28 Oktober 1928 menjadi hari di mana terucap kalimat pengakuan terhadap satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang sejatinya merupakan sebuah kekuatan dan 'firman' bagi kehidupan menggerakkan dan tergerak dalam berbangsa dan bernegara Indonesia.
Sangat penting untuk merefleksikan tindakan historis dari aktor prosesi Sumpah Pemuda. Tetapi, perlu dilihat kembali bagaimana saat ini nyatanya keadaan sekarang tidak seperti apa yang didambahkan oleh pendahuluh kita di tahun 1928.
Evaluasi perlu dilakukan sebagai bentuk tindakan taktis untuk menyusun strategi dalam menjawab tantangan zaman kedepan. Hal yang perlu dievaluasi dan saran kedepan adalah :
1. Melemahnya potret Sumpah Pemuda di berbagai elemen, baik Pemuda, maupun penyelenggara negara. Perlu memperkuat kembali sprit dan nilai serta keadaan yang mewarnai prosesi Sumpah Pemuda agar tertanam jiwa patriot dalam diri masing-masing kita semua.
2. Sumpah Pemuda sudah jarang menjadi rujukan atas segala aktivitas keseharian negara secara keseluruhan. Perlu untuk menginterpretasikan spirit dan nilai itu dalam tindakan kita sehari-hari baik dalam pergaulan sosial, maupun dalam pembuatan kebijakan oleh negara.
3. Menurunnya gerak simpul-simpul kepemudaan serta belum adanya inovasi dari Pemuda untuk membuat suatu tindakan historis yang dapat dimungkinkan menjadi pijakan dari giat-giat gerakan kepemudaan. Perlu untuk meningkatkan gerakan kepemudaan yang berguna bagi negara dan tetap dan harus menjadi mitra kritis atas berbagai persoalan zaman.
Akhirnya, Penulis teringat kembali dengan pernyataan dari tokoh Republik Indonesia, "Kemewahan terakhir yang dimiliki oleh Pemuda, adalah idealisme". Tetao menjadi pemuda yang menjadi penggerak terhadap arah dan gerak bangsa ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H