Mohon tunggu...
Imas Indra
Imas Indra Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Undergraduate Student at Department of International Relations Universitas Gadjah Mada | imasndra.tumblr.com | @imasndra |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Media Sosial: Ketika Kita Berhenti Menjadi Manusia

14 September 2016   19:06 Diperbarui: 14 September 2016   19:11 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar kolom komentar tentang 'meme cangkul'. Sumber: Facebook.com

Membagi manusia dalam kawan dan liyan, adalah hal yang biasa kita lakukan di luar kepala. Namun, yang sedang kita lakukan lebih besar daripada itu. Meminjam penjelasan Judith Butler, kita sedang menghakimi antara siapa hidup yang berharga dengan yang tidak. Seorang mahasiswa berprestasi tentu saja akan lebih berharga bagi kampusnya, dibandingkan mahasiswa biasa-biasa saja. Seorang lulusan luar negeri lebih berharga dibandingkan lulusan PTN. Itu hanya contoh banal. Coba masukkan variabel kemampuan ekonomi, pendidikan, status sosial, ras, agama dan banyak lainnya. Baru anda sadar, dunia yang kita tempati membuat kita sulit adil sejak dalam pikiran. Lalu bagaimana bisa toleran, ketika pikiran sudah menghakimi sejak awal?

Meskipun begitu, dunia nyata masih jauh lebih baik dari yang dikira. Dunia nyata masih memberikan anda ruang untuk menimbang kesamaan dan perbedaan banyak hal. Anda tidak buru-buru mengecap liyan, karena satu perbedaan. Sebaliknya, media sosial tidak membiarkan anda menimbang dan berpusing dengan banyak variabel. Media sosial mengubah manusia dengan latar belakang yang kompleks dan beragam menjadi sebatas username dan foto profil. Identitas agama, ekonomi, pendidikan, suku, ras, dan etnis tak lagi menjadi penting. Kecuali, ketika sentimen dan kebencian diikutsertakan dalam pembahasan. Kalau sudah begitu, identitas individu berubah menjadi sekedar label dan stereotipe.

Media sosial membuat kita berhenti menganggap orang lain sebagai manusia. Tidak ada ikatan emosional atau rasa sungkan, yang menunjukkan penghargaan atas hidup lawan bicara. Kita semua berubah menjadi sekedar foto dan nama, yang baru berharga ketika mengetuk tombol ‘suka’. Pada akhirnya kita terjebak dalam dua kategori yang banal: penyuka atau pembenci. Tidak ada di antara keduanya. Tak heran, media sosial berubah menjadi ladang menyemai intoleransi dan kebencian.

Kembali Menjadi Manusia

Menciptakan toleransi berarti bisa menempatkan individu sebagai manusia. Tidak lagi sebatas username dan foto profil, atau malah label negatif. Toleransi juga berarti menyadari bahwa terlepas dari apa yang melekat dalam diri, kita semua hanyalah berbagi ruang hidup. Boleh jadi ada yang berbeda, tetapi itu tak mengubah kenyataan bahwa kita sama-sama hidup di dunia.

Untuk menciptakan kesadaran itu, media sosial juga mengambil peran penting. Media sosial semestinya mengambil peran dengan fokus pada persamaan dan pengalaman universal manusia. Bukan hanya sebatas ujaran kebencian yang sering sekali beredar.

Bolehlah kita contoh proyek Humans of New York oleh Brandon Stanton. Proyek yang dimulai tahun 2010 itu, bertujuan menceritakan kehidupan 10.000 penduduk New York yang ditemui di jalan. Setiap cerita dikisahkan dengan menekankan nilai kemanusiaan. Anda bisa temukan cerita tentang anak-anak, veteran perang, pengemis, pasien kanker, dan banyak lagi. Setiap cerita selalu terasa dekat dengan pembacanya. Karena tidak ada label dan stereotipe yang menjauhkan pembaca dari cerita. Proyek ini selalu berhasil membuat saya merenung, dan sadar betapa manusia lebih banyak berbagi kesamaan.

Sebetulnya, cerita semacam itu sering kita temukan dalam media massa cetak maupun elektronik. Hanya sayangnya, kebanyakan masih sering salah fokus dalam membingkai cerita. Kebanyakan sering mengeksploitasi potret kemiskinan. Artis dipakai sebagai narator, menceritakan kisah hidup seseorang lewat sudut pandang perkotaan. “Kasihan…”, begitu katanya. Lalu cerita ditutup dengan pemberian sumbangan, dan tangis bahagia.

Sudah pasti yang saya maksud bukan cerita semacam itu. Label-label yang menghakimi harus ditinggalkan. Cerita haruslah tentang manusia itu sendiri. Selama cerita masih tentang ‘Tukang Bubur Naik Haji’, janda sekolahkan anak ke PTN ternama atau sejenisnya, maka kita akan terus hidup dalam pikiran yang penuh penghakiman. Mana bisa toleransi diwujudkan kalau begitu?

Facebook: Imas Indra Hapsari

Twitter: @imasndra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun