Bekas Luka
Oleh Tim 10pm
Kupandangi foto berukuran sedang yang berada tepat diatas meja kecil di samping tempat tidurku. Tampak sepasang kekasih tengah tersenyum lebar mengarah ke kamera. Senyum ceria sarat bahagia. Aku yakin siapapun akan iri melihatnya. Ah, tapi dulu. Sekarang?
Aku menghela napas dalam- dalam. Sesak. Rasanya benar- benar menyakitkan. Tak ada lagi senyum dan tawa. Tak ada lagi bahagia. Semuanya semu. Fatamorgana.
Rasanya seperti mimpi. Baru kemarin ia melamarku di depan semua keluarga besarku. Mimpi-mimpi indah setiap malam terus ia dengungkan dari kejauhan. Rasanya tak berjarak. Setiap malam ia meneleponku, meyakinkanku. Aku akan menjadi miliknya yang utuh, dan ia akan menjadi milikku bukan separuh.
Tanpa kusadari air mataku mulai membasahi kedua pipi. Untuk kesekian kali, saat mengingatnya di saat itu pula air mata tak berhenti menetes. Ari, aku rindu…
***
“Ada hal penting yang ingin kukatakan padamu?” ucap Ari pagi itu melalui sambungan telepon.
“Apa?” tanyaku dengan dahi berkerut.
“Nanti saja. Di café biasa jam 4 sore.”
“Ok.” Senyumku melebar dengan kepala mengangguk mengiyakan.