Hutan tanah adat yang digunakan sebagai lahan garapan selain menjadi sumber penghidupan warga di Desa Ako dan beberapa Desa lainnya, hutan adat yang di dalamnya terdapat aliran sungai-sungai kecil juga menjadi sumber air bagi warga setempat yang bermukim didalam kawasan untuk berkebun dan bercocok tanam. Kini, aliran sungai tersebut terlihat menjadi keruh dipenuhi berbagai limbah buangan yang diduga kuat dari perusahaan.
Dalam catatan sejak tahun 1990, Hutan Lahan adat diduga diserobot perusahaan padat modal ekstraaktif perkebunan kelapa sawit PT Pasangkayu  (AAL Group). tercatat salah satu perusahaan kelapa sawit yang berkonflik dengan masyarakat, sejak itu, wilayah Kelola masyarakat seluas 748 hektar, turut dikuasai. Padahal sesuai aturan Menteri Kehutanan saat itu, seharusnya Wilayah Kelola masyarakat dikecualikan dalam proses pengalihan hutan produksi itu.
Kemudian, pada tahun 2000 an perusahaan itu mulai melakukan ekspansinya dengan merambah lahan adat yang masih berupa hutan berisi pohon sagu, pohon rotan, jeruk dan sebagainya. Warga Desa Ako melalui Gapoktan Mata Air Tomogo dibawah pimpinan Syarifuddin Ligo sudah melaporkan hal ini pihak Pemda Pasangkayu, DPRD Pasangkayu, Pihak Kejaksaan Tinggi Sulawesi Barat. Namun, hingga saat ini belum ada respon yang positif. Dan beberapa jejaring organisasi masyarakat sipil yang concern dalam penguatan organisasi petani dan lingkungan serta hak asasi manusia dalam waktu dekat akan melaporkan persoalan ini ke Kepolisian Daerah Sulawesi Barat, Gubernur Sulawesi Barat bahkan ke tingkat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian ATR/ Pertanahan serta Komnas HAM. Â
Lahan Adat yang diserobot PT Pasangkayu sudah sekian puluh tahun lalu jadi sengketa yang berujung konflik yang menyebakan sejumlah petani diintimidasi dan dikriminalisasi secara terus menerus tanpa ada solusi sebab warga Desa Ako dan sekitarnya menganggap areal itu adalah sebuah kawasan hutan adat mereka. Klaim lahan adat tersebut sebagian besar warga Desa Ako yang meminta dan mendesak agar Pemerintah Kabupaten Pasangkayu dengan bijak segera membentuk tim penetapan tapal batas areal kawasan hutan adat untuk menyelesaikan sengketa itu.
Menurut Sadewa, sebelumnya perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi sebelumnya saat pembukaan hutan adat yang akan digunakan untuk ekspansi lahan perkebunan sawit. Dengan bermodalkan surat izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) dari Pemda Pasangkayu saat itu, perusahaan membabat hutan adat tanpa memperdulikan protes warga.
CDO PT Pasangkayu, Juanda saat dikonfirmasi melalui whatsapp-nya siang tadi mengenai hal tersebut dan hingga berita ini ditayangkan belum memberikan tanggapannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H