Pulang sekolah aku tak langsung membuka tudung saji mencari nasi dan lauk pauknya untuk makan siang, tapi merengek dulu ke ibu agar diberi uang.
Tadi di sekolah Bu Guru kami memberitahukan minggu pagi besok akan ada pemutaran film anak-anak berjudul Cinderella di salah satu dari dua bioskop yang ada di kota kami. Bu Guru mengharapkan agar seluruh murid di kelas lima SD kami agar membeli tiket dan menonton film tersebut.
Harga tiket untuk menonton film anak-anak itu seharga Rp 100, jika dibandingkan dengan nilai uang saat ini entahlah berapa padanannya. Yang jelas nilai uang Rp 100 pada saat itu bisa untuk uang sanguku ke sekolah selama 10 hari, karena uang saku sekolahku tiap hari cuma Rp 10.
Bagi keluarga kami pada waktu itu uang Rp 100 itu lumayan besar, sehingga ibuku tak serta merta mengabulkan permintaanku. Dengan berbagai cara aku merayu ibu agar mau memberiku uang untuk bisa ikut menonton film bersama teman-teman sekelas.
Sebetulnya bukan persoalan bisa menonton atau tidak, tapi perasaan malu terhadap teman-teman jika sampai tidak ikut menonton film. Dan perasaan malu ini pun kusampaikan kepada ibu agar perasaan malunya seperti yang kurasakan juga bangkit.
"Uang sebegitu banyak bisa untuk uang saku sekolahmu selama 10 hari. Kamu pilih malu sebentar atau tidak berbelanja selama 10 hari ? Kamu kan bisa minta teman-temanmu nanti menceritakan film itu," ujar ibu.
Nah, jawaban ibu ini sudah kuduga. Inilah jawaban yang paling tidak menyenangkan. Aku pun terdiam sambil menimbang-nimbang apakah menanggung malu, atau tidak jajan.
Cukup dilematis pilihan yang dilontarkan ibuku. Waktu selama 10 hari bukan waktu sebentar jika aku nekat memilih menonton film dengan konsekuensi uang saku sekolahku yang menjadi jaminan. Apalagi menurut Bu Guru, film anak-anak akan diputar setiap minggu; hari minggu pagi dan sore.
Ini artinya jika aku nekat untuk menonton film tiap minggu, maka uang saku sekolahku tak dapat menutupi; uang saku sekolahku cuma habis untuk kesenangan mata bukan mampir di tenggorokan lalu ke perut.
Akhirnya kepada ibu kuputuskan untuk ikut menonton film, tapi untuk satu kali ini saja. Ibu setuju keputusanku. Untuk itu ibu tidak memotong uang saku sekolahku untuk selama 10 hari, tapi memberikan subsidi selama 5 hari.
Atas kebijakan dan kearifan ibuku ini, perasaan lapar yang sedari di sekolah tadi kutahan, seolah hilang begitu saja. Makan siang kutunda, aku berlari menemui teman sekelasku yang rumahnya tak begitu jauh dari tempat tinggalku. Kepadanya kukabarkan bahwa aku besok minggu akan turut menonton film, dan kami berjanji untuk bersama-sama datang ke bioskop.
Setelah sempat sekali ikut nonton bareng film anak-anak di bioskop, selanjutnya aku tak ikut lagi. Teman-teman pun tiap minggu bertanya kenapa aku tak lagi ikut menonton film. Mulanya aku berdalih sibuk membantu orangtua, mereka maklum. Beberapa kali jawabanku cuma itu, sehingga aku pun terus terang kenapa aku tak lagi ikut pergi menonton, teman-teman pun akhirnya paham. Kupikir jika aku terus berdalih dengan berbagai alasan, maka pertanyaan teman-teman akan terus terlontar. Namun dengan terus terang kuungkapkan apa adanya, beban perasaanku pun menjadi lega.
Sebagai ganti tidak menonton film, ayahku sering membawakan buku cerita anak-anak ke rumah yang ia sewa dari tempat persewaan buku-buku bacaan. Dari sinilah kebiasaan membacaku dan saudara-saudaraku bermula dan tumbuh. Aku dan saudara-saudaraku tak jarang berebut ingin duluan membaca buku-buku yang dibawa ayah. Bahkan tak jarang pula buku bacaan mengalahkan lapar kami; baca buku dulu, makan nanti.
Di masa kecilku tak bisa sembarangan dan bebas menonton film kecuali memang untuk konsumsi anak-anak. Petugas penjaga dan penerima tiket bioskop tak segan-segan menolak maupun mengeluarkan anak-anak yang kedapatan berada didalam bioskop yang sedang memutar film dewasa. Begitupun film dewasa yang tayang di telepisi (waktu itu cuma ada TVRI), diputar menjelang tengah malam dimana anak-anak sudah terlelap di tempat tidur. Seingatku dulu di tempatku terdapat tipi umum yang ditempatkan di lapangan terbuka. Tipi umum ini memiliki seorang petugas khusus yang menghidupi dan mematikan tipi. Perangkat tipi umum ini pun ditempatkan di sebuah kotak yang dilengkapi penutup yang dilengkapi kunci gembok, diberi tiang penyangga yang dari permukaan tanah hampir 4 meter tingginya.
Petugas pengelola tipi umum ini akan mematikan tipi jika ada tayangan film dewasa apabila terdapat anak-anak diantara para penonton. Biasanya setelah tayangan Dunia Dalam Berita usai, petugas sudah mematikan tipi, karena pada jam-jam setelah ini film dewasa ditayangkan. Karena tipi dimatikan, para penonton pun pulang tak terkecuali anak-anak karena sudah menjelang tengah malam. Jika sudah sepi dari anak-anak, petugas tipi biasanya kembali menghidupkan tipi, itupun jika film tampak ramai.
Di masa kecilku yang kami tahu adalah film-film kartun untuk anak-anak seperti; Scooby Doo, Mickey Mouse, Tom and Jerry, Donald Duck, Kum Kum, Dinomut Dog Wonder, Sealab 2020, Gemini Man, dan Flintstone. Adapun selain film kartun yang masih pantas ditonton oleh segala usia adalah; The Six Millions Dollar Man, The Bionic Woman, Chase, Iron Horse, Land of The Giant, Star Trex, Xenon, dan yang paling membekas adalah film Little House in The Prairie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H