Memasuki pintu gerbang wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dari arah Banjarmasin, tepatnya wilayah Kecamatan Satui, mulai terasa suasana daerah pertambangan.
Di kiri jalan umum di daerah tempat KH. Idham Chalid berasal ini, tampak lahan-lahan dengan sedikit pohon yang terkoyak dimana-mana, berlobang besar dan dalam, bekas galian tambang batubara yang ditinggalkan begitu saja tanpa direklamasi.
Di daerah inilah, di sebuah kampung bernama Satui yang dipakai menjadi nama sebuah kecamatan yang kini masuk Kabupaten Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan, KH. Idham Chalid, salah seorang tokoh di republik ini dilahirkan.
Idham Chalid, beliau merupakan ulama, salah seorang tokoh di Ormas Nahdlatul Ulama (NU). Beliau juga sempat menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Daerah laksana di film cowboy.
Suasana daerah pertambangan semakin tampak tercium aromanya dengan adanya truk-truk besar pengangkut batubara yang melintasi dan menggunakan jalan umum. Truk-truk tersebut berbaur dengan kendaraan umum seolah berebut mendapat tempat di jalanan umum. Meski sudah ada Peraturan Daerah (Perda) yang melarang penggunaan jalan umum untuk angkutan tambang dan perkebunan, namun truk-truk itu melenggang enteng tanpa takut diamankan oleh pihak yang berwenang. Truk-truk yang bermuatan melebihi kapasitas angkut (overload) itu pun tak ada yang berbelok dan mampir di jembatan timbang yang dibangun belasan tahun lalu.
Memasuki ibukota kecamatan, aroma daerah pertambangan tetap terasa; dalam kota yang berdebu di waktu musim panas, dan jalan umum berlapis lumpur tipis di kala musim penghujan.
Pemandangan para pekerja yang menggunakan seragam, bersepatu safety dari bahan kulit berlapis besi pengaman di bagian ujung kaki, dilengkapi dengan helm berwarna kuning, biru dan putih; tampak pagi dan petang sedang menunggu kendaraan jemputan untuk pergi berkerja, bergantian dengan mereka yang turun usai bertugas.
Tak seberapa jauh dari pusat kota kecamatan, diantara pemukiman warga; guruh dan deru peralatan berat terdengar garang mengeruk tanah mencari benda padat berwarna hitam; emas hitam begitu sering orang menyebut.
Kuping, hidung dan mata warga yang bermukim diantara deru debu kegiatan pertambangan itu tampaknya sudah sangat kebal, sehingga bunyi raungan peralatan berat terdengar bak nyanyian merdu, bau bahan bakar dan batubara seolah farfum mahal, dan debu yang berterbangan dianggap seperti angin semilir yang terasa sejuk di hidung.
Mungkin saja para warga sudah terlalu jenuh dan bosan mengeluh karena keluhan yang seperti membentur tembok yang teramat kuat dan kokoh. Karena bukan hal yang rahasia jika diantara kegiatan pertambangan yang bergelimang rupiah, pengusahanya bisa berbuat apa saja dengan cara-cara premanisme untuk memuluskan usaha mereka. Mengintimidasi dan mengancam siapa saja yang dianggap menghalangi usaha pertambangan; bukan hal yang aneh dan mengejutkan lagi, sudah teramat biasa.
Saya jadi membayangkan keberadaan kegiatan pertambangan batubara ini membandingkannya dengan tayangan di film-film cowboy; di lokasi pertambangan di benua Amerika, dimana para cowboy menunggang kuda dengan pistol di pinggang maupun di tangan. Bedanya kini para cowboy di pertambangan itu tak menunggang kuda, tapi menaiki mobil-mobil double cabin dengan penggerak 4 roda (4 wheel drive) alias dobel gardan.