Matahari belum sepenuhnya muncul ketika sosok wanita tua berjalan menuju belakang rumahnya. Tak lama ia memutar ke samping rumah untuk kemudian meraih beberapa potongan kayu untuk dibawa ke dalam rumah. Kayu-kayu itu memang tersusun rapi. Hasil pekerjaannya di masa muda, di saat tenaganya masih cukup kuat.
Zaman mungkin semakin maju dengan penggunaan kompor gas di setiap rumah, tapi tidak dengan beliau. Ia masih mengandalkan tungku dan kayu bakar untuk memasak. Bukan ia tak mendapat jatah dari program pemerintah, tapi memang ia tak bisa menggunakannya. Wanita tua itu lebih nyaman memasak menggunakan kayu. Seperti yang dulu Ibunya ajarkan.
Sesaat setelah api menyala, wanita itu pun mulai memasak. Ia terlebih dahulu memasak air kemudian menanak nasi. Sembari mencuci beras, wanita tua itu berpikir apa yang akan dimasaknya hari ini. Ia tidak memiliki stok sayuran juga lauk. Ia ingin ke pasar, tapi tubuhnya tak sekuat dulu. Apalagi jarak pasar cukup jauh. Ia tak punya kendaraan.
Wanita itu mendesah panjang. Dulu, pasar seakan menjadi rumah keduanya. Pekerjaannya sebagai pedagang kain, membuatnya menghabiskan waktu di tempat itu. Tapi sekarang?
Argh…
“Mbah! Mbah! Udah bangun belum? Ini aku Narti.”
Wanita tua itu mendongak. Tak lama ia bergegas membuka pintu belakang rumahnya. Memang benar Narti, tetangganya yang muncul.
“Oh Narti toh,”
“Iya, Mbah. “Jawab wanita itu. “Aku mau ke pasar. Mbahnya ada yang mau dititip apa?”
Wanita tua itu mengangguk lalu tersenyum. Ia pun bersyukur dalam hati karena memiliki tetangga sebaik dan sepengertian seperti Narti.
Sudah bertahun-tahun ia hidup sendiri. Suaminya meninggal beberapa tahun lalu akibat menderita penyakit gagal ginjal. Anak-anaknya pun sudah disibukkan dengan pekerjaan dan kehidupan masing-masing. Praktis wanita itu pun hanya tinggal sendiri di rumah. Sejujurnya ia tak menginginkan hidup seperti sekarang. Sepi. Ia merindukan masa-masa dimana di rumah dipenuhi gelak tawa dan keramaian para penghuni rumah.
Maka ketika ada anak sulungnya menawari untuk tinggal bersama, wanita itu pun tak menolak. Ia justru senang. Tetapi sayang, karena hanya beberapa bulan kemudian ia memilih pulang ke rumahnya. Anaknya terlalu sibuk, bahkan sekedar untuk berbicara dengannya pun tak pernah ada waktu. Hal itu membuatnya merasa tak terabaikan.
Sebenarnya ia masih memiliki tiga anak lain. Ketiganya sama sukses serta sibuk seperti kakaknya. Selain itu wanita tua itu juga tahu, jika ia tinggal bersama anaknya maka dirinya akan bersinggungan dengan menantunya. Beberapa diantara menantunya memang memiliki tabiat buruk. Ia tak ingin jika kemudian tinggal di rumah mereka hanya untuk dibentak-bentak atau dimarahi.
Jadi memang tinggal di ruamh sendiri lebih baik, meskipun ya…
“Mbah, kok malah bengong?”
Perkataan Narti membuyarkan lamunan wanita tua itu. Tak lama dia pun meringis. “Bentar ya, Ti,” katanya. “Tak ambilin duitnya dulu.” sambungnya lagi sembari masuk ke dalam kamar.
Sesaat setelah menyerahkan uang dan menyebutkan titipannya, Narti pun berlalu. Sepeninggal Narti, wanita tua itu pun tersenyum. Terkadang dirinya memang sedih memikirkan kehidupan yang dialami saat ini. sendiri, tak ada suami serta anak-anak yang terlalu sibuk. Tak dapat dipungkiri, ia pun sempat kecewa dengan sikap dan perlakuan anak-anaknya. Kesibukan benar-benar membuat mereka lupa.
Tetapi seiring berjalannya waktu, wanita tua itu lebih bisa menerima apa yang terjadi. Sebagai orang tua sudah seharusnya melakukan yang terbaik untuk anak-anak. Mereka sukses, ia sebagai orang tua bangga. Kalaupun kini ia harus hidup sendiri, mau bagaimana lagi? Toh, nyatanya masih banyak orang di sekitarnya yang peduli dan memperhatikannya. Sederhana memang, tapi hal itu memang patut disyukuri.
Ah, sudahlah! Lebih baik masak nasi.
***
Lampung, Juli 2016
karya ini diikutsertakan dalam rangka mengikuti Event Bulan Kemanusiaan RTC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H