KM. Binaiya sudah mulai meninggalkan pelabuhan Batulicin. Ombak di selat laut yang dilewati kapal penumpang ini, sedang tenang, cuaca pun cerah.
Tampak Sukri melanjutkan kegiatan memotretnya. Ia membidikkan kameranya ke arah Pulau Sewangi yang letaknya berhadapan dengan pelabuhan Batulicin, berjarak kurang dari satu mil laut.
Menurut informasi dari warga setempat, di Pulau Sewangi yang cuma dihuni oleh beberapa Kepala Keluarga itu, terdapat sumber air tawar yang tak pernah kering meski selama musim kemarau. Kapal-kapal penarik tongkang batubara dan kapal besar lainnya, bila ingin mengisi perbekalan air tawar, mengambilnya dari Pulau Sewangi.
Dari jauh tampak beberapa tongkang bermuatan batubara yang sedang ditarik oleh kapal ke arah Pulau Laut.
"Betapa kaya daerah ini sebenarnya, tapi sayangnya perkembangan daerah tertinggal, warganya pun masih banyak yang miskin," pikirku dalam hati sambil menatap ke arah Pulau Laut dimana aku dilahirkan puluhan tahun lalu.
Daratan pulau Kalimantan dan Pulau Laut semakin jauh dan semakin mengecil. Kapal sudah memasuki laut lepas, angin mulai bertiup agak kencang, ombak pun agak besar. Hari mulai gelap, semburat cahaya sunset terlihat indah di ufuk barat.
"Yuk kita ke kamar aja !" Seru Sukri hampir tak kedengaran suaranya oleh bisingnya suara mesin kapal. Adapun Aan sejak naik kapal tadi, ia tinggal di kamar aja, kamar yang kami sewa dari seorang perwira kapal.
Aku merebahkan tubuhku di dipan bertingkat dalam kamar yang lumayan bersih, dilengkapi televisi, toilet, kulkas dan dispenser.
Kupejamkan mata, membayangkan beberapa jam lagi sedang berada di pantai Kuta Bali. "Bali, tunggulah kedatangan kami," gumamku dalam hati. Beberapa saat kemudian aku sudah tak ingat apa-apa lagi. Aku jatuh tertidur dengan angan dan mimpi tentang Bali beserta keindahannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H