Mohon tunggu...
Jurnalis Bertasbih
Jurnalis Bertasbih Mohon Tunggu... Jurnalis - Kemuliaan Hidup bukan hanya sekedar rutinitas namun bagaimana bisa mermanfaat bagi umat manusia dan alam semesta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kemuliaan hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hutan dan Tanah Adat Dikuasai Perusahaan Sawit di Pasangkayu, Sulawesi Barat

4 April 2024   21:48 Diperbarui: 4 April 2024   22:05 2331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawasan hutan dan Lahan adat warga Desa Ako di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat seluas 748 hektar dikuasai sebuah perusahaan kelapa sawit. Kondisi ini menyebabkan warga setempat yang menggarap lahan tersebut selama bertahun-tahun kehilangan areal hutan yang selama ini menjadi sumber penghasilan mereka. Bahkan sebagian besar para petani yang berdomisili dalam kawasan hutan adat tersebut tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani Mata Air Tomogo tersebut sempat mendapatkan legalitas di tahun 2012 lalu oleh Ketua DPRD Kabupaten Pasangkayu saat itu.

Atas perjuangan masyarakat dan para aktivis petani, dari lahan 748 hektar kini telah dikembalikan 200 hektar ke masyarakat. Hingga saat ini masih ada sekitar 548 hektar yang masih dalam penguasaan pihak perusahaan. Dari sini rentetan panjang konflik agraria di Kabupaten Pasangkayu semakin massif terjadi yang berakibat kriminalisasi petani terus terjadi yang mana seharusnya pihak pemerintah daerah dengan bijak harus turun tangan menyelesaikan konflik yang sudah bertahun-tahun lamanya.

Dikutip dari zonasatunews (11/10/23), Panggo seorang tokoh adat setempat yang sempat merasakan kekecewaaannya dan menyaksikan tindakan atas perbuatan pihak perusahaan  PT Pasangkayu sejak pertama kali datang di Bumi Pasangkayu.

"PT Pasangkayu tidak hanya merampas tanah masyarakat, tetapi juga melakukan penggusuran makam leluhur masyarakat setempat, serta merusak atau menggusur bangunan gereja milik masyarakat pada saat itu", kata Panggo.

Selain itu, Panggo mengungkapkan tidak ada persetujuan dengan kami awal masuknya PT Pasangkayu. Jangan ambil kalau bukan hakmu,".

Belum lagi keterangan dari tokoh-tokoh masyarakat disana bahwa PT Pasangkayu diduga telah melakukan beberapa pelanggaran dari sekian banyaknya pelanggaran yang di duga di lakukan dan itu sudah masuk dalam perbuatan melawan hukum.

Sementara itu Ketua Gapoktan Mata Air Tomogo, Syarifuddin Ligo (56) yang juga salah satu tokoh masyarakat setempat Syarifuddin mengatakan, warga Desa Ako dan sekitarnya di Kabupaten Pasangkayu terus terang sangat bergantung pada lahan adat sebagai tempat berkebun. Sekitar 95 persen warga Desa Ako hidup dari bertani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian dan perkebunan.

"Jika lahan tersebut tidak dikembalikan oleh pihak perusahaan, Kami sudah tidak lagi punya penghasilan karena hutan dan lahan adat menjadi sandaran hidup turun-temurun," ujar Ligo, Senin (25/3).

Ligo mengaku sejumlah areal di dalam hutan dan lahan adat sudah ditanami sawit oleh pihak perusahaan, sedangkan pohon-pohon milik masyarakat turun temurun seperti sagu, jeruk, coklat, pisang, dan beberapa tanaman yang berada di dalam hutan adat telah ditebangi perusahaan. Akibatnya, sejumlah petani yang sempat menggarap lahan tersebut kehilangan penghasilan per bulan dari hasil menjual sejumlah komoditas tersebut.

Saat awak media melakukan Investigasi langsung ke lapangan tepatnya di pos kehutanan yang juga di klaim kawasan hutan lindung Dinas Kehutanan Sulawesi Barat yang juga masuk dalam area kawasan areal hutan adat di Desa Ako, Senin lalu, sebagian hutan telah dirambah dengan melakukan penanaman kelapa sawit oleh salah satu anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL). Saat itu ditemukan beberapa karyawan dari perusahaan tersebut terlihat sedang melakukan kegiatan panen buah sawit dan tak jauh terlihat mobil truk milik perusahaan  yang sedang menunggu untuk mengangkut hasil tandan buah sawit yang selama ini dijaga oleh warga kelompok tani mata air tomogo.

Hutan tanah adat yang digunakan sebagai lahan garapan selain menjadi sumber penghidupan warga di Desa Ako dan beberapa Desa lainnya, hutan adat yang di dalamnya terdapat aliran sungai-sungai kecil juga menjadi sumber air bagi warga setempat yang bermukim didalam kawasan untuk berkebun dan bercocok tanam. Kini, aliran sungai tersebut terlihat menjadi keruh dipenuhi berbagai limbah buangan yang diduga kuat dari perusahaan.

Dalam catatan sejak tahun 1990, Hutan Lahan adat diduga diserobot perusahaan padat modal ekstraaktif perkebunan kelapa sawit PT Pasangkayu  (AAL Group). tercatat salah satu perusahaan kelapa sawit yang berkonflik dengan masyarakat, sejak itu, wilayah Kelola masyarakat seluas 748 hektar, turut dikuasai. Padahal sesuai aturan Menteri Kehutanan saat itu, seharusnya Wilayah Kelola masyarakat dikecualikan dalam proses pengalihan hutan produksi itu.

Kemudian, pada tahun 2000 an perusahaan itu mulai melakukan ekspansinya dengan merambah lahan adat yang masih berupa hutan berisi pohon sagu, pohon rotan, jeruk dan sebagainya. Warga Desa Ako melalui Gapoktan Mata Air Tomogo dibawah pimpinan Syarifuddin Ligo sudah melaporkan hal ini pihak Pemda Pasangkayu, DPRD Pasangkayu, Pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat. Namun, hingga saat ini belum ada respon yang positif. Dan beberapa jejaring organisasi masyarakat sipil yang concern dalam penguatan organisasi petani dan lingkungan serta hak asasi manusia dalam waktu dekat akan melaporkan persoalan ini ke Kepolisian Daerah Sulawesi Barat, Gubernur Sulawesi Barat bahkan ke tingkat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ATR/ Pertanahan serta Komnas HAM.  

Lahan Adat yang diserobot PT Pasangkayu sudah sekian puluh tahun lalu jadi sengketa yang berujung konflik yang menyebakan sejumlah petani diintimidasi dan dikriminalisasi secara terus menerus tanpa ada solusi sebab warga Desa Ako dan sekitarnya menganggap areal itu adalah sebuah kawasan hutan adat mereka. Klaim lahan adat tersebut sebagian besar warga Desa Ako yang meminta dan mendesak agar Pemerintah Kabupaten Pasangkayu dengan bijak segera membentuk tim penetapan tapal batas areal kawasan hutan adat untuk menyelesaikan sengketa itu.

Menurut Sadewa, sebelumnya perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi sebelumnya saat pembukaan hutan adat yang akan digunakan untuk ekspansi lahan perkebunan sawit. Dengan bermodalkan surat izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) dari Pemda Pasangkayu saat itu, perusahaan membabat hutan adat tanpa memperdulikan protes warga.

CDO PT Pasangkayu, Juanda saat dikonfirmasi melalui whatsapp-nya siang tadi mengenai hal tersebut dan hingga berita ini ditayangkan belum memberikan tanggapannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun