[caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Destruksi sistemik di sektor pertanian berdampak signifikan kepada kehidupan petani"][/caption]
Kaum tani adalah sebuah entitas dalam negara ini yang terus menerus terdegradasi oleh berbagai kebijakan. Fakta di lapangan tersebut menunjukkan bahwa kaum tani seakan-akan sengaja di jarah, di perdaya, di jerumuskan bahkan dihancurkan (systemic destruction) secara perlahan oleh segelintir kepentingan, berujung terjadinya marjinalisasi petani dan sektor pertanian secara luas. Pemerintah sebagai penentu kebijakan tidak pernah serius dan sungguh-sungguh untuk menunjukkan keberpihakannya kepada kaum tani. Sehingga terkesan membiarkan semua program kebijakan menjadi tidak terarah. Padahal, pembangunan pertanian tidak selalu menjadikan pembangunan manusia petani itu sendiri.
Pemerintah seharusnya mencermati sejarah jernih bahwa pembangunan pertanian harus diidentikkan dengan pembangunan manusia petani secara utuh. Artinya subjektifitas petani sebagai pelaku dalam bercocom tanam selayaknya diutamakan. Baik itu berupa kebijakan dan regulasi yang tepat dan terarah untuk mensejahterahkan mereka. Namun kenyataannya, dari sekian banyak program kebijakan yang di keluarkan oleh Departemen Pertanian hingga sampai ke desa, sebagian yang menikmati bukan petani. Malah petani menjadi korban kebijakan tersebut dan yang menikmatinya malah petani berdasi.
Kita ambil contoh yang sangat konkret di lapangan, sebut saja program kebijakan "Sekolah Lapang Pengendalian Tanaman Terpadu" (SL PTT), yang di gelontorkan oleh Deptan beberapa waktu lalu. Hemat saya, program ini sangat tepat namun saya katakan tidak terarah kepada sasaran yakni petani itu sendiri. Padahal program ini setelah saya pelajari pedoman teknisnya, sangat bagus untuk bisa mensejahterahkan petani, namun kenyataannya telah menyimpang jauh dari panduan tersebut. kebanyakan petani yang harusnya sebagai penerima manfaat program tersebut, tidak menikmati bahkan ada yang tidak mengetahui persis adanya program seperti itu. ini juga merupakan upaya destruksi melalui kebijakan yang tidak tepat pada sasaran.
Terkesan ada semacam pembodohan dalam kebijakan tersebut. Atau boleh saya katakan kebijakan tersebut tidak lebih dari "macan kertas" yang penting berjalan tanpa mengikuti mekanisme sesuai yang di cantumkan dalam pedoman teknis yang ada. Yang penting asal bapak senang. Atau proyek yang gelontorkan pemerintah biasa saya sebut dalam diskusi saya sesama teman aktifis NGO dengan istilah "asal bagi-baginya bagus !". Tidak salah lagi ketika berbagai program baik itu berupa bantuan kepada petani sebagian besar nilai manfaatnya tak dirasakan oleh sebagian besar petani. Yang seharusnya ditujukan oleh petani kecil, ternyata pelaksanaannya mereka hanya sekedar tanda tangan, selanjutnya proyek berjalan yang menikmati hanyalah petani yang tinggal di kota.
Itulah gambaran nyata "destruksi sistemik" yang terjadi dan menimpa petani kita. Sehingga sektor pertanian terus termarjinalkan. Beragam dampak dari pola kebijakan yang menyebabkan terjadinya destruksi tersebut. Dalam berbagai pengamatan yang saya temui di lapangan telah desruksi tersebut telah merambah ke sistem : sumber daya, sistem produksi, dan sistem pemasaran.
kebijakan yang salah arah dan tidak tepat menyebabkan destruksi sumber daya, sistem produksi, dan sistem pemasaran yang terus meluas besarannya menyebabkan akses, kontrol (monitorong dan evaluasi), dan partisipasi petani terhadap sektor pertanian mengalami penurunan. Demikian pula Deptan sampai tingkat Dinas di daerah semakin menunjukkan ketidak peduliannya akibat destruksi yang telah terjadi. Selanjutnya degradasi sumber daya yakni lahan, tanah, air, dan iklim akibat penghancuran dan pembabatan hutan serta buruknya implementasi rencana tata ruang oleh pemodal kuat dan pejabat dengan argumen devisa adalah ilustrasi konkret terjadinya destruksi sumber daya.
Akumulasi berbagai fakta tersebut saya temui di lapangan bahwa terkesan pemerintah selalu bersikap apriori dan acuh tak acuh, juga upaya penegakan hukum seakan mati suri dan masa bodoh, bahkan ironisnya beberapa oknum institusi penegak hukum justru menjadi beking untuk keuntungan sesaat. Juga yang tak kalah pentingnya menurunnya kapasitas tampung dan distribusi air daerah aliran sungai yang rendah menyebabkan air menjadi faktor pembatas pada sistem produksi pertanian. Penurunan produktifitas lahan pertanian dan luas panen, serta dampak dari anomali iklim yang berpengaruh secara langsung dengan curah hujan, kemarau I maupun kemarau II adalah merupakan destruksi sumber daya yang harus dicari solusinya
Destruksi sistemik tersebut semakin terakumulasi secara nyata dalam kehidupan petani. Sehingga wajar jika persoalan petani tidak pernah usai di negeri ini. Dengan demikian sebuah keniscayaan bahwa sektor pertanian tidak akan pernah memberikan kontribusi yang nyata untuk dalam pembangunan pertanian karena petani sebagai manusia tidak akan pernah mendapatkan kesejahteraan yang layak. Inilah sebuah kotak Pandora di negeri agraris ini. Jika desrtuksi terus melanda sektor pertanian yang berdampak negatif pada petani sebagai objek, saya yakin negeri agraris ini hanya tinggal cerita. Tak ada lagi kedaulatan pangan dan yang ada hanyalah kehancuran Bangsa. Untuk itu saya himbau secara tegas kepada Deptan agar segera lakukan recovery di berbagai sistem pertanian kita utamanya kebijakan mengenai pemberdayaan petani yang benar, cepat dan tepat sasaran. Sehingga berbagai kerusakan dan kehancuran yang semakin meluas dapat segera teratasi.***
salam petani.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H