Mohon tunggu...
Imanuel R Balak
Imanuel R Balak Mohon Tunggu... Lainnya - Solus Populi Suprema Est Lex. (Keslamatan Rakyat adalah hukum Tertinggi)

Ubi societas Ibi Ius (Dimana ada Masyarakat, Disitu ada Hukum).

Selanjutnya

Tutup

Hukum

"Mengkaji Hukuman Mati terhadap Pelaku Korupsi Dana Bansos Covid-19"

2 Januari 2021   01:08 Diperbarui: 2 Januari 2021   01:09 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada beberapa hari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia berhasil mengukir sejarah baru dalam dunia Penegakan Hukum (Law Enforcement) Indonesia namun sangat disayangkan, dibalik sejarah positive itu terlintas sejuta rasa sedih, kaget, bahkan Ironis. Sebagaimana kita ketahui bahwa KPK RI berhasil memberikan rompi setan (Menurut istilah penulis sendiri) atau rompi Orange,  Kepada Menteri Sosial Juliari Batubara dan beberapa koleganya yang turut diberikan rompi yang sama oleh KPK (Penetapan Tersangka). Melihat realita ini, satu hal yang ingin penulis sampaikan bahwa perbuatan korupsi merupakan salah satu kejahatan Luar Biasa (Extraordinary Cryme) yang sudah sangat fatal di Negeri ini, sehingga dibutuhkan kolaborasi yang baik antara para penegak hokum untuk menindak tegas perbuatan keji ini.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Juliari Batubara sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos) Covid -- 19 yang diperuntukan bagi wilayah Jabodetabek (CNN, Senin 07/12/2020). Dengan ditetapkannya Menteri Sosial sebagai tersangka, memunculkan berbagai macam spekulasi yang datang dari  banyak kalangan. Satu hal yang sangat familiar terhadap kasus ini adalah "Hukuman Mati" dengan melihat perbuatan itu dilakukan pada saat  kondisi negara dilanda Corona Virus Disease (Covid-19). Oleh karena itu lalu kemudian wacana hukuman mati terhadap Juliari Batubara menjadi sangat viral, hal itupun sejalan dengan pernyataan Ketua KPK Firli Bahuri terkait hukuman mati bagi siapa yang mencoba korupsi dana covid-19 pada beberapa bulan lalu. Namun sebagai orang hokum tentu tidak dapat menerima begitu saja wacana yang bergulir. Melalui tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk mari secara saksama kita dalami secara hokum apakah wacana hukuman mati itu dapat diterapkan terhadap kasus ini.

Pada umunya pidana mati dalam Hukum Pidana (Strafrecht) Indonesia dapat kita jumpai dalam ketentuan Pasal 10 angka (1) dan (2) KUHP yang mengatur mengenai Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Merujuk pada pasal tersebut tentu pidana mati dapat diterapkan apabila memenuhi unsur -- unsur suatu pasal. Kaitannya dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Batubara, sebagaiamana kita ketahui sebelumnya bahwa dalam penetapan tersangka KPK menggunakan (Lex Specialis) Pasal 12 huruf a dan b UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimana ancaman maksimalnya adalah hukuman seumur hidup. Sementara itu pasal yang mengandung pidana mati bukanlah Pasal 12 melainkan Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor yang berbunyi "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."  Pemahaman frasa "keadaan tertentu" dapat kita jumpai dalam penjelasan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor bahwa "Yang dimaksud dengan "Keadaan Tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter". Yang perlu kita garis bawahi pada unsur pasal tersebut adalah frasa "Bencana Alam Nasional". Sementara itu dalam KEPPRES Nomor. 12 Tahun 2020 yang pada intinya menetapkan Corona Virus Disease (Covid-19) sebagai bencana nasional akan tetapi frasanya adalah "Bencana Non-Alam Nasional". Dengan demikian, jika dihubungkan kedua frasa tersebut untuk membangun konstruksi hukum yang merujuk pada pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidaklah sinkron, dikarenakan keduamya memiliki perbedaan frasa, yang tentu akan sangat perpengaruh pada sebuah penafsiran hakim. Sedangkan jika kita pahami definisi bencana alam dalam UU Nomor. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana sebagaimana dituangkan dalam  Pasal 1 angka 2 memberikan definisi "Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor". Dekimikan jika dihubungkan dengan KEPPRES Nomor. 12 Tahun 2020, maka jelas jauh dalam rumusan pasal atau sangat tidak sinkron karena KEPPRES tersebut menetapkan Corona Virus Desease (Covid-19) sebagai bencana non-alam, sehingga terhadap kasus ini tidak mungkin dikenakan Hukuman mati kepada Mensos Juliari Batubara. Artinya bahwa ada pembatasan oleh UU ruang gerak penegak hukum terhadap kasus ini. Kendatipun demikian, bagi penulis tidak menutup kemungkinan diterapkannya hukuman mati bagi Mensos Juliari, hal itu akan tergantung pada objektivitas, penafsiran, serta kebijaksanaan hakim. Dengan demikian maka patut kita menunggu Putusan Hakim yang seadil -- adilnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun