[caption id="attachment_216909" align="alignright" width="300" caption="salimah (38) wanita tani yang berharap penuh dengan usaha ternak sapinya bisa membawa perbaikan ekonomi keluarganya (foto Imansyah Rukka)"][/caption] Senja mulai merayapi Desa Bonto Daeng, Kecamatan Ulu Ere, Kab. Bantaeng – Sulsel, Jumat (05/10) petang. Hawa dingin yang disertai kabut juga mulai terlihat menyelimuti alam Desa tersebut. Terlihat beberapa petani baik laki dan perempuan serta anak-anak menggiring ternak sapinya yang habis digembalakan sejak siang menuju kandang kolektif yang memang sengaja mereka buat sebagai wadah kelompok dan memudahkan pengontrolan.
Suara canda tawa mereka menghangatkan hawa dingin yang kian menusuk tulang. Suasana itu saban hari rutin terlihat di Desa Bonto Daeng, yang berdekatan dengan kawasan wisata loka, Bantaeng, Sulawesi Selatan. Gambaran khas desa pertanian dan peternakan yang merupakan mata pencaharian utama masyarakat di dataran tinggi bukit sapa bintoeng, Bantaeng utara.
Bagi petani, bercocok tanam dan beternak sapi merupakan tumpuan hidup dalam memperbaiki taraf hidup mereka. untuk itu, seluruh anggota keluarga terlibat di dalam usaha taninya. “Biasanya yang mencari pakan rumput selain bapak, paman saya. Kalau ibu membersihkan kandang dan memberi pakan. Kadang saya juga ikut membantu membawa paka rumput gajah dan memberi pakan sapi”, tutur Hikmah (19), perempuan anak petani di desa Bonto Daeng.
Daeng Nyanrang (60) yang telah sekitar 20 tahun bergantung hidup dari petani kebun dan peternak sapi tradisional mengatakan, memelihara sapi memang harus memiliki keterampilan disamping harus tekun dalam merawatnya hingga berkembang biak dan bisa melahirkan anak setiap tahun.
Daeng Nyanrang yang merupakan anggota kelompok tani ternak “Bukit sapa bintoeng” ini, semula hanya memiliki 2 ekor sapi betina diberikan pemerintah melalui program bantuan sosial pada 2011. Berkat ketekunannya, ia kini memiliki empat ekor sapi, dua hektar kebun, dan bisa menyekolahkan anak. Untuk mendapatkan ternak sehat, Daeng Nyanrang sangat memperhatikan pakan dan kebersihan ternak serta kandangnya. Pakan sapi potong yang ia pelihara adalah hijauan rumput gajah. Untungnya ia tidak repot memikirkan ketersediaan pakan rumput gajah ini apalagi membeli, karena banyak lahan yang masih terlantar di perbukitan ditanami rumput gajah yang mirip pohon tebuh tersebut.
[caption id="attachment_216895" align="aligncenter" width="300" caption="Hawa sejuk Desa Ulu Ere (foto Imansyah Rukka)"]
[caption id="attachment_216897" align="aligncenter" width="300" caption="Kelmompo ternak sapi "]
[caption id="attachment_216898" align="aligncenter" width="300" caption="Daeng Nyanrang (60) salah seorang petani yang giat dalam memelihara sapinya agar berkembang dan bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya (Foto Imansyah Rukka)"]
[caption id="attachment_216899" align="aligncenter" width="300" caption="Ternak sapi bali jumlah 32 ekor milik kelompok ternak "]
Jika seekor sapinya yang induk bisa melahirkan anak setiap tahun saja, penghasilan Daeng Nyanrang dalam menghidupi ekonomi keluarganya bisa tercukupi dalam beberapa tahun ke depan, setidaknya Daeng Nyanrang bisa menjual ternak sapinya jika saatnya tiba per ekor Rp. 7-8 juta di umur 1.5 tahun. Nilai ekonomi yang terbilang lumayan bagi ukuran seorang petani.
“Asal rajin dan ditekuni, dari memelihara sapi bisa buat menabung, kalau ada teman peternak tidak juga bisa berkembang biasanya karena malas memelihara pedetnya (anak sapi). Padahal, memelihara pedet sama saja kita menabung,” tutur Daeng Nyanrang.
Sentra Pengembangan Sapi
Sejak 20 tahun lalu, Desa Bonto Daeng sudah menjadi salah satu sentra pengembangan ternak sapi potong di Kab. Bantaeng. Kepala Bidang Peternakan, Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Bantaeng, Rita S. Pasamenyebutkan, sejak awal tahun 1990-an, sapi-sapi jenis bali unggul mulai didatangkan dari Mataram, Lombok, yang dikenal sebagai “bumi sejuta sapi” di Prop. NTB.
Di Desa Bonto Daeng pemeliharaan sapi yang dilakukan petani pengelolaanya umumnya masih tradisional. Sentuhan teknologi belum sepenuhnya dirasakan oleh sebagian petani yang rata-rata berpendidikan yang sangat rendah. Meski diantara mereka sudah pernah dilatih inseminasi buatan atau kawin suntik, namun mereka umumnya mengawinkan ternaknya secara alami (nature mating).
Sejak dua tahun terakhir ini, para petani dengan skala pemilikan ternak sapinya dua sampai empat ekor menyatukan diri dengan merintis kelompok tani ternak “bukit sapa bintoeng” agar mereka mampu menjalani aktifitas mereka dengan solid seperti tujuan mereka ini maju secara bersama dalam wadah kelompok.
Ketua Kelompok tani ternak “bukit sapa bintoeng” mengatakan, populasi sapi milik anggota bertambah dari 32 ekor pada tahun 2011, menjadi 35 ekor. 2 ekor diantaranya adalah sapi jantan atau pemacek yang siap melayani sapi betina jika ada yang berahi untuk dilakukan perkawinan alam. Demikian halnya, dengan luas hamparan rumput gajah. Saat ini petani yang tergabung dalam kelompok ternak secara bergotong royong membudidayakan rumput gajah untuk persediaan sepanjang tahun.
Secercah Harapan
Walau begitu, geliat peternakan sapi potong di dataran tinggi loka yang dikelola kelompok ternak bukannya tak meninggalkan persoalan lingkungan. Jumlah populasi sapi yang ada di Kec. Ulu Ere mencapai 5.000 ekor ternyata belum dibarengi dengan manajamen pengelolaan limbah yang memadai. Keterbatasan lahan dan kurangnya bimbingan dan arahan dari Dinas peternakan setempat menyebabkan para petani ternak berpikir pendek dan membuangnya begitu saja ke aliran sungai tanpa diolah.
[caption id="attachment_216900" align="aligncenter" width="300" caption="Daeng Yusuf (38) salah seorang petani ternak yang penuh harap agar usaha kelompok ternaknya bisa terus mendapat perhatian dari pihak pemerintah (foto Imansyah Rukka)"]
[caption id="attachment_216910" align="aligncenter" width="300" caption="keterampilan mereka yang turun menurun belum dimaksimalkan dengan SDM dan teknologi yg memadai, sehingga performance ternak masih terlihat kurus (foto Imansyah Rukka)"]
Padahal jika limbah ternak sapi ini jika dikelola akan mendatangkan nilai tambah dan keuntungan buat petani. “pernah ada penyuluhan dan pelatihan yang dilenggarkan pihak Dinas Peternakan untuk pembuatan biogas dari limbah kotoran sapi, tapi hingga saat ini belum ada lagi kelanjutannya, bagaimanapun kami selalu siap dan tetap menunggu uluran tangan pemerintah,” ujar Daeng Yusuf salah seorang petani ternak yang sedang memberikan pakan ternak sapinya di dalam kandang kolektif.
Selain pengelolaan limbah, petani juga didera persoalan penyakit sapi yang tak kunjung redah. Sudah 3 ekor sapi dalam 5 bulan terkahir. Ternak sapi yang mati tersebut biasanya terindikasi penyakit kembung perut dan bali sekte, namun pihak Dinas peternakan setempat belum pernah menindak lanjuti secara maksimal. Meski tenaga dokter hewan dan tenaga teknis sudah cukup tersedia di wilayah Kec. Ulu Ere. Jika hal tersebut terus dibiarkan, petani akan mengamali kerugian ekonomis yang tidak sedikit. Sandaran mereka dari pemeliharaan ternak sapi tersebut sangat besar.
Lain halnya dengan Salimah (35), janda beranak dua ini, penuh harap bahwa dengan kepemilikan 2 ekor sapi bali betina yang ia dapatkan dari bantuan kelompoknya, bisa terus melahirkan anak tanpa halangan. “saya dengar ada teknologi inseminasi buatan (kawin suntik) yang diprakarsai oleh Dinas setempat lengkap dengan tenaga inseminatornya, semestinya teknolgi tersebut sudah harus menyentuh sapi betina yang kami pelihara sehingga bisa cepat bunting tanpa menunggu kawin alam”, bayangkan saja jika setiap tahun melahirkan satu ekor anak , otomatis perkembangan populasi di Desa ini juga semakin cepat, ditambah lagi dengan andalan petani dari pemeliharaan sapi ini sebagai sumber pendapatan keluarga,” terang Suking yang juga merupakan sekertaris kelompok ternak bukit sapa bintoeng kepada kompasianer.
Sementara itu, Plt LSM Petani Center, Bantaeng Jabal Nur mengakui, peran dan fungsi peternakan yang ada di Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Bantaeng maupun di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sulsel belum sepenuhnya bisa mengakomodir para petani ternak di pedesaan, mereka belum memiliki road map yang jelas, buktinya program pencanangan 2 juta ekor sapi yang diluncurkan pemerintah propinsi sulsel belum menjadikan petanu sebagai subjek dalam pengembangan populasi sapi yang berujung tingkat kesejahteraan mereka masih rendah.
“Satu-satunya jalan yakni dengan mengoptimalkan pendampingan teknis dari pihak Dinas peternakan setempat. Bantuan permodalan dan teknis adalah solusi terbaik yang secara nyata bisa mendorong petani ternak menuju kemandirian”. Ada secercah asa dan harapan yang ada dalam benak petani dalam memelihara sapinya, yang mau tak mau harus dibuktikan dari berbagai program pemerintah yang telah digelontorkan selama ini”, Ujarnya. (IR)
[caption id="attachment_216902" align="aligncenter" width="300" caption="kematian ternak sapi di bonto daeng kerap masih terjadi sehingga peternak tetap waspada krn bisa mengakibatkan kerugian ekonomi (foto Imansyah Rukka)"]
[caption id="attachment_216904" align="aligncenter" width="300" caption="membersihkan kandang ternak adalah rutinitas warga desa bonto daeng (foto Imansyah Rukka)"]
[caption id="attachment_216905" align="aligncenter" width="300" caption="perlunya pendampingan teknis bagi petani karena sebagian mereka masih memelihara sapi secara tradisional (foto Imansyah Rukka)"]
[caption id="attachment_216907" align="aligncenter" width="300" caption="Senja temaram di Desa Bonto Daeng memberikan pesan bahwa ada secercah asa dan harapan petani ketika yang tergambar dari sang surya yang hendak tenggelam menuju peraduannya (foto Imansyah Rukka)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H