“Papa!” kapan pulang ke Jakarta?”.. “Kan Diba rindu sama Papa”, ga ada yang temanin Diba belajar?” juga adik Ica dan Mama”, koq papa pergi terus gak pernah pulang-pulang ? Bukannya papa janji kemarin uda mau pulang ke Jakarta, tapi sampai hari ini belum pulang juga”. “Papa ga sayang sama Diba ya…?”, Imbuh Faradiba Tenriola Imansyah Rukka putri saya melalui telepon selluler. Saat ini ia berumur 7 Tahun yang selalu berkeluh kesah kepada Papanya dan adiknya berumur 1,6 tahun.Dalam percakapan saya melalui telepon, saya sebagai papanya hanya bisa menjawab, “Diba anakku sayang’, Papa masih ada urusan di Makassar nak”, sebentar lagi papa akan pulang jika semua urusan papa selesai”, “Papa juga rindu sama Diba, sabar ya Nak”, jangan lupa selalu berdoa pada Allah supaya papa diberi kesehatan dan kekuatan”. Insya Allah kita bisa berkumpul kembali bersama”.
Itulah konsekwensi hidup yang saya alami sebagai seorang aktifis NGO yang saban hari jauh meninggalkan mereka. Sangat dilematis memang !. Disatu sisi , sebagai seorang aktifis NGO mau tidak mau harus konsisten dalam perjuangannya dalam membela para kaum tani dan keluarganya yang terus tertindas dari berbagai kebijakan yang selalu tak pernah berpihak kepada mereka. Namun disisi yang lain, eksistensi saya sebagai kepala Rumah Tangga idealnya harus selalu hadir berkumpul bersama istri dan anak-anak. Terkadang ada hari-hari penting yang sangat berarti buat mereka seperti hari ulang tahun putriku, liburan sekolah, yang seharusnya saya berada di tengah mereka, karena tugas di lapangan serta kondisi yang tidak memungkinkan terpaksa saya tidak bisa berada disamping mereka. Bahkan ketika diantara mereka ada yang sakit, dalam kondisi seperti itu mereka sangat membutuhkan kehadiran saya. Ada saat-saat tertentu mereka sangat membutuhkan pertolongan saya sebagai ayahnya. Saya bertanya kepada anak saya, apa itu nak? “Kalau Papa ada dirumah, Diba bisa belajar dengan tenang. Papa sering ajarin Diba, Papa selalu doakan diba. Diba sakit, papa temanin”.
Jawaban itu yang selalu mengusik saya sebagai seorang Ayah yang selalu meninggalkan mereka hingga berbulan-bulan lamanya. Semuanya itu saya lakukan bukan karena keterpaksaan namun sebuah tuntunan hidup dalam kemuliaan sebagai seorang pegiat NGO. Rasanya memang tak mudah berkiprah sebagai seorang aktifis sejati. Namun tak sulit bagi saya untuk melakukan sesuatu yang terbaik dalam hidup. Ketika anak saya yang telah duduk di kelas 2 SD itu selalu mengkritisi aktifitas saya. Dengan begitu saya harus membuktikan hal itu kepada mereka (istri dan anak-anak) bahwa apa yang saya lakukan selama ini adalah sebuah aktifitas sosial dan kepeduliaan kepada para petani kecil yang terus tertindas dalam sistem Negara yang tak berpihak kepada mereka. “Meskipun secara finansial tak begitu menjanjikan sebagai seorang aktifis seperti apa telah yang saya lakukan selama ini, tapi inilah bentuk manifestasi dan aktualisasi diri saya dalam memberikan kepedulian kepada sesama. “Marilah kita lakukan tanpa pamrih, apalagi membela hak-hak orang kecil”, lakukanlah dengan ikhlas tanpa berpikir hasilnya”. Insya Allah berkahnya tak terhitung nilainya”. Begitu yang saya jelaskan kepada istri dan anak-anak saya baik melalui telepon maupun disaat saya berkumpul kembali dengan mereka.
Melakukan upaya pemberdayaan kepada para petani kecil dan keluarganya adalah salah satu bentuk kepedulian kita kepada sesama. Ada nilai-nilai kepekaan dalam aktifitas itu. Dalam konteks rumah tangga, tak ada bedanya saya selaku kepala keluarga sekaligus pemimpin dalam Rumah Tangga dalam memberikan perlindungan dan tanggung jawab kepada istri dan anak-anak. Bahkan disitulah seharusnya terjadi keseimbangan yang nyata antara kepentingan pribadi, keluarga dan kepentingan orang banyak. Disinilah peran dan fungsi ganda bagaimana melaksanakan secara sungguh-sungguh. Konsekswensinya ya itu tadi saya harus bisa memberikan keseimbangan dan jujur sama diri sendiri. Terkait soal pemberdayaan petani mengandung terminologi yang sangat luas. Namun intinya adalah bagaimana mentransformasikan sebuah energi baru kepada para petani baik itu secara individu, kelompok dan organisasi petani yang ada agar terjadi perubahan secara signifikan. Dengan demikian, mereka bisa mempunyai posisi tawar yang kuat sekaligus menjadi subjek pembagunan di pedesaan. Sangat kompleks memang ketika melakukan kegiatan pemberdayaan (empowerment) khususnya bagi kaum tani yang selama ini termarjinalkan, karena banyak aspek yang saling terkait di dalamnya. Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah peran dari figur-figur pegiat NGO yang memfasilitasi kegiatan pemberdayaan tersebut.
[caption id="attachment_74725" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama petani adalah konsistensi sebuah rutinitas saya dalam melakukan pembinaan kepada mereka"][/caption]
[caption id="attachment_74726" align="aligncenter" width="300" caption=""]
Dalam melihat hal tersebut, saya hanya mau berbagi bahwa eksistensi seseorang yang merasa aktif di lembaga swadaya masyarakat atau LSM adalah setidaknya harus menampilkan sikap dan pemikiran yang jauh ke depan (visioner). Begitupula kepribadian serta talentanya harus tercermin dalam setiap aktifitasnya. Yang paling mendasar adalah memiliki keberanian yang tak tanggung-tanggung dalam menyelesaikan semua persoalan secara jernih dan dapat mengambil keputusan secara cepat dan tepat tanpa ada yang dirugikan. Di saat banyaknya persoalan yang dihadapi oleh para petani, sikap integritasdan loyalitas seperti inilah yang dibutuhkan seseorang yang berkecimpung dalam pejuang petani menentukan masa depan dirinya sendiri dan lembaga yang ia jalankan. Disinilah letak sulitnya seorang yang benar-benar ingin tulus dan ikhlas ingin memperjuangkan kaum tani. Malah tak jarang ada cemohan yang di lontarkan kepada saya seperti : “Apa untungnya memperjuangkan petani, toh Negara ini sudah parah”, mending cari kerjaan lain deh”. Bahkan ada juga yang secara langsung mengkritik saya dengan kalimat “mustinya kamu sudah hidup mapan bro, saya lihat dari 4 tahun lalu sejak kamu off dari World Bank Group hidup kamu tidak berubah, begitu gitu saja”, jadi apa yang kamu dapatkan selama ini?”.
Berbagai macam cemohan, kritikan dan pernyataan miring sering saya hadapi dalam sebagai seorang aktifis petani. Maklum memang teman-teman dan kerabat saya kebanyakan adalah kaum tani tulen. Meskipun status sosial mereka sangat beragam tapi setidaknya dengan keberadaan lembaga yang menghimpun mereka, semua itu mereka akan menjadi satu. Ohya, tak jarang pula ketika saya melakukan advokasi soal konflik di sengketa lahan petani terkait reformasi agraria, secara nyata ada semacam intimidasi teror yang sempat saya alami. Baik itu memantau aktifitas saya dimana saya berada maupun di sekertariat LSM saya selalu di intai oleh orang-orang tak di kenal. Dan jujur saja, saya juga pernah menjadi sasaran target operasi alias TO dari Intelijen di wilayah Sulawesi Selatan bahkan nasional. Tetapi semua itu saya tepis dengan mengatakan secara tegas bahwa “Saya sebagai pemimpin di LSM yang memperjuangkan petani, tetap mengacu kepada NKRI dan lembaga saya berazaskan Pancasila dan UUD 1945”. (Kan sangat jelas di AD dan ART Lembaga saya). Manifestasi dari nilai-nilai perjuangan saya membela kaum tani agar kesejahteraan dan keadilan sosial dapat terwujud, sangat jelas tertuang dalam Dasar Negara itu serta Konstitusi UUD 1945.
Sebagai seorang aktifis sejati, ada sebuah refleksitas yang sangat urgen untuk bisa diadosi dalam aktifitas sehari-hari walaupun itu sangat pribadi, namun jika bermanfaat tak ada salahnya saya berbagi. filosofisnya begini, bahwa ada sebuah kesadaran jernih yang timbul dari dalam diri kita dalam mengemban sebuah perjuangan membela orang-orang kecil yang tertindas khususnya kaum tani. Kesadaran jernih ini merupakan kesadaran tertinggi seseorang dalam pencapaiannya mengenal dirinya sendiri. Sejauhmana ia bisa mengenal esensi dan eksistensinya sebagai manusia yang terlahir dimuka bumi ini. Apa fungsi dan perannya untuk dirinya, keluarganya, masyarakatnya dan entitas paling besar adalah lingkungan sekitarnya. Artinya, saya berada dalam sebuah entitas yang di dalamnya ada petani sebagai manusia, ada hewan, tumbuh-tumbuhan, tanah, air yang menjadi sebuah satu kesatuan ekosistem. Satu sama lainnya memberikan hubungan timbal balik. Dengan demikian, ketika kesadaran jernih atau kesadaran tertinggi tadi bisa kita temukan, maka titik keseimbangan yang sejatinya ada dalam diri kita dapat kita rasakan. Kebanyakan orang baik itu para pemimpin bangsa, elit politik, pegiat LSM tak menemukan titik ini. Padahal justru titik kesadaran inilah manusia bisa menemukan siapa jati dirinya yang sebenarnya. Inilah roh perjuangan saya sebagai pejuang petani yang konsisten dalam memperjuangkan petani. Urusan materi belakangan yang penting adalah bagaimana visi misi tersebut bisa tercapai.
Idealisme
Setahu saya seorang aktifis petani umumnya tidak mempunyai uang. Apalagi untuk pola hidup yang berlebihan. Kecuali mungkin dia memiliki unit bisnis usaha secara mandiri yang ia lakukan untuk dapat melangsungkan aktifitas lembaganya. Pengalaman saya untuk hal ini, kadang sangat memilukan. Sudah jauh meninggalkan istri dan anak-anak, finansial juga kadang pas-pasan. Dengan modal mental dan keteguhan menjalani aktifitas kelembagaan, suka tidak suka, saya harus menyikapi semua itu dengan daya juang yang kuat. Selama ini saya hanya bisa hidup dari beberapa honor tulisan di Koran. Itupun tak seberapa. Namun rezeki ada saja. Menyikapinya hal itu saya harus kreatif dalam melihat sebuah tantangan menjadi sebuah peluang. Banyak hal yang bisa dijadikan sumber-sumber ekonomi produktif bagi keberadaan lembaga. Seperti halnya kegiatan kerjasama dengan pemerintah bersama lembaga saya, dalam hal uji demplot penanaman padi pola SRI. Dari perlasanaan kegiatan itu kan jelas ada gaji yang tak seberapa nilainya namun bagi saya cukuplah untuk bisa survive. Bahkan kalau program ini berjalan secara berkelanjutan bagi petani, memberikan sebuah nilai tambah bagi lembaga.
Yang terpenting bagi saya adalah bekerja keras dahulu melakukan sesuatu yang terbaik bagi diri kita, buat lembaga dan tentunya bagi kaum tani yang merupakan prioritas utama dalam program kegiatan tersebut. Dengan sendirinya, akan membawa berkah tersendiri baik untuk diri kita, keluarga maupun alam di sekitar kita. Jika belum keliatan hasilnya ya harus sabar. Jangan mengambil jalan pintas yang akan merugikan diri sendiri juga buat orang banyak. Itu bukan idealisme namanya. Dalam dunia LSM, banyak contoh yang sering terjadi terkait hal ini. Awalnya masih murni yakni memberikan control sosial kepada pemerintah serta kebijakannya, bersuara dengan kritis, melakukan investigasi kasus korupsi. Dan melakukan verifikasi temuan-temuan data penyimpangan anggaran. Karena perut dalam keadaan kosong mau gimana lagi terpaksa data-data tersebut diganti dengan atur damai atau atur kedalam. Bagi saya hal ini bisa di maklumi, dan saya tidak ingin menyalahkan namun alangkah bagusnya jika kesempatan itu dijadikan sebuah peluang untuk mendapatkan program kegiatan yang bermanfaat sesuai dengan visi misi lembaganya. Banyak hal yang bisa dilakukan tanpa harus bertindak seperti itu. Program kegiatan yang berkelanjutan dan bermanfaat akan sangat memberikan sesuatu yang positif secara pribadi dan orang banyak. Tentunya citra kita juga menjadi lebih baik begitu juga lembaga kita.
Yang terakhir tak ada yang sulit untuk memulai semua itu jika di awali dengan nawaitu atau niat yang baik. Seperti kata-kata bijak “Jika sulit mudahkanlah, jika berat ringankanlah, jika dalam keluarkanlah, jika diatas turunkanlah serta jika jauh dekatkanlah”. Sepertinya kata bijak ini juga merupakan doa yang bisa di ejawantahkan dalam laku kita sehari. Malah saya dalam sebuah pertemuan petani di Kabupaten Pinrang beberapa waktu lalu, dalam pertemuan itu saya menjadi pembicara sekaligus pemandu acara mengatakan bahwa “ Saya sebagai pejuang aktifis petani, memang secara materi tak banyak yang bisa di diharapkan, namun lebih itu hanya Tuhan yang bisa memberikan penilaian sejaumana keikhlasan kita dalam memberikan yang terbaik dalam hidup ini dan orang lain”. Ini merupakan sebuah panggilan hati dari dalam diri saya, untuk selalu tetap berada di dalam jalan itu dan sepertinya di ujung jalan itu pun kita tak tahu apa yang akan kita temukan”. Ketika istri dan anak-anak saya selalu merindukan dan mengharapkan kehadiran saya di tengah mereka, maka saya secara totalitas diri saya kepada-Nya. Dialah Sang Maha Segalanya. Saya yakin, bahwa ketenangan dan kebahagiaan saya akan dapat dirasakan pula dengan istri dan anak-anak saya, begitupula dengan orang-orang yang berada dalam lingkaran saya yakni para petani dimanapun saya berada. Yang penting bagaimana konsistensi diri dalam menjalankan sebuah amanah dalam kehidupan sebagai seorang aktifis petani sejati bisa terus terjaga. Dengan begitu, “ Tuhan semesta alam mengetahui apa yang saya kerjakan dan Dia tak bisa berdusta apa yang saya sudah lakukan”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H