Mohon tunggu...
Imanudin Abdurohman
Imanudin Abdurohman Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis amatir

Dunia dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kerusuhan Prancis: Antara Rasisme yang Mengakar dan Propaganda Non-Rasial

5 Juli 2023   15:21 Diperbarui: 2 Mei 2024   20:04 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pinterest/Vice Magazine @vicemag

Kerusuhan di Prancis masih berlangsung dan semakin meluas hingga Rabu, 5 Juli 2023, buntut peristiwa penembakan seorang polisi terhadap remaja bernama Nahel Merzouk (17) pada Selasa, 27 Juni 2023 kemarin di Nanterre. Kerusuhan terbesar yang belum pernah ada di Prancis ini disebut-sebut juga sebagai buntut dari masalah rasisme yang masih kuat di negara tersebut.

Akibat peristiwa tersebut, amukan warga di Nanterre, Prancis, tak terelakkan. Tak banyak dari ribuan demonstran yang turun ke jalanan itu ada yang membakar mobil, merusak fasilitas umum, menjarah sejumlah toko, hingga terlibat aksi bentrok dengan pihak keamanan setempat.

Untuk meredam aksi kekerasan semakin meluas di wilayah Prancis, pihak keamanan pun sempat menerjunkan hingga 40.000 lebih personil untuk mengamankan aksi unjuk rasa serta dilaporkan telah menangkap lebihd ari 1.300 orang.

Meskipun ribuan personil keamanan telah diterjunkan ke beberapa titik di Prancis, nyatanya aksi unjuk rasa itu justru semakin menyebar ke beberapa kota besar di Prancis seperti di Paris dan Marseille. Unjuk rasa itu berlangsung sejak Rabu, 28 Juni hingga awal bulan Juli 2023.

Kerusuhan Prancis yang berlarut ini sempat mengingatkan masyarakat Prancis terhadap peristiwa kelam di tahun 2005 silam dimana bentrokan besar pecah setelah kejadian serupa yakni penembakan oknum kepolisian menewaskan dua warga sipil. Kejadian tersebut akhirnya menghantui Prancis karena pemicu kerusuhannya hampir sama.

Terlebih, di tengah kerusuhan di Prancis terbaru ini, ketegangan antara pihak kepolisian dengan kaum muda di proyek perumahan dan lingkungan di wilayah tersebut terbilang masih tinggi, tak heran jika akhirnya banyak isu yang menyebutkan bahwa pemicu kerusuhan itu bukan hanya karena kematian Nahel Merzouk, melainkan akibat rasisme yang sudah sangat mengakar hingga ketegangan pihak kepolisian dengan warga sipil yang tak jarang memicu keributan.

Kendati tingkat kekerasan akibat penembakan remaja berusia 17 tahun itu dikabarkan semakin menurun dari hari ke hari, namun isu rasisme di Prancis hingga kini masih jadi bahan perdebatan publik dunia.

Baca juga: Puisi: Analogi Rasa

Kerusuhan Prancis Budaya Kolonial yang Mengakar?

Isu rasisme yang mengakar di Prancis ini sempat menyita perhatian Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang menyalahkan "rasisme institusional" serta masa lalu kolonial Prancis yang diduga kuat menjadi penyebab kerusuhan itu semakin meluas dan menjadi yang terbesar dalam sejarah kerusuhan di Prancis dalam beberapa dekade terakhir ini.

Erdogan juga melalui sebuah pernyataannya menyinggung soal "Islamofobia" yang disebut-sebut juga menjadi salah satu pemicu kerusuhan Prancis. Hal itu didasarkan Erdogan pada masa lalu kolonial di negara tersebut.

Selain itu, dugaan isu rasisme juga diperkuat setelah Nahel Merzouk yang merupakan warga Prancis keturunan Aljazair menjadi korban penembakan, di samping rasisme terhadap keturunan Asia dan Arab masih tinggi di Prancis.

Mengutip DW, Prancis merupakan salah satu negara yang memiliki kekuatan kolonial terbesar di Eropa. Sejak abad ke-16 hingga tahun 1970-an, para pemimpinnya memiliki kepercayaan bahwa "misi peradaban" mereka dibenarkan untuk mengeksploitasi negara dan wilayah di seluruh dunia secara paksa.

Jauh sebelum itu, di masa revolusi Prancis sekitar tahun 1789, sempat ada perjanjian untuk memberikan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan bagi semua pria di Prancis. Sayangnya, kehidupan di masa itu selalu digeluti dengan penindasan, ditambah pria dan wanitanya dipaksa untuk "berasimilasi" dengan budaya dan bahasa Prancis.

Kaitan rasisme di Prancis dengan penembakan Nahel Merzouk yang merupakan keturunan Aljazair, dibayangi oleh Prancis di masa kolonial sekitar tahun 1839 sempat menjajah pertama kali ke negara Afrika Utara, yakni Aljazair.

Namun Aljazair sempat berhasil merebut kembali kemerdekaannya, meskipun akhirnya memicu perang brutal yang menewaskan hingga ribuan jiwa dan menyebabkan kekuasaan kembali pada Prancis di tahun 1962.

Salah satu peristiwa rasisme di masa kolonial itu yang pada akhirnya masih melekat di ingatan sebagian warga Prancis dan publik dunia. Terlebih, isu-isu rasisme di Prancis ini tidak hanya disokong oleh berbagai spekulasi belaka, melainkan sejumlah fakta yang kerap terjadi di lingkungan sosial Prancis seperti penembakan Nahel dan penembakan dua warga sipil di tahun 2005 silam.

Spekulasi rasisme di Prancis ini semakin diperkuat oleh sebuah studi yang dilakukan oleh ombudsman hak asasi manusia Prancis yang menyatakan bahwa pria muda yang dianggap berkulit hitam atau Arab memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar untuk dihentikan oleh kepolisian Prancis.

Propaganda Citra Non-Rasisme Prancis

Mengutip Qantara, di tengah gempuran isu rasisme yang menjadi pemicu kerusuhan di Prancis baru-baru ini, pemerintah Prancis terus menggemborkan bahwa negara tersebut merupakan salah satu negara yang menolak rasisme atau non-rasisme.

Selain itu, pemerintah Prancis juga sudah memberikan bantahannya terhadap tuduhan PBB yang menyebut aksi penembakan terhadap Nahel itu merupakan aksi rasial. Kementerian Luar Negeri Prancis melalui sebuah pernyataannya menegaskan bahwa tuduhan isu rasisme atau diskriminasi sistemik apa pun di kepolisian Prancis sama sekali tidak memilki dasar apapun.

Pemerintah Prancis juga mengklaim bahwa komitmen negara tersebut dan kepolisiannya untuk melawan rasisme serta diskriminasi tidak dapat diragukan lagi, atau diartikan sudah jelas menentang perlakuan tersebut, meskipun dari beberapa kasus yang terjadi isu rasisme selalu ikut terseret.

Kendati demikian, kebenaran peristiwa penembakan polisi terhadap remaja bernama Nahel Merzouk (17) ini berakar dari isu rasisme hingga berujung kerusuhan besar belum bisa dibenarkan sepenuhnya karena belum ada bukti penguat spekulasi tersebut meskipun terdapat beberapa kasus yang hampir sama berkaitan dengan rasisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun