Aktivitas penambangan batubara di wilayah Kalimantan Selatan khususnya di Kabupaten Kotabaru (sebelum terpisah dengan Tanah Bumbu) mulai muncul pada pertengahan tahun 1980-an dengan keberadaan PT. Arutmin Indonesia, disusul dengan PT. Bahari Cakrawala Sebuku.
Kedua perusahaan bidang pertambangan yang beroperasi tersebut merupakan skala besar. Adapun perusahaan di bidang pertambangan berskala kecil dan lokal baru muncul menjelang tahun 2000-an. Pada waktu itu aktivitas pertambangan banyak dilakukan secara ilegal, yang mana turut menyuburkan praktik KKN pula oleh oknum-oknum pejabat instansi terkait terutama penegakan hukum.
Meski sangat sering dilakukan operasi penertiban terhadap aktivitas penambangan ilegal, tampaknya tak pernah menyurutkan langkah para pelaku dan pebisnis di bidang pertambangan. Keuntungan besar di bisnis batubara itu sangat menggiurkan dan menjanjikan keuntungan yang besar. Tak sedikit dari pebisnis di bidang tersebut yang meski berkerja secara gambling (khusus yang ilegal), sudah berubah menjadi Orang Kaya Baru (OKB).
Namun meski 2 daerah kabupaten di Kalimantan Selatan; Tanah Bumbu dan Kotabaru sangat kaya dengan batubara, tak berarti semua warganya ikut menikmati rejeki dari batu hitam itu. Selain mereka yang ikut berkerja sebagai karyawan di perusahaan tambang, yang lainnya kebanyakan cuma jadi penonton dan penikmat debu dan kerusakan alam oleh pasca aktivitas tambang yang kebanyakan ditinggalkan begitu saja oleh para pelaku tambang tanpa reklamasi dan reboisasi.
Yang justru ironis dan dapat dikatakan tragis adalah, sebagai daerah penghasil batubara yang cukup besar, jutaan metrik ton per tahunnya, baik di Tanah Bumbu dan Kotabaru, listrik sering padam dan nyala bergiliran. Padahal siapapun tahu batubara yang jumlahnya ribuan metrik ton per hari keluar dari tambang dan dikirim keluar daerah (terutama pulau Jawa) dipergunakan untuk pembangkit listrik di sejumlah PLTU. Istilahnya kedua daerah kabupaten itu adalah gelap di lumbung sendiri.
Bisnis di bidang pertambangan batubara merupakan bisnis dengan padat dan banyak modal. Diperlukan modal besar untuk dapat menjalankan usaha tersebut; pengadaan atau sewa alat berat, unit angkutan, stok BBM, gaji pekerja, dan biaya operasional ditambah insidental cost atau istilahnya dana taktis untuk memperlancar dan memuluskan usaha dan pekerjaan.
Jadi mereka yang bermain pada bisnis itu sudah barang tentu yang bermodal besar pula, atau mendapat support modal dari funder (penyandang modal).
Meski kebanyakan orang sudah tahu aktivitas maupun bisnis tambang batubara itu memerlukan modal besar, namun dikarenakan keuntungan yang menggiurkan, tak menyurutkan dan mengurungkan langkah banyak orang untuk tetap ikut terlibat ketimbang hanya jadi penonton.
Maka tak sedikit warga yang berkerja sebagai pengumpul batubara yang jatuh dan terhambur ke tepi sepanjang jalan pengangkutan oleh truk-truk pengangkut. Batubara yang berserakan di tepi jalan itu pun mereka pungut dan kumpulkan untuk kemudian dimasukkan kedalam karung, lalu dijual kepada para pembelinya. Harga per karung dengan berat antara 60 hingga 70 kilo berharga sebesar Rp 10 ribu.
Selain memunguti batubara yang berserakan di tepi jalan, ada pula warga yang mengambil dari bekas-bekas stockpile yang sudah tak terpakai. Disamping itu terdapat juga batubara yang mereka ambil dari hasil cleaning diatas tongkang.
Namun dikarenakan semakin banyaknya warga yang ikut berkerja seperti itu, maka pencarian batubara pun bergeser dengan cara penambangan manual; menggali tanah yang diperkirakan menyimpan deposit. Cara pembukaan tambang secara manual (tambang ilegal) dari mulai sistem open pit (tambang terbuka) hingga yang membuat terowongan (under ground mining).
Untuk sekedar mencari sesuap nasi bagi perut sendiri dan keluarga hingga mimpi dan khayalan agar ikut jadi orang kaya, risiko pun tak lagi mereka indahkan.
Pencarian batubara semakin sulit dan penuh risiko, memunculkan orang-orang yang berpikir praktis; mencurinya dari tongkang yang bermuatan batubara.
Beberapa hari lalu pihak Polres Tanah Bumbu menangkap 10 orang pelaku pencurian batubara dari sebuah tongkang milik PT. Arutmin Indonesia yang sedang berlayar di laut. Para pencuri itu melakukan aksi mereka pada malam hari dengan menggunakan 2 kapal motor; batubara didalam tongkang mereka pindahkan ke kapal motor mereka secara manual dengan menggunakan sekop. Sayang nasib mujur tak berpihak kepada mereka yang kepergok 3 kapal Polair yang sedang melakukan operasi rutin.
Sementara para bos tambang yang sudah berhasil sedang bersenang-senang dan berfoya di berbagai tempat hiburan di kota-kota besar, para penambang manual sedang berkhayal dan bermimpi akan menggenggam banyak lembaran rupiah di sela berbagai bahaya yang sedang mengintai, ke-10 pencuri batubara di tongkang itu sedang merenungi nasib mereka sendiri dan keluarga yang mereka tinggalkan diluar terali besi sana.
Batubara, ada anekdot yang hampir tiap orang di kedua daerah kabupaten itu tahu; BArang TUhan BAgi RAta. Namun anekdot tersebut tak semudah menyebutnya, tak ada yang mau membagi hasilnya begitu saja tanpa jerih payah dan menempuh risiko; diuber dan ditangkap polisi bagi yang ilegal, terkubur hidup-hidup didalam terowongan bagi penambang manual, atau juga ditangkap polisi karena kepergok mencurinya dari tongkang milik pihak lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H