Mohon tunggu...
Imansyah Rukka
Imansyah Rukka Mohon Tunggu... Jurnalis - Kemuliaan Hidup bukan hanya sekedar rutinitas namun bagaimana bisa mermanfaat bagi umat manusia dan alam semesta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ketua Persatuan Pewarta Warga Indonesia - PPWI Sulawesi Selatan -- Jurnalis Koran Sergap, (sergapreborn.id), Jendela Indo News (Jendelaindo.com).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kearifan Lokal Seorang Petani Menyikapi Ancaman Kemarau Panjang

23 September 2011   09:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 1243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_136922" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (Sumber: Shutterstock)"][/caption] [caption id="attachment_136884" align="aligncenter" width="300" caption="Daeng Sangkala salah seorang petani di Jeneponto, menyikapi kemarau panjang dengan sebuah karifan lokal (Imansyah Rukka)"][/caption] Siang itu panas terik matahari intensitasnya terasa begitu menyengat  disertai dengan tiupan angin yang begitu terasa kencang bercampur debu menghempas kemana-mana, termasuk mobil angkutan umum yang saya tumpangi. Sudah 2 jam lebih lamanya perjalanan menuju sebuah perkampungan yakni Desa Baroanging, tepatnya di wilayah Kecamatan Bangkala, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan. Sejauh mata lepas memandang nampak terlihat hamparan areal persawahan yang kering kerontang dan tandus sangat mungkin disebabkan bahwa curah hujan di Desa ini sangat minim. Seperti inilah kondisi kemarau panjang yang melanda hampir sebagaian wilayah khususnya Kabupaten Jeneponto. Bagi warga di Daerah ini, kemarau adalah bukan sesuatu yang baru bagi mereka. Meski sebagian besar penduduk desa ini menggantungkan hidupnya disektor pertanian seperti ; padi, jagung dan beberapa tanaman palawija lainnya. Namun, istimewanya berkunjung ke Desa ini kita bisa melihat secara langsung realitas kehidupan salah seorang petani di Desa ini dalam menyikapi persoalan dampak kemarau yang selama ini menjadi penghambat dalam kegiatan usahataninya.

Sebut saja Daeng Sangkala (47) begitu sapaannya sehari-hari. Ia adalah salah seorang Ketua Kelompok Tani di desanya. Sejak pagi tadi, ia sudah berada di lahan garapan sawahnya yang sebentar lagi akan ditanami jagung. Ia sengaja beralih dari tanaman padi ke tanaman semusim seperti jagung karena ia berpikir jagung sangat cocok dengan kondisi wilayah daerahnya yang kekurangan air. Bisa dimaklumi bahwa daerah ini telah lama dilanda kemarau yang berkepanjangan. Sehingga wajarlah jika Daeng Sangkala bersama teman-teman petani lainnya memulai menanam jagung yang memang tidak membutuhkan banyak air.

[caption id="attachment_136891" align="aligncenter" width="300" caption="Daeng Sangkala telah memberikan sebuah keteladanan karifan lokal kepada petani lainnya dalam menyikapi ancaman kemarau di desanya (imansyah rukka)"][/caption]

“ Petani disini sudah terbiasa dengan kondisi alam seperti ini,siapa yang tak kenal Jeneponto dengan kekeringannya sepanjang tahun”. Ungkap Daeng Sangkala dengan logat khas Makassarnya.

Ia melanjutkan, apakah dengan begini kita sebagai manusia harus pasrah kepada alam?”, padahal manusia itu sudah diberikan kelebihan oleh Allah, untuk dikelola dan dimanfaatkan sebaik mungkin termasuk ketika kita mengolah sebuah lahan pertanian untuk ditanami yang bisa berguna bagi orang banyak”. Jelasnya dengan nada semangat.

Kita ambil perumpamaan bahwa, taruhlah saya bersama teman-teman petani lain telah selesai melakukan penamaman lantas hujan tak juga turun dan debit air terus kekurangan, apakah kita harus pasrah begitu saja dengan alam?”. Subhanallah”....saya rasa tidak seperti itu jika orang yang selalu bersandar kepada Allah. Ada hal-hal yang harus kita sikapi dan lakukan dalam menghadapi persoalan seperti itu”. Terang Daeng Sangkala

Bagi saya pribadi yang telah bergelut sebagai seorang petani selama 40 tahun harus arif dan bijaksana dalam menyikapi kemarau panjang ini. Sering saya dengar pemerintah berkata, ini semua karena faktor alam:, itu benar dan tak salah. Hanya bagaimana menyikapinya jika hanya berpangku tangan melihat para petani terus menerus dilanda keterpurukan. Meski kenyataannya seperti itu jelas sangat menghambat dan mengganggu produksi dan produktifitas usahatani yang kita jalani. Namun itulah tantangannya !” Ya setelah beriktiar dengan melakukan usaha tani dengan benar sesuai dengan kaidah alam. Setelah itu paling saya bersandar utuh dengan perbayak istigfar dan zikrullah”. Dan kalau bisa sholat wajib 5 waktu ditambah bangun tengah malam untuk Tahajjud, sudah itu kita lihat hasilnya bagaimana”. Tandas Daeng Sangkala yang juga lulusan Sarjana Agama ini.

[caption id="attachment_136886" align="aligncenter" width="300" caption="Kabupaten Jeneponto Sulsel, sejak lama kering kerontang akibat kemarau panjang (imansyah rukka)"][/caption]

Malah terkadang usai melakukan sholat Tahajjud jam 2 malam, saya bergegas ke kebun yang sudah saya tanami jagung untuk duduk bertafakkur di rumah yang sengaja saya buat untuk beristirahat. Disitu saya menenangkan diri seraya meminta kepada Allah agar hujan bisa turun membasahi lahan pertanian ini.”. Berzikir adalah sudah menjadi kebiasaan dan keseharian saya. Juga salah satu perjuangan saya untuk selalu untuk membersihkan diri dari segara noda-noda negatif yang ada dalam diri dan juga yang ada disekeliling kita. Apabila kita rajin membersihkan dan mensucikan diri kita, maka apa yang kita usahakan dan mohon kepada Tuhan, Insya Allah akan terkabul”. Jelas Daeng Sangkala Panjang Lebar.

Secara Humaniora, apa yang diungkap dan dijelaskan panjang lebar oleh Daeng Sangkala itu ada benarnya. Dan fakta dilapangan membuktikan bahwa antara manusia dan alam adalah dua interaksi yang saling tarik menarik. Jika manusia memberikan efek positif kepada lingkungan alam sekitarnya, maka interaksi positif itu berbalik atau alam semesta memberikan respon positif itu. Selang beberapa hari setelah Daeng Sangkala melakukan interaksi tersebut siang malam dan usai sholat, selang beberapa hari hujan pun turun dengan deras membasahi semua bumi yang ada termasuk lahan-lahan petani lainnya yang sudah lama tak diguyur hujan. Padahal selama ini desa tersebut dan beberapa desa lainnya yang masih berada di wilayah Kabupaten Jeneponto sudah lama hujan tak pernah turun.

Menurut data Dinas Pertanian Kabupaten Jeneponto yang saya kutip dari Biro Humas Jeneponto, mengatakan sebanyak 83 Desa yang telah dilanda kekeringan bahkan gagal panen tersebar di sebelas kecamatan di Jeneponto. Kecamatan tersebut antara lain; Kecamatan Bangkala Barat, Bangkala, Tamalatea, Bontoramba, Arungkeke, Tarowang, Batang, Kelara, Rumbia, Turatea dan Binamu. Rata-rata lahan yang kering akibat kekurangan air menyebabkan tanaman padi warga desa tidak bisa tumbuh. Bahkan, struktur tanah di areal persawahan banyak yang retak.

[caption id="attachment_136887" align="aligncenter" width="300" caption="Lahan pertanian Daeng Sangkala setelah dibasahi hujan yang beberapa hari lalu (Imansyah R)"][/caption]

[caption id="attachment_136888" align="aligncenter" width="300" caption="Data Dinas Pertanian Jeneponto, 126 ribu hektar lahan di daerah ini mengalami gagal panen akibat kemarau panjang (imansyah rukka)"][/caption]

Diskusi siang itu masih berlangsung sambil saya memperlihatkan data tersebut kepada Daeng Sangkala yang juga aktif di organisasi KTNA. Sambil tersenyum, ia lantas ia memberikan jawaban yang sangat bijak namun tegas.

“Kemarau panjang yang melanda daerah ini dan beberapa wilayah di seluruh tanah air adalah tidak lepas dari sikap para pengambil kebijakan taruhlah pemimpin dan elit politik yang melahirkan sebuah kebijakan yang tidak tepat di sektor pertanian. Kendati perubahan dan evolusi alam saat ini memang sudah terjadi dimana-manabahkan di seluruh belahan dunia, namun semua itu tetap ada pemicunya. Jika saja kita paham sinyal seperti ini, sangat baik untuk intropeksi diri untuk melangkah. Hanya kebanyakan manusia, hal-hal yang kecil sudah tidak diperdulikan lagi. Kepekaan-kepekaan nurani mereka sudah sirna tertutupi oleh nafsu dan angan-angan bahkan perencanaan yang muluk-muluk”, jelasnya.

Kembalikan Kearifan Lokal

Menelisik jauh dengan apa yang di jelaskan oleh Daeng Sangkala sangat bisa dibuktikan secara logika bahkan dengan topangan-topangan ilmiah sekalipun. Seperti halnya warisan-warisan para leluhur kita dalam bercocok tanam serta menjunjung etika alam sudah tidak di pakai lagi sebagai adat etika dan kebiasaan masyarakat yang seharusnya terus dilestarikan. Padahal para pendahulu-pendahulu kita sangat menjaga dan melestarikan alam ini agar generasi sesudahnya bisa melanjutkan dan mengolahnya dengan baik dan penuh kesantunan. Namun hal tersebut disia-siakan begitu saja. Upaya penerapan berbagai teknologi dan inovasi dikerahkan semata hanya  untuk meng-eksploitasi sumberdaya alam demi meraup nilai keuntungan sebanyak mungkin. Contohnya yang paling jelas,  penggunaan pupuk dan obat-obatan kimia pada lahan pertanian yang melebihi dosis sangat tidak toleran dengan tanah dan air. Asupan-asupan kimia itulah yang dalam jangka panjang menyebabkan lahan pertanian kita sudah rusak parah. Akhirnya struktur dan tekstur tanah sudah tidak bisa lagi menyimpanair, dengan begitu ketika hujan datang air pun merembes dan meluap kemana-mana sehingga menyebabkan banjir. Giliran kemarau datang, semuanya kelimpungan,  mereka tidak sadar bahwa semua itu akibat dari ulah kita sendiri".  Imbuhnya dengan nada kecewa.

Melihat kondisi geografis dan sosiologis Kabupaten Jeneponto yang berjarak 95 km arah selatan Kota Makassar ini terkenal dengan daerah yang sangat kering dan tandus. Meski dibeberapa kecamatan masih ada yang terlihat masih subur, namun Kabupaten yang terkenal dengan julukan Bumi Turatea” dengan jumlah penduduk 342.242 jiwa (Data sensus Kab. Jeneponto 2010) tetap saja terkenal dengan kekeringannya. Dari jumlah panduduk itu, sebanyak 80 persen menggantungkan hidupnya sebagai petani. Karakter masyarakat Kabupaten Jeneponto terkenal dengan istilah “Pa’bambangang natolo” yang diartikan “cepat panas tanpa perhitungan” .

Konsekwensi logis diatas menunjukkan bahwa ternyata ada korelasi yang sangat kuat antara kondisi alam dengan karakter warganya jika dikaitkan dengan pola hidup mereka dalam bercocok tanam. Terlebih lagi jika angka-angka itu di kaitkan dengan metode kaidah-kaidah alam yang sering di praktekkan oleh Daeng Sangkala. Sebagian besar masyarakat di Jeneponto ini bisa meningkatkan kesejahteraannya melalui bertani yang ramah kepada alam. Bayangkan saja, luas lahan persawahan yang mengalami kekeringan di Kabupaten Jeneponto mencapai 126 ribu hektare. Luar biasa keuntungan dan tingkat kesejahteraan petani jika aplikasi yang diterapkan oleh Daeng Sangkala bisa sepenuhnya di adopsi.

Meski informasi yang saya dengar bahwa saat ini pemerintah daerah setempat sedang melakukan pendataan kepada para petani yang mengalami gagal panen dan akan mengganti kerugian petani dengan mengganti bibit yang mereka tanam. Namun bagi Daeng Sangkala, persoalan klasiknya bukan disitu.

“Bagaimana Negara kita mengeluarkan sebuah kebijakan yang benar-benar tepat untuk para petani. Berikanlah petani kebebasan untuk memilih apa yang cocok dengan kondisi lahan mereka. Jika padi yang cocok masa mau ditanami jagung atau sayur-sayuran”? Dan kesalahan kebijakan pemerintah dimasa lalu adalah kebijakan yang sentralistik. Dengan dicanangkannya program revolusi hijau untuk mendongkrak produktifitas padi dengan mewajibkan para petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida kimia : baik itu urea, KCL dan TSP. Fakta dilapangan menunjukkan bahwa dengan kebijakan itu produktifitas padi mengalami peningkatan secara signifikan. Bahkan kita sempat mencapai swasembada beras di tahun 1984. Jelas Daeng Sangkala

Namun, dalam perjalanannya. Ternyata kebijakan tersebut bukannya mempertahankan produktifitas padi dalam negeri kita. Malah sebaliknya terjadi penurunan produktifitas lahan yang sangat drastis. Saat ini para petani dimana-mana, sangat tergantung dengan yang namanya “Urea”. Jika urea langka dipasaran, petani seakan-akan ngambek dan tak mau menanam lagi. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa “urea” itu adalah Tuhan bagi mereka”. Sehingga ketergantungan akan pupuk kimia tersebut sangat kuat dan tak bisa dihindarkan. Padahal jika ditelisik jauh ke dalam, justru itulah salah satu akar peyebab masalah kemarau panjang dan kekeringan yang melanda negeri yang terbilang agraris ini.

Yang terakhir, Daeng Sangkala yang mengenakan pakaian khas petaninya dengan capingnya di kepala penuh harap bahwa "perlunya pemerintah memikirkan kembali konsep pertanian ramah lingkungan yang pernah dilakukan oleh para nenek moyang kita. Sebuah kearifan lokal yang turun temurun yang harus selalu dijaga dan dilestarikan. Begitu kaya negeri ini jika dimanfaatkan seefisien mungkin seluruh sumberdaya daya pertanian yang ada disekeliling kita. Kembalikan kehabitatnya semula dengan kearifan lokal tadi. Musim kemarau yang berkepanjangan jelas memberikan dampak sosial dan ekonomi yang tidak sedikit buat petani  dengan tetap memperhatikan kaidah-kaidah alam. Dan yang paling penting adalah bagaiamana kita sebagai manusia ciptaan Allah senantiasa selalu untuk mengingatNya baik itu disaat kita sedang bertani. Karena terus terang, hujan yang sempat turun Desa Baroanging Kecamatan Bangkala 3 hari lalu dan baru saja redah pagi tadi adalah sebuah respon alam kepada kita sebagai bentuk interaksi agar kita selalu menghormati alam dengan penuh kesadaran tinggi”. Ujarnya.

Itulah sebuah realitas yang saya angkat dari perjalanan ekspedisi saya sebagai seorang aktifis petani, bagaimana sebuah kearifan lokal secara positif sangat bernilai dimata petani dan alam sekitarnya ketika ancaman kemarau panjang sangat berdampak buruk terhadap sektor pertanian kita khususnya yang terjadi dibeberapa wilayah di Sulsel. Seorang petani seperti Daeng Sangkala yang sengaja saya temui di Desanya telah memberikan gambaran bagaimana ia menyikapi ancaman kemarau panjang dengan sebuah sentuhan kearifan lokal yang telah berlangsung turun temurun dari leluhurnya.  ***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun