Kapan dan di mana pun kita berkomunitas termasuk di dunia maya seperti di Kompasiana sebaiknya kita lakukan secara sehat.
 Pengakuan  Pribadi
Hari ini, tepat satu bulan saya numpang berkomunitas di Kompasiana jilid 2 (21 Mei -- 20 Juni 2020). Jilid 1 juga satu bulan di tahun 2018.Â
Pada mulanya, saya mimiliki 2 tujuan ber-Kompasiana.
Pertama, membaca artikel-artikel yang disajikan. Tentu saya hanya membaca artikel yang saya suka. Atau artikel yang sebenarnya tidak saya sukai tetapi artikel itu terus menggoda. Muara dari saya membaca yaitu mendapatkan kenikmatan. Maklum saya tidak terlalu suka gaya membaca kilat. Selain mendapatkan kenikmatan edukatif, saya berharap mendapatkan tambahan pengetahuan.
Kedua, tujuan saya ber- Kompasiana yaitu bisa ikut memajang tulisan. Tentu saya akan selektif dalam menayangkan tulisan. Dengan penuh tahu diri, hanya akan menayangkan tulisan-tulisan yang saya anggap berfungsi. Maaf ini hanya perhitungan pribadi.
Hanya dua itu tujuan semula saya ber-Kompasiana.
Fenomena Perjalanan Ber-Kompasiana
Berdasarkan tujuan awal yang saya canangkan tersebut, maka atas keluguan saya atau saya juga rela seandainya dikatakan atas kedunguan saya, berpuluh-puluh artikel saya baca dan saya nikmati tanpa meninggalkan jejak sepatah kata pun di kolom komentar pembaca. Memberikan nilai pun, tidak. Betul-betul kurang ajar saya itu!
Beberapa kali menulis juga begitu! Tidak saya perhatikan dibaca atau diabaikan orang, diberi nilai atau tidak, atau dikomentari sesama di komunitas Kompasiana tidak saya perhatikan. Pokoknya katrok!
Saya pun tidak tahu maksudnya, ketika artikel berjudul "Siswa SD Tidak Bisa Membaca TIdak Masalah Asal Gemar Membaca,"  juga artikel "Anak Main Gawai, Memang Gue Pikirin!" ada lagi artikel "Gizi Tulisan Bergantung Asupan Baca" dan cerpen "Menikmati Gronjalan Hidup" beruntun tiba-tiba ditayangkan di layar depan Kompasiana.Â
Belakangan setelah ada surat terbuka buat Kompasiana yang isinya agak-agak hangat, saya baru tahu kalau itu Artikel Utama atau HL. Lah, sedungu itu! Memang.