Perjalanan dari Simpang Empat, sebuah kecamatan yang sekaligus kota pelabuhan di Kabupaten Tanah Bumbu ke Cantung, Kecamatan Kelumpang Hulu yang termasuk wilayah Kabupaten Kotabaru; kami tempuh dengan nyaman. Itu karena badan jalan umum propinsi yang dilewati kendaraan, beraspal hotmix mulus. Jalan ini merupakan jalan trans kalimantan yang menghubungkan beberapa kabupaten di Kalsel dengan wilayah Kaltim, terutama wilayah Kabupaten Tanah Bumbu dan Kotabaru yang dulunya merupakan satu kabupaten sebelum pemekaran di tahun 2003.
Jalan kabupaten kurang perhatian.
Hari itu tujuan kami beberapa jurnalis adalah ke sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Kotabaru yang bernama Kecamatan Hampang. Wilayah kecamatan ini berada di kaki pegunungan Meratus yang dihuni oleh kebanyakan etnis Dayak dan Banjar, serta beberapa etnis lainnya yang datang sebagai transmigrasi dari pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Sebagai jurnalis sekaligus penulis, jalan ke kecamatan tersebut sudah tak terhitung kulewati. Tak banyak berubah; tetap saja badan jalan yang beraspal tipis yang sudah terkelupas dan berlobang dimana-mana. Hanya saja yang berubah adalah makin bertambahnya penduduk dan pemukiman warga di kanan kiri jalan.
Melihat perkembangan dan kemajuan Kabupaten Kotabaru di usianya yang ke-63, menjadi geleng-geleng kepala jika membandingkannya dengan Kabupaten Tanah Bumbu yang baru berusia 10 tahun pasca pemekaran. Padahal Tanah Bumbu dulunya merupakan bagian dari Kotabaru.
Pada tanggal 1 Juni tadi, Kabupaten Kotabaru memperingati Hari Jadinya yang ke-63. Usia yang cukup tua seiring dengan usia republik ini, namun tak disertai dan diiringi oleh berbagai kemajuan di berbagai sektor bagi kesejahteraan warganya. Jika mengingat Kabupaten Kotabaru diantara kabupaten/kota lainnya di Kalsel, wilayahnya paling luas. Dengan berbagai macam sumber daya alam, hutan dan laut yang luas pula, setidaknya perkembangan dan kemajuannya melebihi wilayah lainnya.
Ibarat lumbung padi yang dinikmati pencuri.
Itulah penggambaranku tentang Kotabaru. Perairan laut yang luas dengan ratusan pulau kecil yang tersebar di laut Jawa dan selat Makassar. Hutan yang luas pula dengan beragam sumber daya hayati didalamnya. Di bawah bumi Kotabaru terdapat banyak menyimpan deposit mineral terutama batubara, bijih besi, dan emas. Lautnya yang menyimpan beragam sumber daya; masih sedikit dimanfaatkan, justru sering dinikmati oleh para nelayan dari luar daerah yang datang masuk mencuri hasil perikanan di perairan Kotabaru.
Hutannya yang cukup luas, nasibnya juga sama; lebih banyak dinikmati oleh para pemodal, kapitalis sejak era Orde Baru dengan dasar HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Entah berapa banyak hasil hutan terutama kayu yang sudah dibabat semenjak itu oleh para pemegang HPH. Warga hanya bisa menonton. Kalaupun ada warga yang ikut menikmati hasil hutan, secara tidak langsung karena berkerja sebagai karyawan di perusahaan HPH itu. Tersebut beberapa pemegang HPH yang pernah membabat hutan wilayah Kotabaru; PT. Korean Development Company (Kodeco), PT. Pamukan Jaya, PT. Valgoson, dan PT. Alam Unda, dan PT. Sumber Polo (Sumpol).
Wilayah hutan sudah semakin menipis dengan pohon-pohon berdiameter kecil, karena beberapa perijinan HPH berakhir, masuklah beberapa perusahaan yang bertajuk HPHTI (Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri). Mereka ini menggarap wilayah hutan bekas garapan perusahaan HPH; ditanami dengan satu jenis tanaman, yakni Akasia yang diperuntukkan bahan baku kertas. Luasnya hutan Akasia namun pabrik kertasnya berada di pulau Jawa.
