Mohon tunggu...
Imron Maulana
Imron Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Aktif sebagai pegiat literasi KOMPAK

Mahasiswa aktif di IAIN Madura

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kegelisahan Saat Dia yang Menyerah

3 November 2017   13:08 Diperbarui: 3 November 2017   13:42 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Imron Maulana

Akan tersentuh sisi emosi bagi mereka yang pernah menelan rangkaian huruf-huruf yang diramu oleh mbah Pramoedya Ananta Toer yang bertajuk Cerita dari Blora. Kumpulan cerita pendek itu akan menyeret pembaca untuk hadir kemasa dimana keadaan Indonesia, yang pada masa penceritaan ini dikenal dengan istilah Hindia -- Belanda, dalam kungkungan imperialisme dan feodalisme. Meskipun ramuan ceritanya banyak berkutat dalam kisah keluarga kecil orang-orang bawah (baca: proletar) mbah Pram menunjukkan kondisi Indonesia secara keseluruhan.

Ramuan cerita pendek yang dimulai dari Yang Sudah Hilang, Yang Menyewakan Diri, Inem, Sunat, Kemudian Lahirlah Dia, Pelarian yang Tak Dicari, Hidup Yang Tak Diharapkan, Hadiah Kawin, Anak Haram, Dia Yang Menyerah,dan diakhiri dengan Yang Hitam. Mampu membuat pembacanya mabuk dan terseret-seret dalam kegelisahan, terutama ketika penulis ini sampai pada Dia Yang Menyerah. Cerita pendek ini yang menurut penulis cerita paling gemuk dan paling mendorong untuk terjun kedalam jurang kegelisahan. Tapi cerita keluarga Pak Sumo dengan delapan anaknya itu juga mengajarkan agar pembaca tidak selamanya harus menyerah pada keadaan.

Kisah rakyat kecil sejak masa penjajahan Jepang, dan gejolak antar pribumi dengan isme-isme baru yang di anutnya mulai dari si Merah, orang-orang pro Republik, hingga kelompok Siliwangi, dan pada akhirnya penjajah Belanda kembali mengulang menjajah masyarakat Hindia -- Belanda. Diramu dengan baik tanpa menghilangkan dan bahkan semakin melekatkan rasa pahit di dalamnya.

Kegentingan itu dengan jelas mbah Pram menayangkan dalam cerita pendek tersebut. Sri anak ke empat dari Pak Sumo menjadi korban atas keadaan genting tersebut. Setelah ibunya meninggal Sri terpaksa harus meninggalkan sekolahnya, padahal dua bulan kemudian dia akan lulus dari sekolahnya dan akan memperoleh ijazah dengan angka-angka dan kata-kata yang indah. Karena dia ditinggal pergi merantau oleh dua kakak laki-lakinya, kakak perempuannya sibuk dengan pekerjaannya dan ditinggalnya ayah satu adik perempuan juga tiga adik laki-lakinya. Sri mengurusi keluarganya sendirian, bocah yang masih lekat dengan ingusnya itu harus mengurusi lima manusia dan satu manusia yaitu dirinya sendiri (Liahat, hlm. 226).

Sejak turunnya tentara Dai Nippon di kota kecilnya keadaan menjadi dinamis, banyak masyarakat antusias terhadap penjajah baru setelah penjajahan Belanda, tanpa menyadari akan kejahatan penjajah Jepang.

Keadaan kian lama kian memburuk, Sri dan adik-adiknya harus bisa menelan apa saja yang bisa ditelan dan bisa menghilangkan rasa lapar barang sebentar. Saking melaratnya bahan makan dan bahan pakaian yang tinggal dalam angan-angan saja. Akhirnya Sri dan adik-adiknya hanya terlihat sebagai tulang dan kepalanya yang penuh dengan penderitaan.

Tak bisa menghentikan keglisahan pembacanya ketika latar situasi sangat kejam itu ditunjukkan dalam tulisan tahun 1950 ini dihadapkan pada Sri anak yang belum balig harus mepertahankan hidupnya dan adik-adiknya. Disamping itu mbah Pram menunjukkan bahwa siatuasi kejam tak selamanya akan mengikis perasaan menjadi lebih ciut, melainkan dengan situasi tersebut Sri semakin terasah pikirannya dan perasaannya semakin rungcing. Meski jiwanya menjadi korban dengan terjangkitnya penyakit menyerah. Anak sekecil itu telah kenal yang namanya menyerah.

Semakin terseret kekhawatiran dan kegelisahan saat Is kakak perempuan Sri mengenal dan bersenang-senang dengan isme-isme baru. Isme baru yang dianut oleh Is adalah golongan merah. Merah melakukan gerakan pemberontakan terhadap pemerintah dengan malakukan pembantaian di seluruh kota, hingga ke kota kecil yang dihuni Sri. Pembantaian dilakukan terhadap mereka yang pro tehadap pemerintah dan yang mengaku dirinya adalah pendukung republik. Termasuk ayah Sri sendiri ditangkap oleh golongan Merah ketika Is dalam masa pengkaderan.

Banjir darah dimana-mana, kemanusiaan tak ada harganya kemarahan, ketakutan, dan kegelisahan bercampur aduk di setiap kepala. Bagi yang takut mati jawaban yang paling sering dijadikan lagu adalah menuruti keinginan penguasa.

Saat Merah terbalaskan oleh pasukan Siliwangi yang takut mati ikut perintah pasukan Siliwangi. Merah terbalaskan bajir darah tak berhenti, kegelisahan baru mengganggu hati anak kecil yang ditangkap ayahnya itu. Nyawa dibalas nyawa, semua yang Merah ditebas tanpa ampun. Meledaknya kemarahan Pasukan Siliwangi membuat Merah lari terbirit dan mengamuk asal mengamuk, dengan membakar penjaranya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun