Mohon tunggu...
Imas Indra
Imas Indra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Undergraduate Student at Department of International Relations Universitas Gadjah Mada | imasndra.tumblr.com | @imasndra |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Media Sosial: Ketika Kita Berhenti Menjadi Manusia

14 September 2016   19:06 Diperbarui: 14 September 2016   19:11 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum juga kita beranjak dari kasus Tanjung Balai, linimasa sudah ramai membahas fenomena baru seputar intoleransi. Adalah Boby Febrik Sedianto, mahasiswa Universitas Indonesia, berlatar Balairung kampusnya menyerukan gerakan menolak Ahok sebagai pemimpin. Gubernur DKI Jakarta itu disebut kafir dan tidak becus dalam memerintah. Video 1,5 menit yang diunggah ke YouTube itu, mencatut ayat Al-Quran untuk memperkuat seruan bagi muslim untuk menolak pemimpin kafir.

Tangkapan layar 'meme cangkul'. Sumber: Facebook.com
Tangkapan layar 'meme cangkul'. Sumber: Facebook.com
Pertengahan tahun 2016 lalu, juga sempat beredar meme cangkul. Meme tersebut merupakan respons sekelompok orang terhadap kasus pemerkosaan dan pembunuhan sadis yang terjadi di Tangerang. Lewat gambar tersebut, kelompok yang dimaksud seolah menyalahkan korban dan menekankan kewajiban perempuan untuk menjaga diri sesuai ketentuan agama. Kembali, linimasa dibanjiri perdebatan yang tak jarang bernada kebencian.

Tangkapan layar kolom komentar tentang 'meme cangkul'. Sumber: Facebook.com
Tangkapan layar kolom komentar tentang 'meme cangkul'. Sumber: Facebook.com
Linimasa seolah tak pernah kehabisan isu intoleransi. Setiap hari, ada saja fenomena atau ujaran bernada intoleran yang disampaikan. Jangankan soal agama, perbedaan gaya hidup, selera, hobi, cara pandang sampai dengan etnisitas bisa dijadikan bahan perdebatan. Kalau sudah begitu, cacian dan kata-kata kasar sering terucapkan. Tak jarang, muncul juga label yang menunjuk identitas individu yang sifatnya merendahkan: kafir, antek yahudi, bukan islam, liberal, neolib dan lain sebagainya.

Masalah mungkin tidak akan muncul kalau intoleransi dan ujaran kebencian tidak diterima begitu saja oleh masyarakat. Tetapi kenyataan berbicara lain, dan insiden Tanjung Balai adalah salah satu buktinya. SETARA Institute juga mencatat terjadi 62 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam rentang Januari-Juni 2016. Sebanyak 78 bentuk pelanggaran ditemukan dan tersebar di 18 provinsi. Pelaku pelanggaran mulai dari aparat negara sampai warga sipil. Pelanggaran yang dilakukan tidak jauh dari tindakan pembiaran, ujaran kebencian dan penyesatan. Hal-hal yang begitu akrab kita temui di media sosial.

Pada titik inilah kita baru sadar. Apa yang kita lakukan di media sosial juga berdampak dalam kehidupan nyata. Kalau media sosial masih saja penuh dengan pesan kebencian, sulit untuk membayangkan dunia akan tetap baik-baik saja. Namun, untuk menghilangkan intoleransi di media sosial tentu bukan pekerjaan mudah. Himbauan ‘jangan terprovokasi’ sama usangnya dengan himbauan ‘jangan buang sampah’ di sungai yang terlanjur keruh. Lantas, bagaimana cara menciptakan toleransi di era media sosial?

Nol, Menilik Memori tentang Toleransi

Suka tak suka, kita adalah hasil dari sejarah yang penuh intoleransi, kebencian dan kekerasan. Setidaknya itu yang dikatakan penulis-penulis masa kolonial: Tome Pires, Stavorinus, Geoffrey Robinson dan Alfred Wallace. Kebiasaan membawa keris dalam masyarakat Melayu, Jawa dan Bali menjadi perlambang diterimanya jalan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Catatan kolonial juga menyebut hukuman tombak atau dimakan hewan buas hidup-hidup di Sulawesi; perang antar suku Dayak di Kalimantan; perang antar kerajaan, perbudakan dan pembakaran janda di Bali sebagai kekerasan yang diterima.

Kita tentu boleh skeptis dengan gambaran penulis kolonial yang menunjuk kekerasan dalam budaya nenek moyang. Toh, kacamata kolonial hanya melihat kita sebagai separuh manusia. Jadi, rasanya wajar untuk selalu menemukan gambaran negatif tentang budaya dan masyarakat kita. Akan tetapi, tetap saja rasa skeptis tak mengubah gambaran besar dunia yang intoleran, penuh kebencian dan kekerasan.

Sejarah dunia dibentuk oleh perang yang tak berkesudahan. Peradaban-peradaban besar seperti Mesopotamia, Tiongkok dan Yunani, dibangun dari perang dan juga hancur oleh karenanya. Pun, ribuan tahun setelahnya negara-negara masih berperang demi keuntungan ekonomi, politik atau kepentingan aliansi. Usainya Perang Dingin di akhir abad 20 yang digadang sebagai titik tolak perdamaian dunia. Namun, harapan itu kandas. Menuju milenial baru kita terus dikejutkan oleh berbagai tragedi kemanusiaan: Genosida di Rwanda, peristiwa 11 September 2001, invasi di Irak dan Afghanistan serta Konflik Suriah yang telah memakan 400.000 korban jiwa sampai April 2016. (Data dari dari Perserikatan Bangsa-Bangsa)

Ketika dunia bergerak ke arah kemajuan, perang tidak lagi hanya ada dalam catatan sejarah. Kini, perang merupakan sebuah hiburan yang akrab kita akses lewat permainan dalam gawai, laptop dan media daring. Laporan Spil Games memperkirakan ada 1,2 Milyar orang mengakses permainan di tahun 2013. Dari jumlah itu, 47 persen mengakses permainan aksi dan tembak yang mengandung unsur kekerasan. Hal itu sinkron dengan fakta bahwa 6 dari 10 permainan terlaris tahun lalu, mengandung unsur kekerasan. Bahkan, angka 600 juta pengakses permainan bisa saja meningkat. Mengingat permainan bisa diakses secara ilegal, tanpa membeli.

Kekerasan menjadi semakin akrab dengan kita, ketika media massa kerap dipenuhi oleh berita-berita negatif. Tawuran, pengeroyokan, pelecehan, hingga pembunuhan tidak habis mengisi lembaran koran dan jam tayang media massa elektronik. Rasanya memang pahit, tetapi mungkin kita tak pernah punya memori tentang toleransi.

Ketika Semua Hidup Tidak Berharga dan Berhenti Menjadi Manusia

Sebagai bagian dari sejarah yang penuh kekerasan, alam bawah sadar kita mengotakkan manusia dalam dua ekstrim: kawan dan liyan. Pengkotakkan tersebut tentu dilakukan dengan mempertimbangkan banyak alasan, tetapi dua hal yang utama: persamaan dan perbedaan. Semakin besar kesamaan satu individu dengan yang lain, semakin besar kemungkinan mereka berkawan. Begitu juga sebaliknya, semakin berbeda besar kemungkinan untuk saling kontra.

Membagi manusia dalam kawan dan liyan, adalah hal yang biasa kita lakukan di luar kepala. Namun, yang sedang kita lakukan lebih besar daripada itu. Meminjam penjelasan Judith Butler, kita sedang menghakimi antara siapa hidup yang berharga dengan yang tidak. Seorang mahasiswa berprestasi tentu saja akan lebih berharga bagi kampusnya, dibandingkan mahasiswa biasa-biasa saja. Seorang lulusan luar negeri lebih berharga dibandingkan lulusan PTN. Itu hanya contoh banal. Coba masukkan variabel kemampuan ekonomi, pendidikan, status sosial, ras, agama dan banyak lainnya. Baru anda sadar, dunia yang kita tempati membuat kita sulit adil sejak dalam pikiran. Lalu bagaimana bisa toleran, ketika pikiran sudah menghakimi sejak awal?

Meskipun begitu, dunia nyata masih jauh lebih baik dari yang dikira. Dunia nyata masih memberikan anda ruang untuk menimbang kesamaan dan perbedaan banyak hal. Anda tidak buru-buru mengecap liyan, karena satu perbedaan. Sebaliknya, media sosial tidak membiarkan anda menimbang dan berpusing dengan banyak variabel. Media sosial mengubah manusia dengan latar belakang yang kompleks dan beragam menjadi sebatas username dan foto profil. Identitas agama, ekonomi, pendidikan, suku, ras, dan etnis tak lagi menjadi penting. Kecuali, ketika sentimen dan kebencian diikutsertakan dalam pembahasan. Kalau sudah begitu, identitas individu berubah menjadi sekedar label dan stereotipe.

Media sosial membuat kita berhenti menganggap orang lain sebagai manusia. Tidak ada ikatan emosional atau rasa sungkan, yang menunjukkan penghargaan atas hidup lawan bicara. Kita semua berubah menjadi sekedar foto dan nama, yang baru berharga ketika mengetuk tombol ‘suka’. Pada akhirnya kita terjebak dalam dua kategori yang banal: penyuka atau pembenci. Tidak ada di antara keduanya. Tak heran, media sosial berubah menjadi ladang menyemai intoleransi dan kebencian.

Kembali Menjadi Manusia

Menciptakan toleransi berarti bisa menempatkan individu sebagai manusia. Tidak lagi sebatas username dan foto profil, atau malah label negatif. Toleransi juga berarti menyadari bahwa terlepas dari apa yang melekat dalam diri, kita semua hanyalah berbagi ruang hidup. Boleh jadi ada yang berbeda, tetapi itu tak mengubah kenyataan bahwa kita sama-sama hidup di dunia.

Untuk menciptakan kesadaran itu, media sosial juga mengambil peran penting. Media sosial semestinya mengambil peran dengan fokus pada persamaan dan pengalaman universal manusia. Bukan hanya sebatas ujaran kebencian yang sering sekali beredar.

Bolehlah kita contoh proyek Humans of New York oleh Brandon Stanton. Proyek yang dimulai tahun 2010 itu, bertujuan menceritakan kehidupan 10.000 penduduk New York yang ditemui di jalan. Setiap cerita dikisahkan dengan menekankan nilai kemanusiaan. Anda bisa temukan cerita tentang anak-anak, veteran perang, pengemis, pasien kanker, dan banyak lagi. Setiap cerita selalu terasa dekat dengan pembacanya. Karena tidak ada label dan stereotipe yang menjauhkan pembaca dari cerita. Proyek ini selalu berhasil membuat saya merenung, dan sadar betapa manusia lebih banyak berbagi kesamaan.

Sebetulnya, cerita semacam itu sering kita temukan dalam media massa cetak maupun elektronik. Hanya sayangnya, kebanyakan masih sering salah fokus dalam membingkai cerita. Kebanyakan sering mengeksploitasi potret kemiskinan. Artis dipakai sebagai narator, menceritakan kisah hidup seseorang lewat sudut pandang perkotaan. “Kasihan…”, begitu katanya. Lalu cerita ditutup dengan pemberian sumbangan, dan tangis bahagia.

Sudah pasti yang saya maksud bukan cerita semacam itu. Label-label yang menghakimi harus ditinggalkan. Cerita haruslah tentang manusia itu sendiri. Selama cerita masih tentang ‘Tukang Bubur Naik Haji’, janda sekolahkan anak ke PTN ternama atau sejenisnya, maka kita akan terus hidup dalam pikiran yang penuh penghakiman. Mana bisa toleransi diwujudkan kalau begitu?

Facebook: Imas Indra Hapsari

Twitter: @imasndra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun