Fenomena flexing atau pamer di media sosial saat ini menjadi sesuatu yang sangat mudah ditemui. Mulai dari orang biasa sampai kalangan berada, dari artis ibu kota sampai keluarga pejabat. Unggahan konten ala sultan ini, sebagian berdalih untuk memotivasi orang lain agar lebih giat bekerja jika ingin menjadi kaya.
Sebagian lagi tidak ada maksud apa-apa. Hanya ingin upload saja, untuk kesenangan pribadi. Menampakkan harta dan kemewahan di media sosial memang menjadi hak masing-masing individu. Namun, tidak berlebihan dalam mengunggah konten adalah pilihan yang lebih bijak.
Mereka yang menampakkan kekayaannya di media sosial jika dibarengi dengan karya dan jiwa sosial yang tinggi masih mending. Tapi, bagaimana jika hanya untuk berfoya-foya layaknya sosialita? Lebih parah, jika kebiasaan flexing ini menimbulkan masalah yang tidak sederhana.
Kasus Berawal dari Medsos
Sebut saja kasus Mario Dandy Satriyo. Aksinya yang menganiaya remaja 17 tahun, viral di media sosial. Setelah ditelusuri, ternyata Mario Dandy adalah anak dari pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang bernama Rafael Alun Trisambodo. Berawal dari video viral ini, Mario Dandy menjadi tersangka dan dikeluarkan dari kampus. Ayahnya pun kena getahnya. Selain dicopot dari jabatannya, harta kekayaan Rafael yang melimpah juga menjadi tanda tanya.
Terbaru, video seorang tiktoker yang memarahi siswi magang di pusat perbelanjaan juga viral di media sosial. Usut punya usut, tiktoker cantik ini ternyata istri seorang polisi. Ibu Bhayangkari tersebut memang sudah meminta maaf, tapi kasusnya terus berlanjut. Bukan hanya ibu Bhayangkari yang kena, suaminya pun tak luput dari sanksi.
Pak polisi satu ini memang cukup aneh. Ketika istrinya sedang marah-marah kepada siswi magang, justru suaminya-lah yang merekam video tersebut. Video itu pun viral dan memancing banyak reaksi. Netizen Indonesia yang cerdik mulai penasaran. Lalu dimulailah penelusuran latar belakang tiktoker cantik ini dan suaminya.
Dari Instagram sang tiktoker cantik, diketahuilah gaya glamor dan kehidupan mewahnya. Padahal, ibu Bhayangkari tidak seharusnya demikian. Dia telah mencoreng nama baik Bhayangkari. Imbasnya, suaminya terancam kehilangan pekerjaan dan jabatannya. Masalah mungkin saja berlanjut. Istri seorang polisi yang hedonis patut dicari tahu dari manakah sumber  hartanya.
Benarkah Gara-Gara Medsos?
Zaman teknologi informasi yang semakin berkembang membuat privasi masing-masing orang semakin terancam. Data yang tersimpan rapi oleh pemerintah saja bisa diretas lalu diperjualbelikan. Nah, ini justru dengan sengaja dan sadar mengunggah segala macam aktivitas (yang kurang baik) baik berupa foto maupun video di media sosial.
Apakah media sosial biang keroknya? Eits, tunggu dulu.
Media sosial adalah sebuah alat yang diciptakan oleh manusia yang bertujuan untuk mempermudah kehidupan manusia juga. Ketika dahulu orang harus bertemu untuk berbicara secara langsung, sekarang lewat media sosial semua orang di seluruh dunia bisa saling terhubung sekaligus. Ketika dahulu jual beli hanya bisa dilakukan dengan mendatangi pasar atau tokonya secara langsung, sekarang hanya tinggal klik, barang sudah diantar di depan rumah.
Lalu, mengapa banyak kasus besar maupun kecil berawal dari media sosial?
Layaknya sebuat alat, jika alat tersebut digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat, maka hasilnya pun baik. Jika alat tersebut digunakan untuk kejahatan, maka pidana pun bakal menanti. Bukan media sosial yang salah, tetapi penggunanya-lah yang membuat media sosial tersebut terkesan jahat. Maka, di sinilah dibutuhkan kebijakan dalam menggunakan media sosial.
Ingat, jejak media sosial akan selalu terekam. Maka, selalu hati-hatilah dalam mengunggah segala sesuatu. Bedakan mana yang perlu diunggah, dan mana yang merupakan privasi. Kasus pak polisi dan ibu bhayangkari di atas bisa menjadi contoh nyata bagaimana media sosial bisa menjadi bumerang yang menyeramkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H