Burung koak (Philemon buceroides ) merupakan salah satu spesies burung yang tersebar di bagian timur Indonesia termasuk Timor, Nusa Tenggara Timur.
Salah satu ciri khas burung koak adalah kicaunya yang berbunyi "koak, koak" atau "kikok koak". Suara burung koak rada-rada serak dan nyaring. Suara burung koak dewasa bisa terdengar dari radius ratusan meter.
Burung koak habitatnya di hutan dan kadang muncul di pemukiman di sekitar hutan. Bulu di sekitar dada dan perutnya berwarna putih.
Dulu pada tahun 90-an hampir setiap saat burung koak selalu mampir ke pohon-pohon besar di sekitar rumah kami yang dekat hutan. Burung koak bertengger di pohon dan berkicau "koak, koak" atau "kikok koak". Burung ini kadang muncul seekor saja atau dua ekor dan saling bersahutan dengan kicaunya.
Saat ada pohon yang memasuki musim berbunga, burung koak selalu datang dan sepertinya memakan bagian dari bunga tersebut.
Kalau dulu ada burung koak yang berkicau, saya kadang berteriak meniru burung koak tersebut. Burung pun seolah menyahut saya berkali-kali dengan suara koaknya.
Keberadaan burung koak di Timor rupanya menjadi inspirasi orang zaman dulu dalam menciptakan syair lagu.Â
Dalam sebuah syair lagu yang mengiringi tarian Bonet di Kabupaten Timor Tengah Selatan ada lirik yang berbunyi, "Kolo koa o he, kolo nemat kolo. Tebes lo kolo koa". Artinya burung koak yang datang memang burung. Betul burung koak.
Sejak beberapa tahun terakhir ini saya tidak lagi mendengar kicau burung koak di hutan dekat rumah kami. Suara burung koak dari kejauhan pun tidak saya dengar lagi.
Pada suatu pagi dan sore hari saya iseng pergi ke tempat yang agak pedalaman untuk mencari suara burung koak. Ternyata di pedalaman tersebut juga tidak saya dengar suara burung koak padahal dulunya suara burung koak sering ramai.
Mengapa burung koak sudah tidak kedengaran lagi? Ah, mungkin burung koak sudah punah. Sejak dulu burung koak merupakan salah satu jenis burung yang menjadi target buruan untuk tujuan konsumsi, pelihara atau jual.
Ukuran burung koak cukup besar sehingga dagingnya juga lumayan untuk menjadi lauk. Banyak orang yang menggunakan senapan angin berpeluru gotri untuk menembak koak.
Burung koak juga memiliki nilai jual sehingga orang berusaha menjerat untuk menjualnya. Di tepi jalan trans Timor dulu ada saja orang menjual burung koak hasil jeratan dalam sangkarnya. Pasti karena perburuan inilah yang menyebabkan burung koak tidak kedengaran lagi.
Sewaktu menelusuri tentang burung koak di internet, saya hanya bisa melihat burung koak dalam potret. Saat mengklik beberapa video burung koak saya pun akhirnya bisa mendengar kicaunya lagi.
Burung yang dahulu saya bisa lihat dan dengar di dunia nyata kini saya hanya bisa lihat dan dengar di dunia maya. Mendengar rekaman kicau koak yang khas seolah memasuki lorong waktu ke masa lalu di tahun 90-an saat burung koak masih banyak bersileweran.
"Koak, koak, kikok koak, kikok koak...!!!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H