Datangnya kekacauan yang satu itu bukan membuat ketakutan dang rasa kehilangan Sri atas ayahnya yang ditangkap pudar. Melainkan semakin membuat hati Sri patah, semenjak terbakarnya penjara Merah itu Sri sudah tidak akan bisa melihat wajah ayanya lagi. Terakhir yang dapat kenang dari ayahnya adalah ditemukan satu kaki ayahnya yang tak lagi bersama dengan kepala, tangan, badan, dan kaki yang satunya lagi.
Lengkaplah adukan keresahan, kegelisahan, ketakutan, dan segala rasa pahit kehidupan dalam hatinya. Belum lagi Is kakaknya yang diburu pasukan Siliwangi tak didapati kabarnya. Pasukan Siliwangi sekejap mengakhiri kerusuhan dan pembantaian lantaran berhasil mengusri Merah ke arah barat.
Ketakutan Sri mulai berkurang tapi perutnya yang lapar tetap saja harus menekuni nasibnya. Keadaan baru datang kegelisahan baru kembali melanda, TNI Belanda datang menduduki kembali. Kekacauan kembali merajalela.
Akhirnya kalimat pasrah keluar juga, "biarlah. Dari pengalaman-pengalaman yang pahit ini, aku mendapat pelajaran -- kita semua bisa mengatasi semua ini bila bisa menghilangakan diri sendiri. Anggaplah diri sendiri tak ada, dan segala kesengsaraan pun jadi tidak ada," suara Sri (hal. 297).
Dan disambunganya oleh Diah andiknya. "Biarlah bajingan-bajingan tetap menjadi bajingan. Biarlah yang baik tetap menjadi baik. Kita berlima menyerah pada keadaan. Ya, kita menyerah. Tak ada guna lagi kita memberontak" (hal. 299).
Semoga kegelisahan dan keresahan ini tak kembali bangkit di era melenial ini. Dengan keadaan politik negara yang sudah mulai genting ini, semoga Allah tetap memberikan pada setiap hati manusia Indonesia kebaikan dan iman yang kuat agar hati semuanya tak mudah menyerah terhadap keadaan yang kian memanas ini. Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'mannasir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H