Mohon tunggu...
Siti Masriyah Ambara
Siti Masriyah Ambara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemimpi dengan banyak keterbatasan

Perempuan pekerja lepas yang mencintai Indonesia dengan segala dinamikanya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saya Bangga Jadi Ibu yang Bekerja

10 Juli 2016   22:11 Diperbarui: 11 Juli 2016   07:58 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Bloggerbanua.com

Beberapa waktu lalu ramai perdebatan mengenai mana yang paling mulia antara perempuan yang memutuskan bekerja diluar dan sepenuhnya mengurus rumah tangga. 

Sungguh perdebatan yang sia-sia dan cenderung konyol menurut saya. Sama-sama perempuan, sama-sama merasakan repotnya 9 bulan membawa seorang calon penduduk dunia didalam rahim, sama-sama pernah bertaruh nyawa melahirkan seorang manusia ke dunia kok dikompetisikan. Aneh.

Ada banyak komentar saling serang, saling dukung, saling menyalahkan yang saya temukan di berbagai media sosial. Pendukung ibu rumah tangga punya dalil sendiri, begitu pun para pendukung ibu yang memilih menghabiskan sebagian waktunya di tempat kerja punya argumen sendiri. Saya tahu kedua pilihan itu memiliki konsekuensi masing-masing yang pastinya sudah dipahami oleh tiap perempuan yang memilih ada di kubu mana. 

Saya sendiri sebagai ibu satu orang anak perempuan hingga saat ini memutuskan menghabiskan seluruh waktu saya di rumah bukan menjadi pilihan. Dalam tulisan ini, saya juga tidak ingin memaparkan alasan saya mengapa masih bersikap “egois” mengorbankan keluarga demi pekerjaan. Biarlah itu menjadi urusan internal saya sendiri. Toh, orang juga tidak memberi sumbangsih apapun terhadap kelangsungan hidup keluarga saya, iyakan?

Sebagai perempuan sekaligus ibu yang harus membagi waktu dan konsentrasi untuk dua ranah, pekerjaan domestik dan pekerjaan publik, jujur saya katakan memang tidak mudah. 

Saya harus mampu membuat prioritas dan disiplin terhadap waktu. Tidak saya pungkiri bahwa terkadang membuat frustrasi ketika kondisi fisik kelelahan. Namun, ketika pilihan telah saya ambil, maka saya pun siap dengan segala konsekuensinya. Hanya sekadar berbagi, inilah beberapa hal yang saya dapat dan saya harus lepaskan ketika memutuskan menjadi perempuan dan ibu bekerja :

Saya Kekurangan Waktu Istirahat

Hei, saya tidak tahu bagaimana rasanya menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, yang pastinya saya rasa juga sulit mencari waktu luang d itengah kesibukan menata rumah, memberi makan anak, memandikan, mencuci, menyetrika dan setumpuk pekerjaan lain. Tapi, inilah yang juga saya rasakan. Saat tiba dirumah, saya pastinya tidak bisa langsung menyandarkan punggung di sofa yang empuk. 

Bermain bersama anak, memastikan anak saya sudah menyelesaikan kewajibannya sebagai pelajar, memastikan kondisinya sehat, berbincang tentang kesehariannya adalah rutinitas wajib. 

Bagaimana mungkin saya, meskipun lelah setengah mati, bisa langsung tertidur pulas di kamar sementara ada seorang anak yang pasti juga merindukan perbincangan dengan ibunya. Ya, jelas, saya kekurangan waktu untuk istirahat melemaskan otot yang kaku.

Saya Memiliki Waktu untuk Mencintai Diri Sendiri

Karena saya melakukan apa yang saya cintai, bekerja bukan sekadar untuk mendapat gaji, maka inilah yang saya rasakan. Saat bekerja itulah waktu-waktu yang bagi saya adalah waktu untuk mencintai diri sendiri. Saya melakukan pekerjaan yang saya cintai, yang membuat saya hidup dan semangat menjalani hidup. 

