Belasan tahun lalu saya sempat berangan-angan hadirnya para wartawan freelance; yang bebas bergerak tanpa terikat pada media tertentu.
Kini angan saya itu sudah terjawab dengan keberadaan jurnalis warga atau citizen journalist, yang mana bila diamati persis seperti wartawan freelance.
Entah sejak kapan dan siapa yang memulai keberadaan jurnalis warga, tidaklah begitu penting. Yang jelas keberadaannya sudah merupakan suatu revolusi besar di bidang pers dan informasi.
Setiap orang adalah wartawan bagi yang lainnya.
Itulah yang berlaku bagi para jurnalis warga. Karena setiap orang dapat menjadi dan bertindak sebagai wartawan bagi orang lain, begitupun sebaliknya. Apalagi keberadaan jurnalis warga didukung oleh para media yang menyediakan wahana untuk keperluan tersebut.
Keberadaan jurnalis warga jelas merupakan ancaman serius bagi wartawan mainstream.
Persaingan diantara jurnalis warga dengan wartawan mainstream telah dimulai dan tercipta dengan sendirinya. Untuk itulah saya kira beberapa waktu lalu memunculkan ide di kalangan para pelaku jurnalistik mainstream untuk mengharuskan kalangan mereka melakukan dan mengeluarkan kompetensi.
Uji Kompetensi Wartawan.
Saya kira sebuah langkah eksklusif yang dilakukan para penggiat jurnalistik mainstream terhadap para pelaku jurnalistik diluar ring.
Beberapa teman wartawan yang memegang kartu tanda lulus uji kompetensi wartawan, begitu bangga karena merasa diatas daripada para wartawan non kompetensi.
Sebuah kebanggaan semu saya pikir; cuma beda pada selembar sertifikasi dan kartu saja. Nyatanya beberapa teman wartawan yang sudah 'kompeten' itu, kemampuannya tak juga berubah dan meningkat secara signifikan.
Yang lebih nyata lagi, nara sumber maupun objek pemberitaan selama ini hampir tak pernah menanyakan apakah seorang wartawan yang akan mengkonfirmasi maupun mewawancarai itu sudah lulus uji kompetensi.
Uji kompetensi jadi jalan untuk mempermalukan para pelaku jurnalistik mainstream.
Kalimat diatas akan menjadi sebuah kenyataan pahit bila dilakukan dengan tujuan ekskluvisme, apalagi dilakukan secara formalitas seperti memberikan sebuah ulangan harian bagi para murid sekolah namun tetap tak mempengaruhi nilai dan meningkatkan kemampuan.
Lupakan uji kompetensi, tingkatkan kemampuan.
Ini lebih terdengar nyaman di telinga. Seorang pembaca, pendengar, maupun pemirsa suguhan media hanya akan menikmati hasil karya yang menurutnya bagus, tanpa pernah mempertanyakan apakah seseorang yang berada dibalik suguhan tersebut lulus atau belum, ada maupun tidak ada yang namanya uji kompetensi.
Yang jelas siapapun ia berkompeten untuk menjadi pelaku jurnalistik meski dengan sebutan-sebutan; citizen journalist, pewarta atau jurnalis warga, maupun wartawan warga.