Mohon tunggu...
Imi Suryaputera™
Imi Suryaputera™ Mohon Tunggu... Administrasi - Jurnalis, Penulis, Blogger

Pria, orang kampung biasa, Pendidikan S-3 (Sekolah Serba Sedikit)\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jejak Kata (Bag II)

29 November 2013   17:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:31 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bab II

Sekolah lagi.

Uang bekal dari orangtua Mamat masih tersisa limaratus ribu rupiah. Mamat baru menggunakannya untuk ongkos taksi dari Desa Sepakat ke Simpang Empat, dan untuk menyeberang naik speedboat ke Kotabaru. Uang bekal dari penjualan kambing itu ia simpan rapi dalam ranselnya. Di dompetnya ia simpan cuma ada beberapa lembar uang ribuan dan lima ribuan yang jumlahnya tak sampai tigapuluh ribu.

Beberapa hari lalu ia menerima tigaratus ribu dari pak Mukhlis, upahnya sebulan sebagai pembantu di mesjid. Uang itu ia gabungkan dengan uang sisa bekalnya. Di ranselnya tersimpan kini delapanratus ribu untuk meraih masa depan. Meski Mamat perokok, namun ia jarang membelinya. Mamat hanya kadang-kadang mengisap rokok yang ia beli batangan dari kios di depan mesjid.

Kemarin Mamat mengungkapkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah, atau kuliah. Kebetulan tak seberapa jauh dari mesjid dimana kini ia bekerja, terdapat Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darul Ulum. Keinginannya ini ia ungkapkan kepada pak Mukhlis yang sudah ia anggap sebagai orangtuanya.

"Bagus itu. Saya dukung keinginan nak Mamat," ujar pak Mukhlis.

"Saya mesti melanjutkan sekolah sambil bekerja.”

"Kalau itu sudah menjadi keinginan dan tekad nak Mamat, saya bantu dengan doa. Dan secara pribadi saya bantu untuk biaya pendaftarannya.”

"Terima kasih banyak pak," sahut Mamat gembira.

Dari pak Mukhlis, Mamat memperoleh duaratus limapuluh ribu biaya untuk pendaftaran masuk ke STAI Darul Ulum.

"Kalau ada sisanya bisa kamu pakai untuk membeli keperluan lainnya," ucap pak Mukhlis saat menyerahkan uang itu.

"Terima kasih banyak pak, entah dengan cara apa saya membalas semua kebaikan bapak," ujar Mamat terharu.

"Sudahlah, biarlah Allah yang membalas segala kebaikan kita," balas pak Mukhlis sambil menepuk pundak Mamat.

Di kamarnya Mamat membayangkan dirinya berada di ruang kuliah bersama banyak orang yang menjadi teman dan kenalannya kelak. Ia juga membayangkan bebannya semakin bertambah; bekerja mencari uang untuk biaya hidup, dan biaya kuliahnya.

"Aku mesti berusaha lebih keras lagi, mencari tambahan pemasukan," pikir Mamat.

"Tapi aku mesti kerja apa lagi ?" Tanya bathin Mamat. Pikiran Mamat berputar-putar menerawang mencari jawaban yang dilontarkan bathinnya sendiri.

"Ah, jalani saja dulu apa adanya sambil terus berusaha mencari," pikir Mamat akhirnya.

Karena kelelahan usai membersihkan mesjid dan pikiran yang menerawang jauh menembus batas ruang dan waktu, akhirnya Mamat tertidur di kamarnya. Dalam tidurnya ia bermimpi berada di suatu tempat yang asing. Disana banyak orang berpakaian warna warni mengejarnya untuk minta pertolongannya.

"Tolonglah saya, tolonglah kami, pak," seru orang-orang itu sambil merangsek Mamat ke arah sebuah tembok yang bercat putih.

"Iya, iya, saya akan menolong kalian, tapi pertolongan apa dan bagaimana ?" tanya Mamat dengan bingung.

"Tolonglah kami pak, bapak pasti bisa menolong kami dengan cara bapak," seru orang-orang itu lagi yang semakin menambah bingung Mamat.

Karena terus didesak oleh orang-orang itu, akhirnya Mamat tersandar di tembok di belakangnya. Tiba-tiba tembok tempatnya bersandar, berubah warna dari putih menjadi hitam, lalu berganti-ganti warna dari hitam, putih, kelabu, dan merah. Orang-orang yang banyak itu terkejut dan menyingkir berhamburan tanpa sisa. Mamat terduduk dengan keringat bercucuran yang membasahi seluruh pakaiannya, nafasnya terengah. Begitu Mamat berusaha bangkit, tiba-tiba......Allahu akbar Allahu akbar......suara azan membangunkan Mamat dari tidurnya. Itu suara Mang Saleh yang sedang mengumandangkan azan shalat Dhuhur.