Apakah artinya saya tidak mencintai anak dan keluarga saya? Ah, lagi-lagi kalau dibenturkan seperti itu, pasti akan panjang perdebatannya. Anak dan keluarga saya adalah bagian dari jiwa saya, darah saya mengalir dalam diri anak saya, itu sesuatu yang tidak bisa diganggu gugat.

Saya Kehilangan Beberapa Momen Penting Anak Saya

Apakah saya tidak sedih ketika anak saya harus mengikuti acara membuat burger bersama teman-temannya di sebuah resto cepat saji sementara saya harus ada di luar kota menyelesaikan pekerjaan? Ah, itu mah pertanyaan aneh. Ya, pastinya, ibu mana yang tidak gundah ketika harus memilih antara menghadiri acara sekolah anak dengan pekerjaan yang wajib dia selesaikan. 

Meski tidak sering, ada beberapa momen kebersamaan dengan anak dan keluarga yang memang saya lewatkan. Kesedihan ini saya pendam dan alihkan menjadi produktivitas dalam menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan.

Saya Mandiri Secara Keuangan

Inilah salah satu penghargaan dalam bentuk materil yang pastinya saya dapat. Apakah ini berarti saya materialistis? Hei, apa sih yang saat ini tidak memerlukan uang. Saya ingin memberikan kehidupan layak untuk anak dan keluarga saya. Saya pernah membaca satu artikel mengenai perlunya menahan hasrat memberikan yang terbaik untuk anak agar mereka terbiasa hidup dalam kondisi prihatin. Katanya ini upaya mendidik anak menjadi tangguh. 

Seperti semua hal di dunia, ada pro ada kontra terkait artikel itu. Saya sih sepakat bahwa anak harus dididik menjadi tangguh, tidak cengeng menghadapi tantangan. Tapi ya tidak perlu sampai hidup prihatin. Saya sendiri memang tidak berasal dari keluarga kaya raya, saya hanya berusaha memenuhi hak anak saya untuk bisa menjalani hidup dengan nyaman. Itu semua butuh uang. Pekerjaan saya mampu membuat saya berkontribusi membantu pasangan saya memberikan yang terbaik untuk keluarga.

Saya Kehilangan Waktu Bersama Teman

Saat reuni, saya ada di satu pulau jauh dari keramaian. Saat teman-teman ramai menghadiri pernikahan seorang teman, saya sedang menyelesaikan proses pengambilan gambar di tengah lautan. Ya, itu beberapa momen yang saya lewati. Menyesal? Ya, sempat terlintas. Tapi tak berlarut-larut. Toh, saat ini ada media sosial yang bisa mengobati kekecewaan saya karena absen dalam acara yang pastinya meriah. 

Ada fasilitas berkirim pesan yang bisa saya manfaatkan menyampaikan ucapan selamat pada teman yang mengakhiri masa lajangnya. Intinya, saya memaksimalkan teknologi untuk mengatasi masalah ini.

Saya Merasa Bangga Terhadap Diri Sendiri

Ini yang membuat saya memutuskan bekerja, saya butuh ruang untuk mengaktualisasikan diri setelah bertahun-tahun harus berjuang demi selembar ijasah. Ketika orang memberikan apresiasi terhadap pekerjaan yang saya hasilkan, itulah kebanggaan yang tidak bisa dinilai dengan materi. Ketika anak saya memberikan ucapan “Bunda hebat, deh” setelah menyaksikan video yang saya hasilkan, itulah kebanggaan saya terhadap diri sendiri. 

Saya ingin menularkan rasa bangga ini kepada anak saya, agar dia pun bisa memaksimalkan segenap potensinya untuk membahagiakan dirinya sendiri, sebelum dia membahagiakan orang lain.

Itulah beberapa hal yang saya rasakan ketika memutuskan membagi waktu antara rumah dan pekerjaan di luar rumah. Pasti semua perempuan memiliki pengalaman berbeda, saya yakin. 

Tapi setidaknya, saya menghindari memberikan penilaian kepada perempuan lain yang memilih melakukan sesuatu yang berbeda dengan yang saya lakukan. Karena pada dasarnya, semua perempuan, semua ibu pasti berjuang memberikan kebahagiaan untuk anak dan keluarga tercinta. Meski dengan cara berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun