Saat ini sedang ramai masalah Terompet Tahun Baru bertuliskan Arab yang dijual oleh beberapa minimarket di Jawa Tengah, sebenarnya akar permasalahannya sederhana yaitu;
Tukang pembuat terompet beli kertas bekas atau sisa dari percetakan dengan harga murah (biasanya kiloan), jenis kertas untuk pembuat terompet biasanya agak tebal, dalam dunia kertas kiloan sering disebut kertas marga, kertas jenis marga bisa saja bermacam-macam motifnya, karena yang namanya kertas sisa, bisa berupa kalender, sampul buku, piagam, dll. Nah kebetulan dalam hal ini si pembuat terompet dapat kertas sisa sampul Alqur'an.
Sebagai info tambahan, para pembuat Terompet Tahun Baru rata-rata adalah orang Wonogiri, sebagian orangnya sudah tua-tua ada yang buta huruf (tapi gak buta aksara lho, karena mereka bisa membedakan angka pada uang), dulu sebelum tahun 2000 di saat nganggur saya juga sering membuat terompet sendiri, kertas yang saya gunakan juga beli kiloan terdiri dari berbagai kertas sisa.
Â
Sudah bukan rahasia lagi jika di sebuah percetakan terdapat banyak sisa kertas yang tidak terpakai lagi kemudian dijual secara kiloan. Kertas tidak terpakai tersebut biasanya karena salah cetak atau ada cacat bagian tertentu, misalnya warnanya kurang sesuai, terpotong bagian tertentu, kadang juga karena memang salah desain dari yang order sehingga perlu direvisi, dan perlu diketahui jika sudah terlanjur dicetak namun perlu revisi, maka secara otomatis nyetak baru lagi sehingga kertas yang sudah terlanjur dicetak sebelumnya tidak terpakai.
Selain itu terkadang ada kasus tertentu dimana beberapa order cetakan tidak diambil oleh pemesanannya, biasanya kalau memesan suatu barang tertentu untuk di cetak ke percetakan maka pihak pemesan dikenakan uang muka sebesar 50% oleh pihak percetakan dari nilai barang yang dipesan, nah karena suatu hal pihak pemesan tidak mengambil barang pesanannya, sedangkan pihak percetakan tidak mau rugi, akhirnya untuk mengurangi kerugian, pihak percetakan menjual barang tersebut dengan harga kiloan, biasanya ini dilakukan jika barang tidak diambil lebih dari 3 bulan.
Jadi kalau mau ditelusuri serius sebenarnaya mudah saja kok, tinggal cari saja pemenang tender pengadaan Alqur'an tahun 2013, gitu aja kok repot.
Perlu juga kita sadari dan pahami bahwa orang yang beli kertas kiloan untuk bahan pembuat terompet tentunya tidak mau rugi dengan menyortir satu-persatu kertas yang dibelinya, selain akan menimbulkan kerugian jika harus tidak menggunakan kertas yang terdapat tulisan tertentu, proses penyortiran juga akan memakan waktu yang tidak sebentar.
Memang benar di Kementrian Agama sudah ada undang-undang yang mengatur masalah ini, yaitu; "Pasal 5 Peraturan Menteri Agama (PMA) No 01 Tahun 1957 tentang Pengawasan terhadap Penerbitan dan Pemasukan Alquran mengatur bahwa sisa dari bahan-bahan Alqur'an yang tidak dipergunakan lagi, hendaklah dimusnahkan untuk menjaga agar jangan disalahgunakan".
Walau sudah ada undang-undang tersebut namun penerapannya tidak semudah membalik telapak tangan, bahkan dulu pernah terjadi perdebatan cara memusnahkan dari bahan-bahan Alquran yang tidak dipergunakan lagi, dimana waktu itu tidak boleh dengan cara dibakar, dengan alasan membakar Alqur'an termasuk dalam kategori penistaan agama islam.
Yang sangat disayangkan adalah pihak berwajib yang menangani masalah ini malah menyita terompet ke penjualannya sehingga pihak penjual tentunya mengalami kerugian.
Seharusnya pemerintah memberi apresiasi ke pengrajin terompet ini karena kreativitasnya menggunakan (mendaur ulang) limbah menjadi barang seni, bukan malah mematikan usaha mereka dalam mencari rejeki.
Kesimpulan saya pribadi masalah ini sebenarnya bukanlah suatu kesengajaan, hanya saat ini saja beritanya terlalu berlebihan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H