[caption caption="Gambar diambil dari www.baruch.cuny.edu"][/caption]
“Wow, Yon! Blog lo gila makin rame aje.”
Dion mengendikkan bahunya. “Makin tajir dong lo ya!” Restu, sahabatnya kembali berkomentar.
“Biasa aja, Tu.”
Restu tertawa, “Biasa gimana. Itu followers lo sampe ribuan masih lo bilang biasa. Ck, padahal identitas lo masih rahasia ya. Gimana kalau mereka tahu wajah asli lo. Bisa ngalah- ngalahin Aliando loh,”
“Nggak segitunya lah,” Geleng Dion, “Mereka kan suka karya gue. Bukan gue.”
“Kata siapa?” Restu mencibir. “Lo kan ramah banget sama mereka. Ada yang curhat aja lo ladenin. Lo sadar nggak sih itu fans lo para abg labil yang baperan,”
Dion terdiam. “Di mata mereka lo tuh sosok yang bijaksana dan cerdas. Hati- hati lo ada yang pake perasaan,” lanjut Restu. “Kayaknya udah mulai banyak juga yang hacking untuk cari tahu sosok lo yang sebenarnya.”
“Iya, gue tahu.” Dion mengangguk lemah. “Makanya gue bayar lo untuk mengatasi hacker.”
“Siap Boss!” Restu tersenyum lebar. “Beres.”
Dion mengangguk lalu mengalihkan perhatiannya ke balik jendela kamar. Hatinya gundah. Teramat gelisah memikirkan hal yang terjadi di hidupnya beberapa bulan belakangan ini.
Hampir tiga bulan belakangan Dion disibukkan dengan aktivitas dunia maya. Dia membuat blog untuk mempublikasikan tulisan- tulisannya. Awalnya iseng, namun Dion tak menyangka jika tulisan- tulisannya menyedot banyak perhatian pembaca. Sikapnya yang ramah dan bijak pun mendapat tempat tersendiri di hati pembaca yang kebanyakan para remaja perempuan. Mereka pun akhirnya mulai mengidolakan sosok Dion. Meskipun identitas aslinya masih tersembunyi, toh tidak mengurangi jumlah fansnya. Yang ada mereka semakin bertambah, hingga mereka membentuk fans club sendiri untuk mendukung dirinya.
Dion tersanjung. Dia berbangga hati. Jumawa. Karyanya bahkan sudah diterbitkan sendiri. Namun sayangnya, meski kesuksesan menghampiri, ada yang mengganjal di hatinya.
Ah, kalau saja mereka tahu yang sebenarnya…
“Tapi cerita lo memang asli keren- keren deh, Yon. Ck, nggak sangka gue punya sahabat jago nulis.”
Dion tersenyum tipis. Dia enggan mengomentari kalimat Restu. Dihelanya napas panjang, kalau lo tahu mungkin lo malu punya sahabat gue, Tu, bisiknya dalam hati.
“Cih, hari gini ada aja orang sirik sama kesuksesan orang ya.” Restu menggerutu di depan layar laptop. Dion semula tak peduli dengan gerutuan sahabatnya, tapi kalimat Restu yang berikutnya embuat tubuhnya menegang seketika.
“Masa’ Yon ini ada yang komen, katanya tulisan lo ini mirip manga- manga Jepang gitu. Cuma beda di nama tokoh. Secara keseluruhan karya lo mirip.”
“Ish, ini model- model orang iri sama lo Yon. Bilang macam- macam lagi.” tambah Restu lagi.
Dion tercekat. Ia merasa sesak. Ternyata serapi apapun ia menyimpannya, masih ada pula yang bisa mencium ketidakberesan di karyanya.
Ya Tuhan, bagaimana ini…
Lampung, Maret 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H