Pagi itu langit di kawasan Sudiang terlihat sedikit berawan. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh meraung di udara seiring kemudian terlihat jarak radius sangat dekat pesawat Garuda Indonesia turun mendarat. Begitulah seterusnya. Berjalan melintasi Jalan Laikang Sudiang menggunakan sepeda motor harus mengurangi kecepatan karena jalannya rusak parah. Sudah tiga tahun belum ada perbaikan. Hiruk-pikuk warga terlihat di situ. Para petani terlihat bekerja menyiangi sawahnya dari tanaman gulma. Anak-anak sekolah SLTP dan SLTA terlihat berkumpul di depan sekolahnya. Di perempatan jalan beberapa tukang ojek duduk berbicang di pangkalannya. Tak lama kemudian, terdengar kembali suara gemuruh pesawat yang lagi hendak mendarat. Itulah potret kehidupan warga Laikang Sudiang, kota Makassar yang hanya beberapa meter dari permukiman mereka bersebelahan dengan salah satu bandara terbesar di Kawasan timur Indonesia.
Kira-kira 500 meter, telihat pagar pembatas mengelilingi kawasan bandara sebagai batas antara tanah milik warga dengan area Bandara Internasional Sultan Hasanuddin. Sebagian besar tanah warga di area ini sudah dibebaskan. Ketika kita melongok ke arah dalam dari batas pagar, terlihat kemegahan bandara berkelas internasional yang dikelola langsung oleh PT. Angkasa Pura 1.
Sejak resmi beroperasi tahun 2006 lalu, berada di dalam terminal bandara memang terbilang megah dengan berbagai fasilitas layanan penumpang yang serbalengkap. Dengan jarak 30 km dari pusat Kota Makassar – ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, kita sudah tiba di bandara yang dibangun dengan klasifikasi internasional kelas A “Airport Classification-A”.
Naik ke lantai dua bandara dengan menggunakan eskalator, menuju ruang tunggu keberangkatan domestik terdiri dari gate 1 hingga gate 6, terlihat berjejer restoran cepat saji, kafe, toko pakaian, anjungan ATM – mata memandang ke arah landasan apron dari ruang tunggu tersebut, terlihat pesawat keluar masuk, apron—ada yang take off dan landing. Bandara internasional ini dilengkapi 6 garbarata dan rencananya akan ditambah lagi menjadi 6 garbarata sehingga menjadi 12 garbarata untuk persiapan penerbangan internasional.
Menurut General Manager PT Angkasa Pura I Cabang Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, Rachman Syafrie, ada lima bandara di Indonesia yang disiapkan menjadi world class airport, satu di antaranya Bandara Internasional Sultan Hasanuddin (sumber: tribun-timur.makassar 11 mei 2013).
Bayangkan saja, bandara internasional sekelas Sultan Hasanuddin ini akan diperhitungkan menjadi world class airport, adalah sebuah keniscayaan. Belum lagi dengan kapasitas penumpang per tahun melayani 7,5 juta penumpang, dan saat ini sudah mencapai 9,3 juta penumpang ditambah 88.553 pesawat keluar masuk dan 68.828 ton kargo,” ungkap Prof. Sakti Adji Adisasmita, Ph.D Guru Besar Teknik Sipil Unhas.
Namun Ironinya, hingga detik ini meski terus melakukan pembangunan, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin yang dibangun di atas lahan seluas 817,532 Ha dan akan dijadikan world class airport city tersebut ternyata masih menyisakan sejumlah persoalan sosial bagi warga yang ada di sekitarnya, salah satunya adalah pembebasan lahan.
Dari hasil investigasi kompasianer di lapangan, dan beberapa sumber data yang ada ditemukan bahwa sejak pembebasan lahan dalam pembangunan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin, masih terdapat 17 ahli waris kepala keluarga, yakni total 10 hektar yang belum terbayar haknya dalam pembebasan lahan tersebut. Salah satunya adalah H. Kulle Binti Basolo (70) warga Desa Makkaraeng Kota Makassar.
Ketika Kompasianer melakukan penelusuran, masih banyak warga yang belum mau menerima ganti rugi. Alasannya pembayaran yang dilakukan oleh tim Aprasial serta P2T yang diketuai oleh Kepala Kantor BPN Maros ini tidak sesuai yang telah disepakati bersama warga pada tahun 2015 lalu.
"Kesepakatannya saat itu adalah untuk tanah lahan kering pembayaran diberikan sebesar Rp1,3 juta/meter, sedangkan tanah lahan basah sebesar Rp800 ribu/meter. Kami tetap akan menolak jika pembayaran untuk lahan basah dan kering tidak sesuai dengan yang telah disepakati bersama, dan kami telah dibuat berita acaranya untuk menuntut PT. Angkasa Pura I," ungkap beberapa warga saat dikonfirmasi, Selasa (21/6/16) di Maros dan beberapa warga yang masih berada dalam wilayah Kota Makassar tepatnya di Laikang yang tanahnya sudah dibebaskan bandara, namun hingga saat ini belum ada kabar soal pembayaran haknya.
Selanjutnya masih ditemui persoalan sosial lainnya. Masih terdapat warga miskin di sekitar kawasan bandara. Beberapa kepala keluarga (KK) yang sebagian besar adalah petani harus merangkap menjadi tukang ojek pangkalan. Mereka mengambil keputusan itu tak lain adalah untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Daeng Ewa (62), salah seorang seorang petani penggarap, tatkala musim tanam tiba, ia bersama petani lainnya bekerja di sawah garapannya. Bisa dimaklumi, para petani di sini rata-rata menanam padi untuk kebutuhan memenuhi kebutuhan berasnya sendiri. Mereka adalah para petani subsisten. Setelah mengurus sawahnya, siang hari ia menuju pulang untuk melanjutkan bekerja sebagai tukang ojek pangkalan.
“Selain bertani menanam padi, jika masih ada waktu saya bekerja menjadi tukang ojek, ini harus saya lakukan karena masih ada anak saya yang butuh biaya untuk sekolah,” ujar Daeng Ewa.
“Sebenarnya kami warga di sini ada semacam pemberitahuan dari Angkasa Pura soal kebisingan yang kami alami setiap hari, setidaknya pihak bandara mempertimbangkan hal ini,” ungkap Daeng Dullah.
Senada dengan hal tersebut, Edo (46) Ketua RT di Perumahan Polda Laikang Sudiang mengatakan bahwa sejak kami tinggal di perumahan ini, suara kebisingan lalu lalang pesawat baik landing dan take off adalah menjadi biasa bagi kami. Namun, pernah ada warga saya ketika pesawat melintas hendak mendarat tiba-tiba atap seng rumahnya beterbangan sebagian,” ungkap Edo.
Juga beberapa fasilitas budaya (Balla Karaeng) dan mesjid serta fasilitas pendidikan yang ada di sekitar bandara yang belum sepenuhnya mendapat perhatian, seperti halnya jalan poros Laikang arah Balla Karaeng, jalan samping bandara menuju Maros masih berlubang dan ketika hujan turun air akan menggenangi jalan tersebut.
Seharusnya, dana CSR yang digelontorkan Angkasa Pura 1 itu betul-betul diperuntukkan untuk tanggung jawab sosialnya menyejahterakan masyarakat dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Pihak Angkasa Pura harus mengidentifikasi soal warga sekitar bandara yang memerlukan bantuan sosial. Banyak anak-anak putus sekolah tak punya biaya seharusnya bisa mendapatkan beasiswa, orang tua jompo, juga soal kesehatan masyarakat seperti tingkat kebisingan bagi warga dan atap rumah warga yang pernah rusak akibat lalu lintas pesawat.
Tak lepas dari perhatian Angkasa Pura adalah warga yang mata pencariannya adalah petani. Data yang ada, tidak semua petani yang bermukim di sekitar bandara terhimpun dalam anggota kelompok tani. Sebagian petani ada yang masuk dalam wilayah Kota Makassar dan sebagian masuk wilayah Kab. Maros. Rata-rata akses mereka serba terbatas seperti akses modal, sarana dan prasarana, benih, pupuk dan alat mesin pertanian. Tak sedikit dari mereka yang hanya berpendidikan sekolah dasar bekerja sebagai petani penggarap dan menjadi penggembala ternak sapi dan kerbau.
Aktivis petani yang membidangi advokasi petani melihat adanya disparitas pembangunan dan perluasan kawasan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dengan kemiskinan petani yang ada di sekitarnya. “Pihak Angkasa Pura dengan tanggung jawab sosialnya sesuai peraturan undang-undang BUMN yang berlaku seharusnya ikut serta memperhatikan nasib para petani yang masih banyak hidup dalam kemiskinan, minimal upaya untuk membantu mereka dalam hal modal, untuk membeli benih, pupuk atau hand traktor,” ujar Ikbal salah seorang aktivis petani center Sulsel.
Di akhir ulasan ini, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin terus melakukan pembagunan dengan masih membutuhkan lahan seluas minimal 2.000 Ha dan anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 12 triliun, anggaran yang berasal dari APBN dan APBD sebagian dari investor asing sudah termasuk anggaran pembangunan perhotelan, convention exhibition, shopping area, theme park, finance area, dan rumah sakit yang saling terintegrasi komprehensif dan multimoda.
Yang jelas, Bandara Internasional Sultan Hasanudin Makassar menjadi airport class city sudah di depan mata adalah sebuah keniscayaan dan merupakan aset daerah Kota Makassar dan pemerintah Provinsi Sulsel khususnya, yang patut dibanggakan, namun kebanggaan itu seharusnya sejalan tanggung jawab sosial perusahaan untuk kesejahteraan masyarakat dan lingkungan yang ada di sekitranya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H