“Kamu yakin orang desa bisa mengatur duit segitu? Kalau menghabiskan sih gampang.” Saya mencoba meragukan pendapatnya.
“Kalau sekarang, undang-undang ini masih baru, Pak. Butuh penyesuaian. Adaptasi.” Katanya masih dengan semangat muda.
Katanya, lima tahun lagi tidak akan ada warga desa ini yang susah-susah cari kerja di Arab, Malaysia, atau Hongkong. Mereka akan betah di kampung, memproduksi ini itu untuk dijual ke negara-negara pengimpor TKI. Kita akan menjadi warga desa yang tidak diremehkan oleh mereka yang merasa bisa membeli kita.
“Wah, kamu memang anak muda yang tergolong idealis Jack. Kamu sedang terkesima. Kalau duit itu dikorupsi kepala desa atau cariknya atau bendahara desanya atau digerogoti ramai-ramai?” Saya memberi kemungkinan lain.
“Ya, bapak memang tergolong orang tua. Orang tua suka pesimis sih.” Sekali lagi Jack menyeringai.
“Melaksanakan undang-undang desa ini, ibaratnya orang lagi belajar naik sepeda.” Jack meneruskan. “Ia perlu dituntun, diajari, didampingi. Salah itu biasa. Kecuali kalau ia sudah bisa naik sepeda, kemudian kebut-kebutan dan kejlungup, kita tinggal bilang: kapokmu kapan.”
Saya katakan kepada Jack, kalau sekedar omongan gampang, tapi melaksanakan itu berat. Semua orang lagi belajar, lantas siapa yang mendampingi, mengajari orang desa mengelola duit besar itu.
“Kan, ada pendamping desa?” Potongnya.
“Apa ada pendamping desa yang sudah fasih undang-undang desa dan pelaksanaanya?” Saya bicara sungguh-sungguh.
“Kan ada saya? Haha..” Wajahnya tampak menyala, seperti menyimpan api harapan. “Ingat Pak, ada saya.” Katanya lagi sambil ngeloyor pulang. Air mukanya berseri.
“Jack! Kamu mau jadi pendamping desa?” Teriak saya.