[caption caption="gambar diambil dari www.iemoji.com"][/caption]
Ketika tulisan terutama fiksi diterbitkan di khalayak baik berupa online atau koran, itu berarti kita bersiap untuk menerima komentar, saran atau kritik dari orang lain(pembaca). Bersyukurlah untuk penulis yang menganggap kritik dan saran sebagai tahapan belajar untuk menjadikan karyanya lebih baik apalagi kalo kritik bernada tajam atau sarkas, ya sudah namanya belajar. Tapi sayangnya saya justru menemukan fenomena ‘ngamuk’ di akun wattpad yang dalam pemberian saran.
Nggak hanya’ngamuk’ sebenarnya, bisa jadi bully menyerang. Ini biasanya berlaku untuk para penulis yang memiliki fans cukup besar. Para fans yang tidak terima sang idola dikritik pun akhirnya turut mengibarkan bendera ketidaksukaan. Jadilah, nasib apes!
Tak sampai di situ, banyak pula penulis wattpad yang menerbitkan bukunya baik mayor atau indie. It’ok yang mengirim karyanya di penerbit mayor atau memang diminta penerbit itu sendiri cuma banyak juga yang menerbitkan secara indie karena banyaknya animo pembaca. Balik lagi deh, kalau yang model nggak bisa dikritik terus mempertahankan tulisannya untuk diterbitkan gimana?
Wattpad yang merupakan aplikasi membaca dan menulis gratis lebih banyak didominasi oleh remaja. Yak, sering kok ditemukan “Folbek kakak,” “Kak, lanjut dong ceritanya!” hahaha… kebanyakan ya, tapi nggak menutup kemungkinan para emak- emak, bapak- bapak, om- om, tante- tante, aki-nini juga mampir kok. Jadi bisa tahu kan kenyataan yang terjadi di wattpad. Tandai kebanyakan ya! Nggak semuanya kok, karena penulis berkualitas banyak juga kok. Tuh buktinya banyak nangkring di toko buku. Hehehe, #tapisayabelumloh J)
Terus bagaimana di Kompasiana?
Saya diingatkan chat dengan seorang senior yang lebih dulu malang melintang di sini. Dia mengatakan fiksi sekarang cenderung ‘pilih kasih’. Komentarnya selalu berbaik hati dan hanya pada orang- orang yang dikenal.
TELAK. Saya merasa bagian dari pernyataan yang diucapkannya.
Tapi sejujurnya untuk mengkritisi karya orang lain dimana karya saya sendiri jauh dari sempurna, kok gimana ya? Apalagi kalau yang nulis sudah senior, angkatan uzur, alamakkk… siapa saya sih ya yang imut- imut lucu menggemaskan ini? #nyengir
Lah kalau semua orang berpikir begitu kapan bisa bagus karya kita?
Dua kosong.
Ada diantara kita menjadi menulis sebagai hoby, iseng atau pengisi waktu senggang atau sebagian lagi menjadikan menulis sebagai profesi. Tak ada bedanya sebenarnya, meski yang profesi lebih menekuni secara serius. Tapi ketika kritisi masuk, mau tak mau kita akan berusaha untuk menghasilkan karya yang lebih baik. Ya meski awalnya mungkin ada perasaan misah misuh nggak terima, tetapi nantinya ada perasaan tertantang untuk membuktikan tulisannya jauh lebih baik dari sebelumnya. Jadi kayak tantangan buat diri sendiri, gitu!
Berkata jujur dengan adanya faktor kedekatan mungkin sulit tapi tak ada salahnya jika kita memang berniat untuk kebaikan orang lain.
Well pertanyaannya, siapkah kita mengkritisi dan dikritisi?
Lampung, Februari 2016
[ISL]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H