Luasnya hutan Kotabaru juga menjadi incaran para perusahaan perkebunan kelapa sawit. Berdatanganlah investor di bidang perkebunan yang menggarap puluhan ribu hektar. Lagi-lagi warga hanya cuma jadi pekerja di perusahaan milik para kapitalis itu. Nasib warga tetap tak banyak berubah, begitupun dengan fasilitas umum di berbagai pelosok; jalan-jalan masih banyak yang rusak kalau tak ingin disebut belum layak.
Keberadaan perusahaan di bidang pertambangan, kesannya hanya seperti menambah "tikus" yang menggerogoti isi lumbung. Kerusakan hutan yang sebelumnya dilakukan oleh para pemegang HPH, semakin diperparah oleh para pemegang PKP2B (Perjanjian Kontrak Pertambangan Batubara) dan pemegang IUP (Ijin Usaha Pertambangan), dan para penambang liar atau PETI (Penambang Tanpa Ijin).
Keberadaan usaha di bidang pertambangan baik batubara maupun bijih besi, tak banyak memberikan kontribusi bagi warga dan daerah. Warga yang ikut menikmati hasil dari pertambangan batubara secara tak langsung adalah mereka yang menjadi pekerja, buruh ataupun kuli di berbagai perusahaan pertambangan; baik yang legal maupun yang ilegal, atau biasa disebut tambang "Spanyol", separo nyolong, atau dalam istilah Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan RI; "Taliban", Tambang Liar ala Banjar.
Keberadaan eksploitasi sumber daya alam (SDA) di wilayah Kabupaten Kotabaru, lebih kepada memperkaya para pemilik modal, kapitalis, ketimbang menyejahterakan warga daerah. Selain itu hasil dari eksploitasi tersebut; untuk mengisi pundi-pundi Pemerintah Pusat melalui sistem bagi hasil yang mana daerah penghasil sangat sedikit memperoleh bagian. Pembagian royalty dari pertambangan batubara, tak serta merta bagian daerah dapat diambil, namun perlu tenggang waktu cukup lama sehingga sampai ke daerah penghasil.
Kerusakan alam yang disebabkan oleh eksploitasi di bidang pertambangan, sudah menjadi hal biasa. Kolam-kolam besar dan dalam pasca tambang yang ditinggalkan dan dibiarkan tanpa reklamasi, jumlahnya tak terhitung jari. Tudingan terhadap aktivitas pertambangan secara ilegal sebagai penyebab kerusakan alam, belum bisa dibenarkan seluruhnya. Perusahaan pemegang perijinan pertambangan pun punya andil tidak kecil dalam hal itu.
Di usianya yang ke-63 Kotabaru tampak masih seperti orang melarat yang memakai busana penuh tambalan. Lalu kemana larinya segala potensi SDA yang melimpah tersebut ? Infrastruktur khususnya jalan sebagai urat nadi perhubungan, masih tampak acak-acakan. Padahal sarana jalan sangat penting. Ia ibarat urat nadi dalam tubuh manusia yang mengalirkan darah ke berbagai penjuru; ke semua organ dalam tubuh manusia, sehingga semua gerak pun menjadi lancar.
Pada Hari Jadi Kabupaten Kotabaru ke-63 yang jatuh pada tanggal 1 Juni 2013, bertepatan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila, di hadapan para undangan diantaranya Wagub Kalsel, Rudy Resnawan serta beberapa pejabat dari kabupaten/kota lainnya, Bupati Kotabaru, Irhami Rizani Rais memaparkan rencana-rencana pembangunan di wilayah kabupaten yang dipimpinnya. Pemaparan berbagai rencana pembangunan disampaikan persis seperti pada peringatan tahun lalu. Nyatanya yang tampak adalah; pembangunan berbagai infrastruktur dan fasilitas umum jauh tertinggal dari kabupaten Tanah Bumbu yang dulunya merupakan bagian dari Kabupaten Kotabaru.
Warga Kotabaru bukan apriori terhadap berbagai janji perbaikan dan peningkatan pembangunan, namun beberapa Bupati silih berganti memimpin Kotabaru, perubahan seperti seorang bayi merangkak. Tampaknya Kabupaten Kotabaru memerlukan seorang pemimpin yang benar-benar berkerja dan berbuat bagi kemajuan dan kesejahteraan warganya, bukan cuma pandai berandai, berjanji dan berencana. Selamat Hari Jadi Kotabaru !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H