Dengan keyakinanku itu, aku kembali membuka seluruh pelajaran di SMP; dari kelas 1 hingga kelas 3.
Sementara itu teman-temanku setiap sore tetap ikut les belajar tambahan. Untunglah les tersebut tak diwajibkan, sehingga aku bisa tak ikut.
Perkiraan dan dugaanku terkait soal-soal yang muncul pada EBTANAS, ternyata benar. Dari seluruh mata pelajaran yang diujikan, kecuali olahraga dan kesenian (Orkes), hampir sebagian besar soal-soalnya diambil dari pelajaran SMP.
Dalam hati aku sangat kegirangan. Dalam bayanganku, aku pasti lulus. Karena dengan mudahnya aku bisa menjawab sebagian besar soal-soal EBTANAS dari seluruh mata pelajaran.
Usai menjalani EBTANAS, waktunya istirahat, libur, menunggu hasil dan pengumuman kelulusan.
Teman-teman mulai berprediksi siapa yang lulus, dan siapa yang gagal. "Si Andi pastilah lulus, dia kan langganan juara kelas," ujar banyak teman memastikan.
"Kamu jangan berharap lulus. Sudah jarang masuk kelas mengikuti pelajaran, suka bolos, dan tak ikut les pula," tuding teman-teman memojokkanku.
"Seandainya aku lulus juga gimana ?" Belaku.
"Kalau kamu bisa lulus juga, berarti kita akan lulus seratus persen," balas mereka yakin.
Saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, pengumuman kelulusan. Semua murid yang ikut EBTANAS deg-degan, termasuk aku tentunya. Tapi dalam hatiku aku sangat yakin bisa lulus.
Tuhan ternyata memang berpihak kepadaku, aku lulus dengan predikat paling tinggi memperoleh NEM (Nilai EBTANAS Murni).
Seluruh temanku kaget tak terkecuali guru-guru kami yang semuanya ikut hadir pada saat itu. Apalagi pengumuman nilai NEM tersebut dibacakan paling awal sebelum para wali murid menerima amplop tertutup rapat tanda kelulusan.
Alangkah bangganya mendengar aku meraih NEM tertinggi, artinya aku sudah dipastikan lulus tanpa harus membuka isi amplop lagi.
Teman-temanku yang jumlahnya lebih dari 200 murid, ikut senang mengetahui aku pasti lulus. Karena mereka berpendapat lebih pantas lulus ketimbang aku.
Rasa senang mereka pun pupus setelah Kepala Sekolah kami mengatakan SMA kami pada tahun ajaran kali ini mencapai kelulusan hanya 65 persen.
Selain aku, semua harap-harap cemas saat melihat wali murid mereka menerima amplop masing-masing. Semua tak sabar ingin mengetahui apakah lulus, atau gagal. Si Andi kulihat tenang-tenang saja, karena beberapa hari lalu saat ketemu aku di pasar, ia sesumbar pasti lulus. Orangtua Andi pun tampak tersenyum saat menerima amplop, ia mengangkat amplop itu keatas seolah menyatakan kepada seluruh yang hadir bahwa anaknya pasti lulus.
Namun apa yang terjadi, olala......si Andi terbelalak matanya, begitupun orangtuanya, Andi dinyatakan tidak lulus. Berkali-kali ia mengucek matanya seolah tak percaya, sampai-sampai beberapa temannya ikut memeriksa, tetap tak berubah; Andi tidak lulus.
"Celaka kita, si Andi yang langganan juara kelas saja tidak lulus, gimana dengan kita ?" Kata teman-teman pasrah dengan tampang sedih.
Aku tak perduli lagi dengan keadaan di ruang aula yang gaduh dan hiruk pikuk oleh suara teriakan kegirangan dan tangis kesedihan.
Aku bersama tetanggaku yang mewakili orantuaku, keluar meninggalkan aula, pulang ke rumah memberitahukan ke ibuku bahwa aku lulus memuaskan. Saat itu ayahku sedang bertugas diluar daerah.
Itulah ceritaku yang kelak akan kuungkap kepada anak-anakku agar mereka dapat memetik hal-hal yang baik dari aku, ayahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H