Mohon tunggu...
Immanuella Devina
Immanuella Devina Mohon Tunggu... Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi, UAJY

Communers'19 be a voice, not an echo.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Salahkah Menjadi Seorang Otaku?

21 Maret 2021   15:04 Diperbarui: 21 Maret 2021   15:55 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster "Wotakoi : Love is Hard For Otaku" sumber: FAR EAST FILM FESTIVAL 23 

APA YANG TERBESIT DIPIKIRAN ANDA TENTANG  "OTAKU"?

"hmm kepikirannya yang suka jejepangan dan punya sifat berbeda dari manusia umumnya.."

"orang-orang totalitas. mereka bisa gambar atau edit gitu"

" orang-orang yang niat dan giat banget dalam menggemari hal itu"

BUDAYA POPULER DARI NEGERI MATAHARI TERBIT

Budaya populer adalah produk dari masyarakat industri, dimana baik praktik penandaan ataupun produk yang dapat diamati (contoh: budaya) itu diproduksi atau dilakukan dalam jumlah yang besar. Hal itu bisa terjadi karena bantuan teknologi produksi massal, distribusi, dan duplikasi, sehingga budaya itu mudah diakses oleh masyarakat. (Heriyanto, 2008 h.6). Pesan yang dikomodifikasi, yang diproduksi secara massal, contohnya : musik, film, dan televisi. Kedua, kategori oleh orang, termasuk non-industri, relatif mandiri, komunikatif praktik yang beredar melalui berbagai cara, contohnya acara publik, parade, festival).

Anime adalah salah satu budaya populer asal Jepang. Anime ini diproduksi sejak tahun 1900-an secara masif. Hiburan ini sangat populer karena tidak hanya memproduksi artefak berupa tontonan tetapi juga ada film, kaset, pakaian, acara telvisi, figur dan sebagainya. 

Di Indonesia sendiri, anime banyak merambah di saluran-saluran televisi seperti RCTI, Indosiar, dan Global TV. Anime ini dinikmati oleh banyak orang sehingga banyak pernak-pernik yang diproduksi dan dijual di Indonesia sendiri ataupun adanya komunitas pecinta Anime. Nah, siapa sangka kehadiran budaya populer ini menghadirkan sebuah subkultur yang mungkin tidak asing lagi, Otaku (Akmal, 2020). 

SUBKULTUR: SEKILAS TENTANG OTAKU

Subkultur secara sederhana dapat dijelaskan sebagai sekelompok individu yang berbagi kepentingan seperti ideologi atau praktik tertentu. Pada kajian budaya, "sub"pada subkultur mengartikan  adanya perbedaan pendapat, sesuatu yang bertentangan dengan konservatisme dan dengan cita-cita masyarakat (Ryan, 2010, h.  Subkultur ini bisa berlawanan dengan budaya dominan yang ada. Lalu, subkultur juga sering dianggap berbeda oleh masyarakat awam. Hal ini karena hanya dilakukan,diakui, atau dipahami oleh orang-orang tertentu saja (Hartley, 2010, h. 293).

Salah satu subkultur yang akan kita bahas adalah Otaku. Otaku adalah subkultur yang terkenal dengan orang-orang yang menggemari anime. Tidak hanya itu ada manga, video game, dan bentuk lain dari budaya populer yang ada di Jepang (Tsusui, 2008). Mereka pertama kali muncul sekitar awal tahun 1980-an. Pada saat itu kebanyakan otaku adalah laki-laki berusia 13-40 tahun. Mereka memiliki penampilan yang kurang menarik dan kasual. Otaku mengilustrasikan tren global yang sangat khas dalam hal ini adalah modern youth subcultures.

Di Jepang sendiri, subkultur ini dikaitkan dengan fantasi, kebiasaan antisosial, kekerasan, bahkan penyimpangan seksual. Pemahaman ini berawal dari insiden pembunuhan berseri yang dilakukan oleh Miyazaki Tsutomu. Ia dikenal sebagai "Otaku Si Pembunuh." yang membunuh empat perempuan muda di Saitama.

Saat polisi memeriksa ruangannya, mereka menemukan banyak koleksi anime pornografi dan pedofilia Media pada saat itu menghadirkan berita yang membuat panik dan akhirnya otaku ini dikenal sebagai fans introvert yang "berbahaya dan orang mesum yang terganggu secara psikologis." Orang-orang yang ada pada subkultur ini juga dianggap merusak nilai-nilai sosial pemuda Jepang.

Meskipun istilah "otaku" sendiri terus memiliki konotasi negatif di Jepang. Namun pada masa kini, dimana banyak yang mengonsumsi budaya populer tersebut, Otaku telah ditoleransi dan diterima selama dekade terakhir. Salah satu buktinya adalah sejak muncul dokumentasi NHK tahun 2005 "Akihabara Geeks" yang membahas tentang bagaimana fans ini  memiliki harapan, ketakutan dan kehidupan sosial yang sebenarnya sama saja dengan masyarakat kebanyakan.  (Tsusui, 2008).

Protes pemuda pada tahun 1960-an dan maslah ekonomi pada akhir 1980-an adalah masa-masa sulit di jepang. Pada masa itu manga dan anime menjadi pelarian bagi mereka yang bekerja terlalu keras, dibayar rendah, dan mengganggur. Mereka menemukan kenyamanan dalam dunia fiksi tersebut.

SALAHKAH MENJADI SEORANG OTAKU?

Seseorang melakuakn cosplay. Sumber: Dafunda.com
Seseorang melakuakn cosplay. Sumber: Dafunda.com

Saya pikir subkultur Otaku ini memiliki stereotip yang negatif di tengah masyarakat. Di Jepang sendiri, mereka dianggap sebagai orang-orang yang menolak nilai-nilai sosial yang dipegang oleh masyarakat Jepang. Bagi banyak orang Jepang, menjadi otaku berarti secara sukarela meninggalkan kenyataan dan dunia sosial.  Namun, bagaimana dari sisi Otaku sendiri? Apakah mereka memang mendeskripsikan diri mereka demikian? Saya pikir ini aka nada hubungannya dengan politik identitas.

Pada politik identitas, suatu kelompok membuat pernyataan tentang benar atau salah, menyatakan perbedaan atau mempromosikan ideologi mereka untuk mendapatkan pengakuan, pembenaran, atau kekuatan. 

Otaku sendiri, berbeda dengan apa yang dipahami masyarakat, tidak semua mengisolasi diri. Otaku juga bisa berkumpul dengan sekelompok teman informal atau klub perguruan tinggi formal di pusat permainan atau konvensi raksasa. 

Subkultur ini sangat bergantung dengan koneksi dan hubungan untuk mendapatkan informasi seputar anime atau produk yang mereka sukai Oleh karena itu, sangat salah bila otaku dinyatakan suka menghindari interaksi, mereka bergantung padanya dan berbagi informasi sangat dihargai di antara otaku (Rich, 2016).

Interaksi mereka sering kali nampak di masyarakat secara nyata. Kita melihat di dunia online atau offline bagaimana otaku menggunakan kostum sesuai tokoh-tokoh anime atau disebut dengan cosplayer. 

Para cosplayers tidak bertemu untuk pamer. Mereka bertukar tip konstum, membuat sebuah doujinshi dan menjualnya. Lalu, banyak komunitas internet yang berbagi hasil karya seni kustom, membuat figure sendiri, dan menulis fiksi penggemar. Kegiatan-kegiatan yag dilakukan ini menunjukkan siapa mereka dan perbedaan dari apa yang dipikirkan orang Jepang atau masyarakat global (Rich, 2016)

OTAKU ADALAH TENTANG KEPEMILIKAN DAN KESENANGAN PRIBADI

Rich (2016) membagikan opininya tentang otaku dengan menulis artikel "How I Learned To Stop Worrying and Loving Being Otaku. Answering Questions of Identity and Fandom in Japan and Beyond." Ia mengatakan bahwa otaku adalah tentang kepemilikan. Kepemilikan yang dimaksud adalah rasa suka dan kesayangan atas setiap detail dari produk yang mereka suka. Kemudian, merek bisa membuat kostum, fiksi penggemar, video musik, figur, seni, bahkan membuat serial berdasarkan kisah favorit mereka.

Saya pribadi setuju dengan definisi ini, sebagai pribadi yang tidak asing dengan anime dan manga. Saya melihat banyak sekali talenta-talenta di luar sana yang muncul karena mereka menyukai hal-hal ini. Karya-karya seni luar biasa bahkan sampai analisis-analisis realitas pun diproduksi oleh para otaku atas dasar kecintaan mereka dengan anime ataupun manga. 

Lagi pula, menyukai sesuatu dan hidup bersamanya bukan lah suatu masalah. Apalagi kesukaan itu membantu hidup seseorang menjadi lebih baik dan bahagia. Anime dan manga sendiri adalah topik yang tidak asing dan selalu asik untuk dibahas.

DAFTAR PUSTAKA

Akmal, N. (2020). Lahirnya Anime Sebagai Budaya Populer. Kumparan.com. Diakses pada 21 Maret 2021.

Hartley, J. (2010). Communication, Culture, and Media Studies: Konsep Kunci. Yogyakarta: Jalasutra.

Heriyanto, A. (2008). Popular Culture in Indonesia: fluid identities in post-authoritarian politics. Routledge : Madison.

Rich. (2016). How I Learned To Stop Worrying and Loving Being Otaku. Answering Questions of Identity and Fandom in Japan and Beyond. Diakses pada 21 Maret 2021.

Ryan, M. (2010). Cultural Studies A Practical Introduction. New Jersey: Wiley-Blackwell

Tsusui, W. M, (2008). Nerd Nation Otaku and Youth Subcultures in Contemporary Japan. Education About ASIA, 13(3). 12-18

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun