Bait ini menggambarkan keadaan di mana orang yang hidup di "jaman edan" akan kesulitan untuk tetap teguh pada moral dan prinsip hidup yang baik. Istilah Ewuh aya ing pambudi menandakan bahwa di masa tersebut, sulit bagi seseorang untuk bertindak benar karena masyarakat telah tercemar oleh tindakan amoral dan materialisme. Seseorang yang memilih tidak ikut "edan" atau "gila" mungkin menghadapi kesulitan ekonomi dan bahkan kelaparan (kaliren wekasanipun). Namun, di akhir bait, Ranggawarsita menyampaikan harapan bahwa kebahagiaan sejati ada pada orang yang "eling lan waspada" (ingat dan waspada) karena mereka mempertahankan integritas moralnya.
Konsep Kebahagiaan Sejati Menurut Ranggawarsita
Ranggawarsita menutup bait tersebut dengan refleksi filosofis tentang kebahagiaan sejati yang diperoleh dari kesadaran dan kewaspadaan moral, bukan dari harta atau kepemilikan duniawi. Dalam hal ini, beliau menekankan pentingnya hidup dengan kesadaran yang tinggi akan moralitas dan kepercayaan pada takdir Allah. Filosofi ini berakar pada pandangan dunia Jawa yang percaya pada keseimbangan antara materialisme dan spiritualisme.
Implikasi dan Relevansi Sosial
Bait ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang moralnya terdegradasi, orang yang memilih untuk mengikuti arus "jaman edan" mungkin merasakan kemudahan sementara, tetapi konsekuensinya adalah ketidakbahagiaan yang sejati. Hal ini relevan dengan situasi di Indonesia di mana banyak individu dan pejabat tergoda untuk melakukan tindakan korupsi demi kepentingan pribadi.
Pada dasarnya, orang yang terlibat dalam tindakan korupsi mungkin akan mendapatkan kekayaan atau pengaruh sesaat, tetapi kehilangan integritas dan rasa puas yang sesungguhnya. Hal ini tercermin dalam frasa Begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada, yang berarti bahwa kebahagiaan orang yang mengikuti arus "jaman edan" masih kalah dengan kebahagiaan yang didapatkan oleh mereka yang tetap menjaga kesadaran dan kewaspadaan moral.
Kata-Kata Kunci dan Konsep Penting dalam Bait
- Amenangi - Menyaksikan atau hidup di dalam zaman tertentu. Dalam hal ini, menyaksikan "jaman edan".
- Jaman edan - Suatu masa yang penuh dengan kegilaan, atau lebih tepatnya moralitas yang rusak.
- Ewuh aya ing pambudi - Kesulitan dalam bertindak atau mengambil keputusan yang benar.
- Milu edan nora tahan - Ikut gila tetapi tidak tahan, yang berarti seseorang terjebak dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan nuraninya.
- Eling lan waspada - Mengingat dan waspada; ajakan untuk tetap sadar akan moralitas dan tetap berhati-hati dalam bertindak.
Setelah era keemasan, datanglah Katatidhaāzaman ketidakpastian yang dipenuhi dengan keraguan dan krisis kepercayaan. Ranggawarsita menggambarkan masa ini sebagai era di mana moralitas mulai goyah, dan masyarakat kehilangan arah. Ketidakpastian ini ditandai dengan rasa ketidakadilan, ketidakjelasan masa depan, serta hilangnya kepercayaan pada para pemimpin. Krisis kepemimpinan yang terjadi pada Katatidha mendorong rakyat untuk mempertanyakan moralitas dan kompetensi pemimpin yang ada.
Kalatidha adalah representasi dari masa transisi yang kacau, dan ini sangat relevan dengan situasi politik dan sosial di Indonesia pasca-Orde Baru. Masa transisi menuju demokrasi yang dimulai pada tahun 1998 membawa harapan besar, namun juga menciptakan ketidakpastian yang masif. Reformasi yang seharusnya membawa perubahan signifikan justru membuka jalan bagi kebangkitan aktor-aktor politik yang tidak sepenuhnya memiliki komitmen pada demokrasi dan keadilan sosial.
Fenomena korupsi yang terjadi pada masa Kalatidha mencerminkan bagaimana transisi politik yang tidak tuntas membuka celah bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan. Pada masa ini, korupsi bukan hanya terjadi di tingkat elit, tetapi juga merambah ke level birokrasi yang lebih rendah. Ketidakpastian dalam sistem hukum dan politik membuat korupsi menjadi endemik, dan masyarakat semakin kehilangan kepercayaan pada institusi-institusi negara.
Makna Filosofis dan Moralitas dalam Teks Serat Kalatidha