"Astagfirullah al adhiem," Mamat membuka matanya seraya istigfar.

Ia segera bangkit, merapikan pakaiannya, dan menuju mesjid. Ia belum sempat memikirkan apa makna mimpinya di siang bolong ini.

---o---

Usai shalat subuh, Mamat mengisi bak tempat wudhu, lalu membersihkan halaman mesjid. Mamat kemudian bergegas mandi. Ia biasa mandi di samping bak tempat wudhu. Beberapa saat kemudian Mamat sudah berpakaian dan mamatut-matut dirinya di depan cermin. Ia pikir sudah cukup rapi penampilannya dengan celana panjang warna hitam dan kemeja polos warna agak kekuningan. Celana panjang yang ia kenakan itu merupakan celana yang dulu ia pakai untuk sekolah semasa di Aliyah. Adapun kemejanya, pemberian dari Mas Mujib, pengelola warung sari laut di tempat ia bekerja dulu di Simpang Empat.

Mengenakan kemeja itu Mamat jadi teringat Mas Mujib, pria lajang yang pantas jadi kakaknya itu, berasal dari Banyuwangi. Masih muda namun gigih berusaha secara mandiri untuk masa depannya. Mas Mujib sudah banyak memberi Mamat pelajaran hidup.

"Yang penting dalam hidup ini ada kemauan dan tekad yang kuat, pasti ada jalan untuk sukses," ujar Mas Mujib menasihati Mamat kala itu.

Nasihat Mas Mujib itu masih terngiang di telinga Mamat, seolah baru kemarin diucapkannya.

Mamat teringat pula ketika ia menerima tanda kelulusan dari sekolah, orang pertama yang ia beritahu adalah Mas Mujib dan teman-temannya sesama bekerja di warung sari laut itu.

"Hebat kamu Mat, bisa ikut lulus juga," seru Mas Mujib sambil menjabat tangan Mamat.

"Alhamdulillah Mas, terima kasih," sambut Mamat terharu.

"Selamat ya Mat atas keberhasilannya," sambut teman-temannya pula.

Mamat terharu pula atas sambutan teman-temannya itu.

"Hari ini Mamat kita istimewakan, tidak perlu ikut kerja. Biar ia menikmati keberhasilannya," ujar Mas Mujib yang disetujui oleh semua teman-teman Mamat.

Pada hari kelulusannya itu Mamat sekalian pamit kepada Mas Mujib dan teman-temannya untuk pulang ke Desa Sepakat menemui orangtuanya untuk memberitahu tentang kelulusannya.

"Saya minta ijin Mas Mujib untuk pulang ke Sepakat," ungkap Mamat masih di tengah keharuannya atas perhatian Mas Mujib dan teman-temannya.

"Iya Mat. Kamu mesti pulang memberitahu orangtuamu atas keberhasilan ini.”

"Terima kasih Mas, atas perhatian dan bantuannya selama ini.”

"Apa nanti kamu balik lagi kerja disini ?" tanya teman-temannya.

"Belum tahu. Yang jelas aku akan kesini lagi.”

"Kembalilah kesini jika tidak melanjutkan sekolah dan belum dapat kerjaan. Kami selalu terbuka menerima kamu," ujar Mas Mujib yang semakin membuat Mamat terharu.

Sebelum meninggalkan warung Mas Mujib, dan pulang ke Desa Sepakat, Mamat diberi ongkos oleh Mas Mujib; seratus ribu.

"Hanya ini yang bisa kami berikan sebagai hadiah kelulusanmu," ungkap Mas Mujib sembari tersenyum.

"Terima kasih atas perhatian dan bantuan Mas Mujib, juga teman-teman," hanya ucapan itu yang bisa keluar dari mulut Mamat.

Setelah beberapa hari di Desa Sepakat, Mamat kembali ke Simpang Empat, lalu ke Batulicin untuk mengambil ijazahnya, serta membereskan barang-barang sekalian pamit ke pemilik rumah kontrakan. Mamat tak sempat mampir ke warung Mas Mujib dan ketemu teman-temannya, karena Mamat mesti kembali lagi ke desanya. Itulah kenangan tentang Mas Mujib dan teman-temannya di warung sari laut.

Mamat membuka ranselnya, mengambil segala persyaratan yang diperlukan untuk pendaftaran masuk di STAI Darul Ulum. Semua sudah ia persiapkan beberapa hari sebelumnya, ia masukkan kedalam map berwarna biru. Dengan pasti dan penuh keyakinan Mamat melangkahkan kakinya meninggalkan halaman mesjid menuju ke kampus STAI untuk mendaftar kuliah. Dalam perjalanan menuju kesana Mamat juga bertemu dengan beberapa orang yang sama berjalan kaki. Mereka datang untuk tujuan mendaftar kuliah pula.

"Andai saja di Batulicin ada tempat kuliah seperti ini, tak perlu aku sampai menyeberang ke Kotabaru," bathin Mamat.

Tapi apa hendak dikata, Batulicin hanyalah sebuah kecamatan yang masih berkembang dibawah pemerintahan Kabupaten Kotabaru. Desa Simpang Empat justru yang lebih ramai sebagai pusat pemerintahan dan kegiatan ekonomi daripada Batulicin yang jadi ibukota kecamatan. Di Simpang Empat terdapat pasar, pelabuhan samudera dan pelabuhan speedboat. Adapun di Batulicin hanya terdapat pelabuhan Ferry penyeberangan ke Tanjung Serdang.

---o---

Semenjak diterima kuliah di STAI Darul Ulum, kini Mamat memiliki teman sesama kuliah disana. Mereka sering ke tempat Mamat. Tak jarang mereka membawa makanan dan ikut tidur. Mereka tampak betah di tempat Mamat, karena mereka bisa membaca buku-buku di perpustakaan secara gratis. Kini Mamat tak lagi kesepian seperti saat sebelum ia masuk kuliah. Teman-teman Mamat sesama kuliah itu juga orangtua mereka bukan tinggal di Kotabaru. Mereka sama seperti Mamat, berasal dari luar Kotabaru. Bedanya mereka memang dikirim untuk kuliah atas biaya orangtua, sedangkan Mamat kuliah atas keinginan dan biaya sendiri. Mamat dan teman-temannya ini kuliah di jurusan Tarbiyah, yang jika selesai lulus kuliah nanti akan menyandang gelar S.Pd.I (Sarjana Pendidikan Islam).

Meski kini Mamat banyak teman, sering mengunjunginya, tak mengganggu tugasnya sebagai tenaga pembantu di mesjid. Kepada teman-temannya Mamat tak merasa malu maupun rendah diri melakukan pekerjaannya.

"Kalau ada yang menawari pekerjaan seperti ini, saya juga mau," cetus Amin, teman kuliah Mamat yang orangtuanya berada di Tanjung Batu di Kecamatan Kelumpang Tengah yang tempatnya terpisah dari daratan Kotabaru.

"Masa kamu mau. Bukannya orangtuamu di kampung cukup mampu sebagai karyawan di perusahaan tambang batubara ?"

"Mau aja. Hitung-hitung daripada tak ada kegiatan selain kuliah, juga bisa sambil beramal," sahut Amin sambil tersenyum.

"Kalau begitu aku juga mau," ujar Marwan yang berasal dari Sampanahan ikut bicara.

"Jangan ah, cukup aku saja yang kerja begini, kalian mikir kuliah aja yang benar.”

Hari ini usai kuliah, Amin dan Marwan mengajak Mamat jalan-jalan ke Siring Laut. Meski sudah beberapa bulan berada tinggal di Kotabaru, Mamat cuma tahunya mendengar nama Siring Laut. Belum pernah Mamat ke tempat itu. Mendengar ajakan kedua temannya, Mamat dengan antusias menerimanya.

"Tapi aku beres-beres kerjaan dulu," ujar Mamat begitu mereka berpisah di mulut jalan Mega Indah.

"Iyalah Mat. Nanti kami jemput di tempatmu," sahut Amin dan Marwan seraya menghentikan sebuah taksi kota.

Mereka berdua tinggal di Desa Jelapat.

Sesampainya di tempat tinggalnya, Mamat tanpa berganti pakaian, mengecek dan mengisi air di tempat wudhu. Kemudian membersihkan pelataran dan beranda mesjid. Setengah jam kemudian, pekerjaan Mamat pun selesai. Ia kembali ke kamarnya untuk berganti pakaian, dan menunggu kedatangan Amin dan Marwan. Sambil menunggu kedua temannya itu, Mamat menyempatkan membaca sebuah buku. Ia membaca sebuah buku karangan Buya Hamka, Tafsir Al Azhar.

Tak sampai menghabiskan satu bab dari buku yang dibacanya, terdengar panggilan suara Amin dari luar.

"Mat, Mamat !" Seru Amin.

"Ya, masuk saja !" Seru Mamat pula sambil menandai halaman buku yang dibacanya, lalu menutupnya dan berdiri meletakkan buku tersebut di jajaran rak.

"Sedang apa Mat ?"

"Nggak apa-apa, cuma baca buku aja.”

"Sudah siap ?"

"Sudah dari tadi.”

"Oya, kalau begitu kita langsung cabut aja.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun