. Kobalt adalah elemen vital pada baterai lithium-ion (Li-ion) sebagai bahan produksi smartphone, laptop, dan kendaraan listrik. Sementara itu, pasokan kobalt dunia sebanyak 70% terletak di negara Republik Demokratik Kongo (RDK).

           Namun kepemilikan pasokan kobalt dalam jumlah banyak justru menyebabkan Kongo mengalami eksploitasi. Terlebih pemerintah Kongo belum mampu mengatur tata kelola industri pertambangan kobalt. Akibatnya, negara Kongo menghadapi kemiskinan dan praktik eksploitasi sumber daya alam sejak tahun 1960. Bahkan Kongo menjadi salah satu negara termiskin dan paling tidak stabil di dunia. 

Teori Marxisme dalam Studi Hubungan Internasional

            Teori marxisme dalam studi Hubungan Internasional lahir sebagai kritik terhadap sistem kapitalisme global. Menurut pelopor teori Marxisme Karl Marx, sistem kapitalis hanya berfokus pada kepemilikan produksi secara individu serta penyebaran sumber daya. Marx meyakini kapitalisme akan selalu menyebabkan orang kaya atau kaum borjuis semakin kaya. Sedangkan kaum pekerja atau proletar semakin menderita. Marx memandang kapitalisme mengakibatkan kaum pekerja mengalami tindakan eksploitasi dan ketidaksetaraan. Marxisme menganggap sistem kapitalis mengubah kekuatan politik serta menimbulkan kerugian sosial bagi kaum pekerja.

            Teori marxisme dalam hubungan internasional berfokus pada interaksi antara negara maju terhadap negara berkembang. Marxisme meyakini bahwa eksploitasi berbentuk aksi pemerasan kaum borjuis terhadap para proletar. Proletar diyakini sebagai aktor utama kegiatan produksi. Namun keuntungan justru lebih banyak diterima oleh para pemilik modal. Kaum borjuis mendapatkan banyak keuntungan, sedangkan proletar hanya menerima upah minimum. Konsep eksploitasi tersebut juga dialami sejumlah negara dalam hubungan internasional. Negara dengan kekuatan ekonomi besar seringkali mengeksploitasi negara yang memiliki sumber daya alam berlimpah. Negara ekonomi besar umumnya merupakan negara maju. Sedangkan sebagian besar negara pemilik kekayaan sumber daya alam ialah negara berkembang. Dengan kata lain, praktik eksploitasi rentan terjadi antara negara maju terhadap negara berkembang.

            Marxisme menganggap sumber daya alam sebagai elemen vital dalam eksploitasi. Kaum pemilik modal dapat berwujud perusahaan multinasional maupun pemerintah asing. Pemilik modal berupaya menguasai sumber daya alam sebuah negara. Pemilik modal kemudian menggunakan sumber daya alam demi meraih keuntungan ekonomi. Akan tetapi, sebagian besar keuntungan lebih banyak diterima negara luar. Sementara para pekerja dan masyarakat domestik ditinggalkan dalam keadaan ekonomi sangat rentan.

            Menurut teori marxisme, eksploitasi terhadap alam dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu eksploitasi langsung dan tidak langsung. Eksploitasi langsung ialah tindakan pemanfaatan berlebihan terhadap objek alam secara langsung. Contoh eksploitasi langsung adalah penebangan hutan, aktivitas pertambangan, serta penangkapan ikan dalam jumlah tidak wajar. Eksploitasi langsung menyebabkan kerusakan alam, erosi, dan kepunahan flora maupun fauna. Sementara itu, eksploitasi tidak langsung merupakan tindakan pemanfaatan berlebihan terhadap objek alam secara tidak langsung. Eksploitasi tidak langsung berbentuk pemanfaatan energi fosil, limbah rumah tangga, dan efek gas rumah kaca. Eksploitasi tidak langsung dapat mengakibatkan pemanasan global, perubahan iklim, serta kerusakan sumber daya alam.

            Teori marxisme dapat digunakan dalam menganalisis ketidaksetaraan antara negara pemilik sumber daya alam dan negara ekonomi besar. Sebagian besar negara pemilik sumber daya alam mengalami posisi ketidakadilan. Hal itu terjadi sebab keputusan dan kontrol terhadap harga jual-beli ditentukan oleh negara kuat secara ekonomi. Teori marxisme mampu mengidentifikasi ketidaksetaraan serta eksploitasi dalam aktivitas ekonomi global.

Eksploitasi Pertambangan Kobalt di Kongo

            Sebagai negara produsen kobalt, Kongo justru mendapatkan kerugian dan penderitaan. Kekayaan sumber daya alam Kongo seharusnya mampu memberikan banyak pemasukan atau keuntungan. Namun pertambangan kobalt membuktikan telah terjadi praktik eksploitasi dan kesengsaraan rakyat Kongo. Seluruh rakyat Kongo termasuk empat puluh ribu anak-anak menjadi pekerja pertambangan kobalt dengan kondisi tanpa sistem perlindungan keselamatan yang baik. Keamanan dan peralatan pertambangan kobalt sangat berbahaya serta rentan menimbulkan kecelakaan. Selain itu, upah para pekerja tidak sebanding dengan risiko keselamatan di lokasi pertambangan.   

            Anak-anak yang menjadi pekerja pertambangan kobalt Kongo hanya mendapatkan upah sebesar $1 atau $2 per hari. Sedangkan jam bekerja sangat panjang hingga mencapai dua belas jam per hari. Padahal keuntungan penjualan kobalt sekitar $20.000 per ton. Bahkan anak-anak harus mengangkut hasil tambang dengan jalan kaki sejauh ribuan mil setiap hari. Selain itu, para pekerja termasuk anak-anak kerap kali diserang secara fisik oleh petugas keamanan. Terlebih lagi, aktivitas pertambangan menimbulkan penyakit kulit akibat bersentuhan dengan barang tambang. Oleh sebab itu, pertambangan kobalt Kongo menjadi wujud eksploitasi dan pelangaran Hak Asasi Manusia (HAM) tingkat tinggi. Pertambangan kobalt Kongo juga menunjukkan fenomena kerusakan lingkungan, eksploitasi anak, serta tindakan korupsi.       

            Aktivitas pertambangan kobalt Kongo telah menyebabkan sebanyak dua ribu pekerja meninggal dunia setiap tahun. Kematian pekerja tersebut disebabkan oleh terpapar penyakit pernapasan, infeksi kulit, serta kecelakaan dalam bekerja. Akan tetapi, perusahaan pertambangan kobalt Kongo tidak mau mengakui dan enggan bertanggung jawab terhadap kejadian tersebut. Akibatnya, keberlangsungan hidup rakyat Kongo terancam bahkan tragis.  

            Pertambangan kobalt menunjukkan fenomena ketidakadilan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berlebihan. Perusahaan multinasional serta pemerintah asing diduga menjadi aktor utama fenomena tersebut. Walaupun Kongo memiliki kekayaan alam, tetapi keuntungan lebih banyak diraih oleh perusahaan multinasional maupun pemerintah asing. Kurangnya kapabilitas pemerintah Kongo dalam mengolah pertambangan kobalt turut mendorong terciptanya kemiskinan serta ketidakpastian ekonomi domestik. Teori nilai surplus marxisme berfokus pada keuntungan nilai ekonomi justru diraih pemilik modal, sedangkan para pekerja mengalami kerugian. Oleh sebab itu, pertambangan kobalt negara Kongo sangat membuktikan eksploitasi hanya menguntungkan perusahaan multinasional dan pemerintah asing.

            Salah satu perusahaan multinasional yang memiliki peranan sentral dalam produksi kobalt Kongo ialah Congo DongFang International Mining (CDM). CDM adalah sub bagian dari sebuah perusahaan industri tambang raksasa asal Tiongkok bernama Zhejiang Huayou Cobalt. Perusahaan CDM berperan vital mulai dari proses ekstraksi hingga distribusi pasokan kobalt Kongo. CDM diduga telah melakukan eksploitasi pertambangan kobalt negara Kongo demi memenuhi industri baterai Li-ion dunia. Selain CDM, perusahaan multinasional lain seperti Samsung SDI, LG Chem, dan Tianjin Lishen Battery Co juga memanfaatkan sumber daya alam kobalt di Kongo.

            Pemerintah Tiongkok diduga sebagai salah satu pihak yang terlibat dalam eksploitasi kobalt Kongo. Keterlibatan pemerintah Tiongkok dilihat melalui eksistensi perusahaan multinasional CDM. Tiongkok sebagai pemerintah asing diduga melibatkan kepentingan politik serta ekonomi terhadap pertambangan kobalt Kongo. Akan tetapi, Tiongkok bukan satu-satunya pemerintah asing yang berproduksi di Kongo. Terdapat pemerintah asing lain seperti Korea Selatan dalam pengelolaan kobalt Kongo. Keterlibatan pemerintah Korea Selatan dibuktikan dengan kehadiran dan aktivitas operasional perusahaan Samsung SDI dan LG Chem di Kongo.    


Daftar Pustaka 

Lutfiandi, Fathan., Shalsabila Aurelia., Irwansyah. (2023). Analisis Marxisme dalam Hubungan Internasional Terhadap Eksploitasi Sumber Daya Alam: Kasus Pertambangan Kobalt di Kongo. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta. https://www.researchgate.net/publication/376477806_Analisis_Marxisme_Dalam_Hubungan_Internasional_Terhadap_Eksploitasi_Sumber_Daya_Alam_Kasus_Pertambangan_Kobalt_di_Kongo. [Diakses 6 Maret 2024].

Nurikhtiar, Arhama., Anmita Intan Fatimah., Nurul Annisa. (2023). Permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) Dalam Percepatan Teknologi Lingkungan di Kongo. Jurnal Pena Wiyama. 3(1). http://jurnal.upnyk.ac.id/index.php/jpw/article/view/8381/5079. [Diakses 6 Maret 2024].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun