Sejak multijutawan Donald Trump terpilih sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat, perhatian publik pun tak lepas dari sosok pendampingnya, Melania Trump. Segala gerak-gerik perempuan asal Slovenia bernama asli Melanija Knavs ini tak lepas dari sorotan publik. Yang paling heboh saat ini adalah munculnya tagar #FreeMelania karena publik menduga Melania menjadi korban ambisi Trump.Â
Tagar mulai muncul sejak beredarnya foto dan video yang memperlihatkan betapa tidak romantis dan hangatnya Trump saat berdampingan dengan Melania di depan publik. Ketiadaan genggaman tangan hangat saat berjalan di depan publik maupun saat pesta penyambutan atau inaugurasi membuat publik semakin bertanya ada apa gerangan dengan Melania.Â
Keduanya, Melania dan Trump, sering tertangkap kamera dalam kondisi saling tak acuh dan seolah-olah tak sadar atas keberadaan satu sama lain. Publik seolah ingin tahu bahagiakah dia menjadi First Lady Amerika dan bersanding dengan Trump, Presiden terpilih yang penuh dengan kontroversi karena ucapannya yang sering menyinggung banyak pihak?Semua hal itu seperti dua sisi mata uang. Begitu juga soal Melania. Publik, di Amerika dan dunia, terbelah dua. Sebagian merasa iba dengan Melania, yang seolah-olah perempuan tertindas di bawah kuasa Trump. Sebagian lainnya merasa apa yang dialami oleh Melania adalah karma karena dia menikahi lelaki tua kaya raya yang saat itu berstatus suami orang.
Lalu perlukah ada pembelaan terhadap Melania?
Jawabannya tergantung dari sudut pandang dan pemahaman kita terhadap posisi perempuan. Di mana pun, sebenarnya, perempuan itu sama-sama berisiko menjadi korban kekerasan. Tapi, dalam kasus Melania, saya berdiri pada posisi tidak membela dan juga tidak menyalahkan. Latar belakang kehidupan Melania yang sungguh bak opera sabun bukan ranah yang perlu saya nilai.
Perempuan yang konon kabarnya menguasai 6 bahasa asing: Inggris, Perancis, Italia, Jerman, Serbia-Kroasia, dan Slovenia ini memang memiliki sejarah hidup yang kontroversial. Memulai karier sebagai foto model di usia sangat belia, 5 tahun, Melania hijrah ke Amerika untuk menggapai impian sebagai model profesional pada tahun 1996.
Nasibnya berubah drastis setelah dia berjumpa pertama kali dengan Trump pada sebuah event di New York pada 1998. Saat itu Trump, kabarnya, masih berstatus suami dari model Marla Maples. Takdir Melania semakin berubah arah ketika akhirnya Trump menikahinya di tahun 2005. Sejak itulah, kehidupan Melania bergelimang harta. Tak perlu lagi bekerja seumur hidupnya.
Itulah yang menjadi dasar bagi para pembencinya untuk mengatakan bahwa apa yang diterima Melania saat ini, tidak diacuhkan oleh Trump, adalah karma. Karena Melania hanya menginginkan harta ketika menikahi Trump. Itu sudah didapatnya. Bahkan mungkin jauh di atas impiannya bahwa kelak dia akan menjadi First Lady di Negara super power.
Tapi, bukankah alasan menikah itu urusan personal seseorang? Bukankah Melania yang memang dianugerahi kecantikan bebas-bebas saja memanfaatkan kecantikannya untuk kepentingannya? Melania bukan perempuan tertindas, dia perempuan yang memiliki kebebasan penuh untuk memilih jalan hidup dengan segala konsekuensinya.Â
Pun ketika akhirnya konsekuensi itu terasa pahit, setidaknya itu kesan yang ditangkap oleh sebagian publik. Dalam hal apa pun sampai ada bukti konkret bahwa Melania mengalami kekerasan, baik fisik maupun verbal, Melania bukan korban. Dia tidak perlu dibela.
Dia adalah perempuan yang dianugerahi kecantikan, kecerdasan, dan keberuntungan, dan setidaknya sampai saat ini dia memahami bagaimana memanfaatkannya. Melania pasti sudah mengukur untung-rugi ketika dia memutuskan menjadi istri ketiga Trump. Sebelum Trump terpilih menjadi presiden pun, Melania sudah melalui berbagai hal pastinya.Â
Cibiran sebagai penghancur rumah tangga orang sudah pernah dilaluinya. Melania sudah tertempa banyak hal sebelum akhirnya mendapat posisi luar biasa sebagai pendamping Presiden Amerika Serikat.
Jadi, Melania tidak perlu dibela. Biarlah dia membuktikan sendiri kualitas dirinya sebagai perempuan dewasa yang mandiri. Persoalan tidak digandeng di depan publik sungguh terlalu dangkal untuk menilai bahwa dia telah menjadi korban kekerasan. Terlalu baper ah, kalau istilah di sini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H