Mohon tunggu...
Imas Siti Liawati
Imas Siti Liawati Mohon Tunggu... profesional -

Kunjungi karya saya lainnya di www.licasimira.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Siapkah Saya Menjadi Ibu?

23 Maret 2014   14:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:36 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapkah saya menjadi ibu?

Siaplah, nanti juga naluri Ibu tumbuh seiring lahirnya si buah hati. Yakin? Ah masa...

Baiklah sebelumnya silahkan diingat artikel dimaksudkan untuk berbagi sedikit pengalaman penulis selama berinteraksi dengan sebagian ibu- ibu dan anak- anak selama ini, heheh... Pengalaman ya, banyak yang asal aja baca judul tanpa memahami isinya ujungnyakan ribut. Wkwkwkwk....

Beberapa hari lalu saya bersama rekan- rekan pengajar membahas tentang masalah yang dihadapi seorang anak kecanduan game. Dari info yang didapat, anak tersebut dan adiknya terbiasa tidur hingga tengah malam dan terbangun baru di tengah hari. Sungguh bukan hal yang baik untuk anak usia 8 tahun juga 4 tahun, jika menjadi kebiasaan harian. Ditambah lagi anak- anak pecandu game menjadi pribadi yang sulit bersosialisasi, mudah tersinggung juga tak dapat menyelesaikan masalah. Sang ibu menceritakan sulitnya mengontrol kecanduan anak tanpa dapat berbuat apa- apa lagi. Ah, kami hanya dapat berdecak kagum serta mengelus dada jika sang ibu saja menyerah menghadapi anaknya sendiri. Padahal kalau mau dirunut perilaku terbentuk karena kebiasaan yang dilakukan berulang. Jika sedari dini sudah diajarkan melakukan hal baik tentu anak menjadi terbiasa. Hidup bukan game yang jika tidak bisa, dapat kita restart dari awal atau kita atur sesuka hati namun hidup adalah proses berkelanjutan.

Lain hal dengan seorang ibu yang menyalahkan sang guru di sekolah tak memberikan perkembangan berarti untuk anaknya. Setelah dilihat, kami mengatakan ada baiknya sang ibu membawa anak ke psikolog/tumbuh kembang anak karena kami menyakini sang anak tergolong ABK. Besar kemungkinan guru di sekolah belum memahami ciri- cirinya. Sudah seperti biasanya, jika banyak orang tua khusus ibu yang menyakini anaknya baik- baik saja namun jauh di lubuk hati pula menyadari ada yang tak berbeda dari sang anak. Mungkin ini yang disebut naluri ibu. Namun terkadang naluri tertutup dengan keegoisan semata.

Diatas hanya segelintir contoh problem anak, masih terdapat banyak masalah lain yang ada pada anak. Cukup komplit sebenarnya. Dalam setiap masalah pada anak, tentu peran ibu yang banyak kami gali. Jarang lah kalau urusan sama ayahnya. Palingan ayah cuma nganter jemput, kalau ibu biasanyakan akan lebih cerewet bercerita yang justru disinilah kami banyak menemukan permasalahannya.

Anak sejatinya adalah anugerah. Pada perannya ibu bukan hanya melahirkan namun juga mengurus, merawat dan mendidik hingga anak dewasa. Bahkan pendidikan pertama yang didapat anak berasal dari keluarga khusus sang bunda. Namun peran ini yang nyaris terkikis dalam kehidupan masyarakat. Lebih banyak ibu hanya melahirkan tanpa tahu mendidik selanjutnya. Perawatan anak dilimpahkan ke pembantu, baby sitter atau sang nenek. Wanita karir? Nggak juga sih toh yang wanita rumahan pun tetap saja ada kok yang melimpahkan mengurus anak ke orang lain. Tahu- tahu anaknya sudah besar aja!

Saya ingat kejadian anak yang sulit diatur, cengeng tak keruan, sulit memahami materi yang diajarkan. Cerita punya cerita setelah dicari penyebabnya dia cuma mau mamanya. Toh setelah mamanya menungguinya, meluangkan waktu sejenak untuk sang putri, kemajuan pesat yang didapat dari perkembangan belajar anak tersebut.

Selain itu masih banyaknya anggapan pendidikan diserahkan hanya kepihak sekolah. "Kan saya udah bayar ini,". Ini juga yang seenak jidat. Para guru menyadari tentunya peran mereka di sekolah namun terlepas itu orang tua tetap yang utama. Dalam suatu seminar mengajar yang pernah saya ikuti, sang pemateri mengatakan anak adalah titipan Tuhan untuk orang tuanya. Dan kelak Tuhan akan meminta pertanggungjawaban tersebut, jadi bukan dibebankan ke orang lain. Perlu kerjasama yang baik tentunya karena Orang tuapun contoh nyata anak. Seringnya saya menemukan hal tak baik yang dilakukan anak dan bila ditegur dengan polos berkata, mama juga gitu kok! Huft, repot urusannya kalau begini, toh 24 jam kebersamaan lebih sering sama ibunya.

Menjadi orang tua terutama Ibu tidak mudah memang. Namun tidak akan sulit jika kita menyadari 100% peran sejati kita sebagai perempuan dan ibu. Mensyukurinya serta memberikan yang terbaik kepada anak. Menyakini bahwa inilah kewajiban kita yang kelak dimintai tanggungjawabnya serta menjadikannya ladang pahala tak ternilai. Mau wanita karir sekalipun cobalah meluangkan waktu untuk menjadi bagian dari pertumbuhan anak, banyak kok contoh sukses wanita karir anak juga terurus pun ibu rumah tangga sekalipun maksimalkan waktu yang ada untuk perkembangan sang buah hati.

Kelengkapan rumah tangga juga sebenarnya tak harus dilupakan peran sang kepala keluarga. Lelaki nomor satu dalam keluarga. Tetap pertumbuhan dan perkembangan anak juga tanggung jawab ayah juga bunda. Namun saya lebih banyak menyoroti peran Ibu karena memang kewajiban mutlak untuk mengurus anak.Selain karena pengalaman selama ini lebih banyak ke para mama juga sih. Heee... Mungkin suatu waktu kepikiran nulis untuk segipandang kewajiban ayah. :-)

Bukan bermaksud menggurui yak, saya yakin kok para bunda disini lebih paham karena sudah memiliki anak. heheh... Kalau saya kan belum. Cuma saya jadi menulis ini karena saya diingatkan perkataan teman saya yang dideadline nikah.

"Gue sih suka anak kecil, tapi kalo gue bosen ya gue masih ke emaknya. Lah ntar kalo gue bosen sama anak sendiri kan susahh."

Pernyataan yang rada konyol itu jadi lebih "mengena", karena ternyata kesiapan mental untuk membangun keluarga kelak itu yang utama. Nikah hanya sekedar nikah ujungnya akan sulit menghadapi berbagai persoalan terutama jika menjadi ibu. Apalagi malah anak- anak "curhat" kan jadi saya pribadi banyak belajar. Nih kan ujungnya untuk para jomblowati yang galau akut. Daripada galau nggak keren, mending mempersiapkan diri dulu, banyak belajar deh! (ISL)

Bandung, 23 Maret 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun