Mohon tunggu...
Melvi
Melvi Mohon Tunggu... Lainnya - Mencoba untuk belajar menulis, berkarya dan memberi makna

Selalu tertarik dan berbahagia dengan hal yang berkaitan dengan buku, literasi, kreativitas dan jalan-jalan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Media Massa Harus Diikat dengan Hukum dan Etika?

19 Desember 2021   22:38 Diperbarui: 19 Desember 2021   22:48 2050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk itu, dalam menjalankan fungsi dan peranannya, media massa perlu diikat oleh hukum dan etika. Hukum dan etika menjadi hal penting untuk menjaga media massa dan para pelaku media massa berada dalam jalur yang benar dan semestinya. 

Hukum dan etika harus mengikat media massa untuk memberikan standarisasi serta menjadi koridor akan isi pesan, media dalam bentuk lembaga sekaligus efek terpaan media massa.

Etika media mempelajari bagaimana pekerja media, seperti jurnalis, harus mengambil tindakan dalam berbagai situasi. Terutama situasi di mana mereka perlu membedakan apakah berita yang dibuat merupakan fakta di lapangan atau memuat kepentingan tertentu. 

Etika dalam praktik media massa itu berlaku karena praktik pemberitaan sudah pasti memiliki pengaruh terhadap seseorang atau kelompok tertentu. Untuk jurnalis, etika media massa dikemas dalam suatu kode etik jurnalistik.

Kode etik jurnalistik merupakan rambu-rambu etika bagi para jurnalis dan pengelola media massa dalam menjalankan fungsi dan peranannya. 

Seperti yang diungkapkan Wibowo (2009), kode etik jurnalistik merupakan suatu pagar moral yang membentuk tanggung jawab etis dan integritas profesi jurnalis. Seorang jurnalis perlu menjunjung tinggi etos kebenaran bersamaan dengan kebebasan dan tanggung jawab etikanya. 

Di Indonesia, kode etik jurnalistik disusun oleh jurnalis dan untuk jurnalis. Dalam koridor hukum, media massa (pers) diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, yang dikenal sebagai Undang-undang Pers. Undang-undang ini mengatur tentang prinsip, ketentuan dan hak-hak penyelenggaraan pers di Indonesia.  

Di tahun 2020, Dewan Pers menerima 700-800 laporan pelanggaran kode etik jurnalistik yang sebagian besar dilakukan oleh media daring (media online). 

Dan di tahun 2019, Dewan Pers juga menyampaikan bahwa kode etik yang sering dilanggar adalah mengenai berita yang tidak akurat, tidak berimbang dan tidak konfirmasi. 

Pelanggaran ini tentu menjadi hal yang sangat serius dan bisa berdampak fatal. Ketika media massa menyajikan berita atau informasi yang tidak akurat, tidak berimbang dan tidak terkonfirmasi, berita atau informasi yang disajikan kepada masyarakat bisa menjadi berita hoax yang dapat menyebabkan kegaduhan dan merugikan banyak pihak.

Salah satu contoh pelanggaran Kode Etik Jurnalistik adalah sengketa berita di detikcom yang melibatkan Gubernur Banten, Wahidin Halim yang berujung pengaduan Wahidin Halim ke Dewan Pers pada 10 Juni 2021. Berita investigasi yang dimuat di detikX pada tanggal 7 Juni 2021 yang berjudul "Asal Cair Demi Gubernur Wahidin" dan berita berjudul "Ponpes Hantu Penerima Duit Hibah" (Kemudian judul berubah menjadi: "Menelusuri Ponpes Penerima Dana Hibah Banten"), dinyatakan oleh Dewan Pers sebagai berita yang tidak akurat dan telah merugikan Gubernur Wahidin Halim. Tidak terima dengan pemberitaan tersebut, Wahidin Halim melalui pengacaranya Andi Syafrani SH, LLM, kemudian mengadukan detikcom kepada Dewan Pers. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun