Cerpen | Bersungut-Sungut dan Kemenangan Paskah
 "Patang apa kamu kali ini?" tanya kakekku ketika aku mau puasa empat puluh hari.  Aku tidak segera menjawab. Sebenarnya sudah kurancang bahwa puasa tahun ini aku hanya akan makan sekali dalam sehari. Menu makanan pun tidak boleh kuistimewakan. Aku akan makan di sore hari dengan menu seperti biasa saat sebelum puasa. Namun, demi pertanyaan kakek itu, aku memutar pikiranku kembali.
"Bagaimana?" Kakek meminta aku menjawab.
"Em, iya, Kek!"
"Iya, apa?"
Aku benar-benar tak diberi waktu untuk mematangkan rancangan puasaku. Untung saja tiba-tiba melintas pencerahan di pikiran. Ya, aku akan membuang sungut-sunggut yang sering keluar dari mulut. Puasa kali ini aku bertekad tidak bersunggut-sungut. Tentu saja puasa yang sekadar perut tetap aku lakukan. Jadi, tahun ini target puasaku menahan makan dua kali dalam sehari dan menahan bersungut-sungut sepanjang waktu.
"Iya, ya, ya, bagus. Itu bagus," kata kakek, tampak puas setelah aku memberikan penjelasan tentang target puasaku.
***
Seminggu berjalan, tak ada yang perlu kurisaukan. Setiap hari, aku bekerja seperti biasa. Hampir tak ada kawan yang tahu bahwa aku berpuasa. Siang hari saat istirahat, aku sering cepat-cepat meninggalkan ruangan sekadar mencari tempat tersembunyi. Kadang di perpustakaan, kadang di ruang kesehatan yang tak digunakan, kadang di tepi kolam belakang kantor  yang jarang dikunjungi teman-teman.
Di tempat itu aku berdiam sekadar merefleksi diri. Aku juga berdoa di waktu istirahat yang hanya sesaat. Sore hari saat magrib, saya baru makan dengan menu seperti biasa. Seadanya  menu apa pun yang disediakan oleh ibuku.