Mohon tunggu...
Ima Siti Fatimah
Ima Siti Fatimah Mohon Tunggu... Guru - pendidik

When you look back, there is no youth that isn’t beautiful so I hope you go forward with courage and strength.

Selanjutnya

Tutup

Beauty

Ekonomi Sirkular dalam Industri Fast Fashion

15 Desember 2024   17:00 Diperbarui: 15 Desember 2024   16:52 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Industri fashion cepat (fast fashion), yang berkembang dengan model "ambil-buat-buang" (take-make-waste), telah memberikan dampak lingkungan yang signifikan. Dengan tingkat konsumsi air yang tinggi, penggunaan bahan kimia berbahaya, serta pembuangan limbah tekstil yang masif, industri ini menjadi salah satu kontributor utama terhadap kerusakan ekosistem. Dalam beberapa tahun terakhir, limbah tekstil dan pakaian telah menjadi masalah global yang tidak bisa diabaikan. Sebagai respons, konsep Ekonomi Sirkular kini mendapat perhatian yang lebih luas di berbagai belahan dunia, terutama di Uni Eropa yang telah mengambil langkah besar menuju sistem yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Ekonomi sirkular sendiri merujuk pada sistem di mana sumber daya dipergunakan selama mungkin, mengurangi limbah, dan memastikan produk dapat didaur ulang atau digunakan kembali. Berbeda dengan model ekonomi linear yang mendominasi industri selama ini, yang mengutamakan proses "ambil-buat-buang", ekonomi sirkular mengubah pola pikir ini dengan lebih memperhatikan dampak lingkungan dan keberlanjutan dalam setiap tahap produksi.

Tantangan Fast Fashion
Dalam beberapa dekade terakhir, permintaan terhadap produk tekstil dan pakaian terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi global. Namun, peningkatan permintaan ini membawa dampak yang cukup besar terhadap penggunaan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan. Dalam industri fast fashion, pakaian diproduksi secara massal dengan harga murah namun tetap mengikuti tren yang cepat berubah. Koleksi pakaian baru terus diperkenalkan, dengan beberapa merek fast fashion menciptakan hingga 52 micro-seasons per tahun, yang secara langsung mendorong konsumen untuk membeli pakaian baru secara terus-menerus.

Akibatnya, pakaian cepat menjadi usang dalam waktu singkat, yang menyebabkan peningkatan limbah tekstil yang tak terpakai. Di Eropa, sekitar 30% pakaian yang diproduksi dijual dengan harga ritel, 30% dijual dengan harga diskon, dan 40% sisanya tidak terjual. Hal ini mengarah pada penumpukan pakaian yang "ketinggalan mode" di toko-toko, yang pada gilirannya berujung pada pemborosan besar-besaran.

Dampak Lingkungan yang Meningkat
Tingginya produksi dan konsumsi pakaian yang tidak terkontrol turut memperburuk masalah limbah. Uni Eropa saja menghasilkan sekitar 12,6 juta ton limbah tekstil per tahun, dengan rata-rata setiap individu membuang sekitar 11 kg pakaian per tahun. Meskipun begitu, hanya sekitar 1% pakaian yang didaur ulang menjadi pakaian baru, sementara sisanya sering dibakar atau dibuang begitu saja ke tempat pembuangan akhir. Proses produksi pakaian, dari bahan mentah hingga distribusi, juga menyumbang dampak besar terhadap lingkungan, di antaranya melalui konsumsi air yang berlebihan, polusi air, serta emisi karbon yang tinggi.

Mengapa Ekonomi Sirkular Diperlukan
Dengan semakin beratnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh industri fast fashion, konsep ekonomi sirkular semakin relevan sebagai solusi. Model ini berfokus pada pengurangan limbah, penggunaan kembali produk, dan perpanjangan siklus hidup barang melalui daur ulang. Ekonomi sirkular bertujuan untuk menciptakan alur tertutup dalam ekonomi, di mana sumber daya yang ada tetap digunakan selama mungkin dan produk lama dapat diubah menjadi produk baru tanpa menambah beban pada lingkungan.

Uni Eropa telah mengembangkan berbagai kebijakan untuk mendukung transisi menuju ekonomi sirkular. Salah satunya adalah strategi tekstil berkelanjutan untuk 2030, yang bertujuan untuk memastikan bahwa tekstil yang dihasilkan tidak hanya tahan lama, tetapi juga dapat didaur ulang, bebas dari bahan berbahaya, dan ramah lingkungan. Selain itu, regulasi baru yang diterapkan oleh Uni Eropa bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dan mengurangi limbah yang dihasilkan oleh industri fashion. Ini semua merupakan bagian dari upaya Green Deal Eropa yang lebih besar untuk menciptakan ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Mengelola Limbah dengan Efektif
Bersamaan dengan penerapan ekonomi sirkular, Uni Eropa juga telah mengembangkan hierarki limbah yang berfokus pada pengelolaan limbah di setiap tahap siklus hidup produk. Lima tingkatan dalam hierarki ini dimulai dengan pencegahan limbah sebagai prioritas utama, diikuti dengan persiapan untuk penggunaan ulang, daur ulang, pemulihan energi, dan terakhir pembuangan sebagai opsi terakhir. Dengan pendekatan ini, Uni Eropa bertujuan untuk mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dan memastikan bahwa produk yang sudah tidak terpakai dapat diproses kembali dengan cara yang ramah lingkungan.

Kesimpulan
Industri fast fashion telah menjadi salah satu kontributor utama terhadap kerusakan lingkungan, dengan dampak yang semakin besar seiring dengan pertumbuhan konsumsi pakaian global. Namun, dengan munculnya ekonomi sirkular dan kebijakan berkelanjutan yang diterapkan oleh Uni Eropa, ada harapan untuk menciptakan sistem yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan dalam produksi dan konsumsi pakaian. Melalui regulasi yang mendukung daur ulang, penggunaan ulang, dan perpanjangan siklus hidup produk, kita dapat mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri fashion terhadap lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun