Mohon tunggu...
Iman Suwongso
Iman Suwongso Mohon Tunggu... Penulis/Wartawan -

Ketika angin berhembus kutangkap jadi kata.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Anak Muda Menerjemahkan Tradisi

24 Agustus 2017   23:04 Diperbarui: 25 Agustus 2017   00:27 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Eko Hadi Wijaya, Foto: Ruly Handoyo

Anak muda, umumnya, sedang mencari jati dirinya. Mereka seperti perahu mungil di tengah samodra pasang. Perahu yang berusaha mengenali ceruk dan puncak-puncak gelombang. Gelombang itu akan menghantarkannya ke dermaga, atau menenggelamkan dalam dasar samodra masalah. Anak muda yang tahu di titik "koordinat" mana sedang berada, akan matang pada fase kehidupan berikutnya.

Eko Hadi Wijaya sedang menyadari titik koordinat itu. Ia bersama kawan-kawannya, yang tergabung dalam Hamur Nawak, di Tumpang, wilayah pinggir Kabupaten Malang, sedang bergulat dalam wilayah kultural tradisional yang berhimpitan dengan Suku Tengger. Masyarakat tradisional yang masih memiliki ciri-ciri saling menguatkan kebudayaanya berupa keguyuban, kerukunan, sastra lisan, mistis, dan magis.

Lingkungan trasional ia cecap menjadi awal proses kreatif. Pilihan kreatifnya adalah seni musik. Dalam bermain musik ekspresi yang muncul adalah tindakan dengan mengedepankan cerita-cerita kebaikan, dan berusaha memendam keburukan orang lain sekuat daya. Cerita tentang kemenangan nilai-nilai moral yang menjadi pembelaan pada manusia dan kemanusiaan mudah ditemukan.

Cerita tentang nilai-nilai yang amat menggantungkan diri pada alam dan gejala-gejalanya, yang di dalamnya menyimpan kekuatan-kekuatan supranatural nan magis. Karenanya mereka lebih memperhitungkan hidup dalam keselarasan. Manifestasi dalam hidup bermasyarakat tidak lain adalah menjaga kerukunan.

Ciri lain anak muda adalah jiwanya yang meledak-ledak. Maka tidak heran, kalau mereka memilih jenis musik semacam rock, menyukai dentuman-dentuman metalica. Atau, jenis-jenis musik yang tak umum, "melawan" arus, semacam avant-garde. Demikian halnya Eko, dia juga memilih ekspresi musik yang menggelegar, mungkin juga tidak umum.

Namun, saya anggap dia istimewa, ia mampu mengoplos musik "tidak umum" itu dengan seni yang bernilai tradisional. Beberapa waktu lalu, April 2017, ia bersama komunitas Hamur Nawak-nya, dan didukung Tilis Bunyian Ragam Hayati yang digawangi Wukir Suryadi telah melahirkan album "Potrojoyo". Album itu diluncurkan tanggal 23 April 2017 di pelataran parkir transit pendaki Gunung Semeru Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang.

Peluncuran, Foto: Ruly Handoyo
Peluncuran, Foto: Ruly Handoyo
Tajuk album, Potrojoyo, kata Eko memiliki makna, "potro (bahasa Jawa) berarti patrap yakni perilaku yang memiliki kesadaran, joyo berarti unggul." Potrojoyo merupaka nilai karakter manusia untuk memiliki perilaku yang unggul, didasari kesadaran jatidiri ditengah masyarakat yang berbudaya.

Simbol Potrojoyo ia ambil dari salah satu karakter topeng Malangan. Seni tradisional yang pernah berkembang di wilayah Malang dalam bentuk drama tari Panji. Drama tari ini dalam permainannya memakai topeng yang dilakonkan sesuai karakternya. Seni Topeng Malangan juga berkembang di wilayah Tumpang dan sekitarnya.

Nilai-nilai tradisi itu menjadi ruh album Potrojoyo, yang semua liriknya diciptakan Eko. Lirik-lirik yang diiring dengan irama dinamis, dan kerap menyayat-mengiris, terangkum dalam tujuh komposisi: Parikan Paseduluran, Aku Bukan Pembunuh Tunggul Ametung, Salam dari Tengger, Uro-Uro, Sesembahan, Ngaji Alam,dan Uluk-Uluk.

Mendengarkan album Potrojoyo judul demi judul, saya dibawa hanyut dalam dunia yang kontradiktif. Dunia kekinian dan dunia masa lalu, keramaian dan kesunyian, kemodernan elektrik dan tradisional, rasional dan magis. Dua dunia yang berbenturan yang menganyutkan dalam harmoni.

 Parikan Paseduluran menempatkan saya ditengah konser petikan dawai yang ditopang alat equalizer dan menggema di ruang telinga, tetapi menggiring imajinasi pada masa lalu, desa, dan tradisi parikan yang pernah sangat berkembang di daerah-daerah Jawa Timur.

Syairnya memberikan pesan tentang kekeluargaan, persaudaraan, dan keguyuban. Keselarasan hidup di tengah masyarakat yang beragam dapat dicapai dengan mengutamakan kebaikan. Kebenaran dipahami sebagai kebenaran kolektif sebagai titik temu relasi antar anggota masyarakat. Maka, mengingat adalah memancarkan kebaikan-kebaikan. Sing diiling-iling mung kebecikane,yang diingat-ingat hanya kebaikannya.

 

Awang-awang megane mendung

Trenggiling amba sisike

Tega nyawang ora tega nundung

Sing diiling-iling kebecikane

(Langit mendung

Trenggiling lebar sisiknya

Tega memandang tidak tega mengusir

Yang diingat-ingat kebaikannya)

 

Eko Hadi Wijaya, Foto: Ruly Handoyo
Eko Hadi Wijaya, Foto: Ruly Handoyo

Uro-Uro mengingatkan saya pada masa anak-anak, yang hidup di Jawa. Saat itu kerap dilakukan di ladang-ladang atau padang rumput ketika menggembala. Mereka sedang uro-uro, nggandang,berdendang untuk membunuh waktu. Lantunan berkumandang di tengah kesunyian padang, dan desir angin. Dendang menggema ditangkup kesunyian; menyayat dan mistis.

 Uro-Uromenyuguhi saya suasana itu. Dengan syair yang hanya mendendangkan dua kata: sekar gadung(bunga gadung).

Demikian halnya komposisi lainnya, sarat nilai tradisi. Saya menyaksikan, dalam kehidupan sehari-hari Eko, sejak kecil di tempatnya tinggal Dusun Glagahdowo Desa Pulundowo Kecamatan Tumpang Kabupaten Malang, berkembang kuat nilai-nilai tradisi itu.

Komunitas Eko, Foto: Ruly Handoyo
Komunitas Eko, Foto: Ruly Handoyo
Dalam lingkungan terkecil, keluarga, Eko benafas dengan kesenian tradisional. Pak Sutrisno (almarhum), ayah Eko, adalah seniman ludruk sekaligus pengrajin topeng Malangan. Karyanya telah dinikmati kalangan yang cukup luas. Bu Manah, ibunya Eko, seorang pesinden. Sampai sekarang masih berkeliling mengekspresikan suaranya dalam pertunjukan wayang kulit maupun wayang topeng.

Dalam hal seni tradisi itu, Eko telah mengalami pewarisan alami dari lingkungan dan keluarganya. Karenaya, kalau sempat mendengarkan album Potrojoyo, dan telah diunggah dalam media sosial youtobe, Eko terasa tidak ada keraguan menyuarakan nilai tradisional. Ia, anak muda yang telah berusaha menterjemahkannya dalam media musik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun