Maka ketika ada anak sulungnya menawari untuk tinggal bersama, wanita itu pun tak menolak. Ia justru senang. Tetapi sayang, karena hanya beberapa bulan kemudian ia memilih pulang ke rumahnya. Anaknya terlalu sibuk, bahkan sekedar untuk berbicara dengannya pun tak pernah ada waktu. Hal itu membuatnya merasa tak terabaikan.
Sebenarnya ia masih memiliki tiga anak lain. Ketiganya sama sukses serta sibuk seperti kakaknya. Selain itu wanita tua itu juga tahu, jika ia tinggal bersama anaknya maka dirinya akan bersinggungan dengan menantunya. Beberapa diantara menantunya memang memiliki tabiat buruk. Ia tak ingin jika kemudian tinggal di rumah mereka hanya untuk dibentak-bentak atau dimarahi.
Jadi memang tinggal di ruamh sendiri lebih baik, meskipun ya…
“Mbah, kok malah bengong?”
Perkataan Narti membuyarkan lamunan wanita tua itu. Tak lama dia pun meringis. “Bentar ya, Ti,” katanya. “Tak ambilin duitnya dulu.” sambungnya lagi sembari masuk ke dalam kamar.
Sesaat setelah menyerahkan uang dan menyebutkan titipannya, Narti pun berlalu. Sepeninggal Narti, wanita tua itu pun tersenyum. Terkadang dirinya memang sedih memikirkan kehidupan yang dialami saat ini. sendiri, tak ada suami serta anak-anak yang terlalu sibuk. Tak dapat dipungkiri, ia pun sempat kecewa dengan sikap dan perlakuan anak-anaknya. Kesibukan benar-benar membuat mereka lupa.
Tetapi seiring berjalannya waktu, wanita tua itu lebih bisa menerima apa yang terjadi. Sebagai orang tua sudah seharusnya melakukan yang terbaik untuk anak-anak. Mereka sukses, ia sebagai orang tua bangga. Kalaupun kini ia harus hidup sendiri, mau bagaimana lagi? Toh, nyatanya masih banyak orang di sekitarnya yang peduli dan memperhatikannya. Sederhana memang, tapi hal itu memang patut disyukuri.
Ah, sudahlah! Lebih baik masak nasi.
***
Lampung, Juli 2016